Ke Atas Air Mengalir
Andai teman-temanku tak jadi berkunjung, aku tak mungkin tahu bahwa mereka begitu menikmati segala apa yang terjadi di dusunku. Tentang setiap rumah dengan pelataran luas. Tentang kebun dan udara segar. Dan tentang air yang mengalir bening.
Apa yang disaksikan teman-temanku, betapa kehidupan di kota yang mereka banggakan itu, sungguh sangat juah berbeda dengan kondisi di dusunku. Jarak perbedaan itu ibarat langit dan bumi. Secuil nikmat yang mereka dapat di dusunku, bagiku, itu semua belum seberapa.
Minggu, 29 Desember.
Tentang setiap rumah dengan pelataran luas.
Namaku Raden. Teman-teman biasa memanggilku, 'Den'. Aku baru saja mendapat telegram melalui ponselku. Benda itu berdering kencang sengaja memang aku buat nyaring agar aku bisa langsung membalas pesan telegram yang datang dari ketiga temanku.
Kutengok arloji melekat di tangan enam puluh menit kurang sedikit berlalu. Kalau benar sesuai rencana lima menit lagi ketiga temanku sudah tiba di terminal mikrolet. Dari terminal mikrolet menuju rumahku memakan waktu sekitar empat puluh menit lebih sedikit. Ketiga temanku berencana menginap selama tiga hari di rumahku.
Sesaat, aku melambaikan tangan dan mendekat ke arah bus yang mereka tumpangi.
"Eh, gila, bus yang kami tumpangi mantap betul!" kata Tigor sembari menyalami tanganku saat turun dari tangga bus.
"Pokoknya tiada lawan," timpal Rambo dari arah belakang.
"Nanti, pas kita pulang naik bus ini lagi." Sergah Bagus tak mau kalah.
"Aduh!! Belum juga sampai rumahku, sudah berencana pulang." Tukasku menepuk jidat.
Sesaat, aku dan ketiga temanku bergegas menuju ke terminal mikrolet. Aku masuk mikrolet lebih dulu, duduk paling belakang. Kemudian menyusul ketiga temanku. Tak lama mikrolet bergerak dan menanjak.