“Iya Mbak, dulu aku nggak pernah pengen kuliah atau kerja di Jakarta. Panas, gaya hidup yang mahal, bikin males mikirnya.”
Hening sejenak. Hani heran mengapa pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Ia seolah mulai menyadari bahwa ia perlahan-lahan sedang mengingkari prinsipnya sendiri. Prinsip yang dianutnya sejak mahasiswa bahwa ia bukan pecinta wisata kuliner. Tujuannya semata-mata untuk alokasi pengeluaran lain yang jauh lebih tepat guna. Ngirit, demikian bentuk singkatnya.
“Iya juga sih. Dulu Junar pas pertama kali dateng ke Jakarta bener-bener penampilannya biasa banget. Maksudnya rambutnya yang masih panjang kayak Sadako gitu. Serem deh pokoknya.”
“Tapi sekarang kayaknya udah lumayan ya, Mbak.”
“Iya lah. Dulu boro-boro dia mau nyapa, disapa aja jawabnya yang datar dan singkat banget.”
“Kayaknya sekarang juga dia udah punya cowok ya, Mbak?”
“Kayaknya sih … bla....bla... .”
Dan obrolan tentang aneka karakter penghuni kos pun berkembang seiring dengan suapan. Bak ibu-ibu arisan, keduanya berhenti makan untuk saling memperhatikan atau saling tertawa. Obrolan merembet hingga urusan jodoh. Demikian mulus mengalir hingga Hani baru menyadari sesuatu. Ia menemukan sisi lain seorang Kinanti yang sedang terkuak.
“Ya awalnya temenku juga kesel. Dia bilang, 'Gimana sih, gue kan nyariin buat elu. Malah ditawarin ke orang.'”
“Trus dianya gimana, Mbak?” tanya Hani antusias.
“Ya dia sih akhirnya mau. Nyoba gitu deh katanya. Eh malah sekarang jadi ama kakakku dan punya anak satu.”