Keduanya membiarkan piring masing-masing. Larut dalam cerita.
“Kakakku yang itu pendiam banget, Han. Waktu dia kecelakaan pun aku bela-belain dia duluan yang dapat perawatan. Padahal kepalaku juga berdarah cuma aku ngotot dia yang masuk UGD. Untungnya aku nggak parah banget.”
“Dia nggak pernah mengeluh. Sakit pun dia cuma diam.” imbuh gadis itu sebelum menyuap sejumput nasi.
Hani terkesima dan berusaha tidak menampakkanya lewat raut muka. Pandangannya kembali ke piring, tangannya mengaduk sambal dan nasi.
“Kalo kakak yang pertama gitu juga?” tanya Hani sambil mencuil daging lele dari durinya.
“Nggak sih. Kalo itu emang mungkin udah jodohnya. Tapi sempat kenal aku juga sebelum kenal kakakku.”
Tanpa dikomando keduanya kembali makan. Serupa tapi tak sama, simpul Hani dalam hati.
“Mbak, jangan-jangan nanti Mbak pindah kosan gara-gara nikah ya? Secara saking seniornya di kos sampe dibilang makelar.”
“Hahahah. Dasar emang tuh si Unang Kuncung.”
“Temenku yang di Brunei, Singapur, kadang-kadang masih suka ngeledek, 'Ya ampun Kin, masih betah aja lo ngekos di situ?'”
“Tapi masih mending ya, Mbak. Seenggaknya mereka nggak bilang kamarmu kayak kandang burung.” Hani menimpali.