Mohon tunggu...
Hastuti Ishere
Hastuti Ishere Mohon Tunggu... Administrasi - hamba Allah di bumiNya

Manusia biasa yang senang belajar dan merantau. Alumni IPB yang pernah menempuh pendidikan di negeri Kilimanjaro. Bukan petualang, hanya senang menggelandang di bumi Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Pahlawan] Mutiara Kartini dalam Jelaga

10 November 2013   09:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Haaan, ayo cepetaaan.”

Hani buru-buru mengenakan jaketnya. Sekali lagi gadis itu memandangi bayangan dirinya di cermin. Tak sampai semenit dimatikannya lampu kamar dan dikuncinya dari luar.

“Yuk. Aku udah siap nih. Plus laper hehehe.” jawab Hani sambil terkekeh-kekeh memandangnya.

Mau tak mau gadis itu tersenyum. Hani langsung menghambur masuk ke kamarnya, menjatuhkan dirinya di kasur, tengkurap, dan sibuk membuka-tutup ponsel jadul berdesain clam-shell milik si gadis. Gadis itu masih sibuk menyematkan peniti di jilbabnya. Hani memandanginya penasaran, tetapi hanya sesaat, lalu asyik dengan ponsel lagi.

“Yuk.” ajak gadis itu akhirnya.

“Yuk ngapain?” Hani bertanya balik sambil berlagak bodoh. Sekali lagi Hani memandangnya sambil senyum dan terkekeh.

“Udah ayok buruan. Tadi katanya laper.”

Hani langsung bangkit dan berdiri di koridor. Gadis itu mengunci kamarnya yang persis bersebelahan dengan kamar Hani. Keduanya kemudian melewati gerbang dan menghilang di balik kegelapan malam yang baru datang. Hanya perlu lima menit bagi dua perempuan beda usia itu untuk sampai ke trotoar. Semenit, lima menit, hingga tak sampai sepuluh menit keduanya sudah berada di angkot. Mereka tak banyak bicara. Gadis itu sibuk dengan Blackberry-nya dan Hani sibuk memandangi pemandangan di luar. Sekitar 20 menit perjalanan dengan angkot yang hampir penuh, keduanya turun di sebuah pusat pertokoan. Pusat pertokoan yang juga dipenuhi dengan pusat jajanan. Hani sudah kangen mengunyah burger di sana.

“Mbak nggak beli?” tanya Hani saat tiba di franchise kecil itu.

“Nggak. Aku tunggu di pecel lele ya.” kata si gadis sambil menunjuk sebuah warung pecel lele di seberang.

“Yaah, kok mbak nggak beli sih?” Hani kecewa. Dia sudah terlanjur membayangkan keduanya akan makan burger di salah satu meja sambil ngobrol.

“Aku lagi pengen makan lele tepung.” kata gadis berjilbab kuning itu sambil tersenyum.

“Ya udah deh.” jawab Hani sambil cemberut.

“Kutunggu di sana ya.”

Hani hanya diam sambil menatap temannya menjauh perlahan. Hanya sepuluh meter jarak warung itu dari tempat Hani berdiri. Setelah menunggu pesanan burgernya sendirian dengan bosan, tak sampai sepuluh menit, pesanannya siap. Meski tak mendapatkan menu idamannya, sebuah beef burger standar pun jadilah.

Pesanan siap, uang kembalian didapat, Hani pun langsung menuju warung pecel lele. Dilihatnya sang teman sedang memilih menu sebelum membubuhkan tanda centang pada menu yang diinginkan. Sayang tak tertera daftar harganya sekalian, Hani berkomentar dalam hati. Alih-alih sekadar menemani, niat awal Hani buyar seketika. Ia tergiur dan ikut memesan. Gadis itu mengubah angka 1 menjadi angka 2 pada kolom pecel lele dan menulis lagi angka 1 di kolom es jeruk.

“Itu burger mau buat kapan jadinya?” tanya si gadis sambil tersenyum.

“Buat sahur. Kalo nggak ya buat sarapan. Kalo masih laper ya buat cemilan tengah malem.” Hani terkekeh. Gadis itu tersenyum lagi. Hani cuek seandainya temannya itu sedang menertawainya meski dalam hati. Gue kan cuma sekali-kali jadi tukang makan, kata Hani dalam hati sekedar mengingatkan dirinya sendiri.

Sambil menunggu pesanan datang, keduanya membisu sejenak, sibuk dengan ponsel pintar masing-masing. Agak lebih lama daripada menunggu pesanan burger, dua piring lele kremes beserta lalap dan sambal pun disajikan. Segelas teh tawar dan es jeruk mengikuti.

“Mbak, Jakarta itu memang bisa bikin orang berubah banyak, ya?” kata Hani sambil memisahkan daun kemangi dari batangnya.

Si gadis mengalihkan pandang sesaat dari piringnya.

“Maksudnya, Han?”

“Iya Mbak, dulu aku nggak pernah pengen kuliah atau kerja di Jakarta. Panas, gaya hidup yang mahal, bikin males mikirnya.”

Hening sejenak. Hani heran mengapa pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Ia seolah mulai menyadari bahwa ia perlahan-lahan sedang mengingkari prinsipnya sendiri. Prinsip yang dianutnya sejak mahasiswa bahwa ia bukan pecinta wisata kuliner. Tujuannya semata-mata untuk alokasi pengeluaran lain yang jauh lebih tepat guna. Ngirit, demikian bentuk singkatnya.

“Iya juga sih. Dulu Junar pas pertama kali dateng ke Jakarta bener-bener penampilannya biasa banget. Maksudnya rambutnya yang masih panjang kayak Sadako gitu. Serem deh pokoknya.”

“Tapi sekarang kayaknya udah lumayan ya, Mbak.”

“Iya lah. Dulu boro-boro dia mau nyapa, disapa aja jawabnya yang datar dan singkat banget.”

“Kayaknya sekarang juga dia udah punya cowok ya, Mbak?”

“Kayaknya sih … bla....bla... .”

Dan obrolan tentang aneka karakter penghuni kos pun berkembang seiring dengan suapan. Bak ibu-ibu arisan, keduanya berhenti makan untuk saling memperhatikan atau saling tertawa. Obrolan merembet hingga urusan jodoh. Demikian mulus mengalir hingga Hani baru menyadari sesuatu. Ia menemukan sisi lain seorang Kinanti yang sedang terkuak.

“Ya awalnya temenku juga kesel. Dia bilang, 'Gimana sih, gue kan nyariin buat elu. Malah ditawarin ke orang.'”

“Trus dianya gimana, Mbak?” tanya Hani antusias.

“Ya dia sih akhirnya mau. Nyoba gitu deh katanya. Eh malah sekarang jadi ama kakakku dan punya anak satu.”

Keduanya membiarkan piring masing-masing. Larut dalam cerita.

“Kakakku yang itu pendiam banget, Han. Waktu dia kecelakaan pun aku bela-belain dia duluan yang dapat perawatan. Padahal kepalaku juga berdarah cuma aku ngotot dia yang masuk UGD. Untungnya aku nggak parah banget.”

“Dia nggak pernah mengeluh. Sakit pun dia cuma diam.” imbuh gadis itu sebelum menyuap sejumput nasi.

Hani terkesima dan berusaha tidak menampakkanya lewat raut muka. Pandangannya kembali ke piring, tangannya mengaduk sambal dan nasi.

“Kalo kakak yang pertama gitu juga?” tanya Hani sambil mencuil daging lele dari durinya.

“Nggak sih. Kalo itu emang mungkin udah jodohnya. Tapi sempat kenal aku juga sebelum kenal kakakku.”

Tanpa dikomando keduanya kembali makan. Serupa tapi tak sama, simpul Hani dalam hati.

“Mbak, jangan-jangan nanti Mbak pindah kosan gara-gara nikah ya? Secara saking seniornya di kos sampe dibilang makelar.”

“Hahahah. Dasar emang tuh si Unang Kuncung.”

“Temenku yang di Brunei, Singapur, kadang-kadang masih suka ngeledek, 'Ya ampun Kin, masih betah aja lo ngekos di situ?'”

“Tapi masih mending ya, Mbak. Seenggaknya mereka nggak bilang kamarmu kayak kandang burung.” Hani menimpali.

“Untung cuma satu yang bilang begitu. Hahahah.”

Tawa kembali berhamburan. Acara makan-makan dan ngobrol-ngobrol pun dipungkasi seiring dengan gelas-gelas bersedotan yang kosong. Tangan-tangan kotor dibersihkan dengan semangkuk kecil air kobokan.

“Udah yuk, Mbak.”

Seusai membayar, Hani mengikuti langkah perempuan yang umurnya lima tahun di atasnya itu ke pinggir trotoar. Itu pertama kalinya Hani makan di sana. Tak memuaskan sepenuhnya bagi Hani. Ia puas dengan lele kremes yang menurutnya kurang besar tapi rasanya cukup enak. Ia puas bisa request sambal tanpa keluhan apalagi raut muka tak rela sang pramusaji. Tapi ia masih belum rela sepenuhnya dengan harga tiga belas ribu rupiah untuk seporsi pecel lele.

Sesampainya di kamar, Hani merebahkan tubuhnya di kasur. Langit-langit yang penuh noda cokelat akibat bocoran air hujan yang tertahan menjadi layar ingatannya. Beberapa menit kemudian, Hani meraih ponselnya.

Kagum dan takzimku untuk para perempuan yg mendahulukan rezeki org lain ketimbang dirinya. Giliranmu akan datang teman. RA Kartini pasti kagum padamu.

Hani masih berselancar lewat mobile browser-nya. Beralih dari satu tab ke tab yang lain sebelum kembali melongok laman Facebook. Ditekannya ikon refresh. Fanny Iranda dan Harun Sandriawan memberikan tanda 'like' di status terakhir Facebook-nya.

Mudah-mudahan dia nggak sadar, Hani berdoa dalam hati sebelum memutus koneksi internet. Gadis itu kemudian menaruh ponselnya di samping bantal lalu menutup matanya. Lampu kamar dan kipas angin yang menyala perlahan menghilang dari alam sadar seorang Hani.

Jakarta, 10-11-2013

Salam PerantauPembelajarPenikmatHidup

Catatan (a.k.a pesan sponsor): Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Fiksi hari Pahlawan. Cantumkan link akun Fiksiana Community tersebut di setiap karya Anda. Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun