"Dia ingin menjadi teman. Kalau bisa lebih, itu akan merepotkan, tapi dia tidak masalah katanya." Dokter Yudi tergelak. "Anak itu, sok keren sekali, kan?"
"Siapa bilang aku butuh teman?"
Dokter Yudi tidak merespon. Dia bangkit, menatapku sebentar, tersenyum, lalu pergi menuju rumah jompo.
"Kau akan temukan arti kehidupan lewat seorang temanmu. Bila suatu hari nanti kau merasa bosan dengan hidup yang fana ini, temuilah temanmu dan mengobrollah. Kau akan temukan bahwa hidup itu tak selamanya tak adil."
Aku menoleh. Itu suara si kakek yang duduk di bawah pohon jambu.
"Di mana aku harus mencari teman seperti itu? Mami bilang, dia mencintai Papi karena mereka mulanya adalah teman. Dia nyaman dan sampai aku lulus SMA pun Mami bilang Papi masih sama; seperti teman. Sampai akhirnya Papi menemukan teman yang lebih muda dan menyenangkan, Mami menjadi gila. Lalu, Mami meninggal dunia.
"Papi tidak menjadi gila seperti Mami, tapi dia menjadi seperti bukan Papi. Aku tak mengenalinya. Sepanjang hidupku, hanya Mami yang benar-benar menjadi temanku. Setelah Mami pergi, aku berpikir bahwa aku tidak butuh teman."
Kakek itu membuka mata dan menoleh padaku. Dia memasang kacamatanya dan bertanya, "Siapa namamu?"
"Aku Ruri, anak tunggal dan selamanya akan menjadi tunggal."(*)
Rokan Hulu, 7 Juni 2022