"Apa ayahmu sudah pulang dari Bangladesh?"
"Sudah. Tapi dia pergi lagi untuk melakukan penelitian bersama rekannya di Makau."
"Kali ini berapa lama?"
"Entahlah. Aku tidak bertemu dengannya saat pulang. Mungkin paling cepat dua bulan."
Tangan keriput itu menepuk punggung tanganku sebanyak tiga kali. Dia bersenandung dan menatap ke arah pohon tabebuya kuning. Aku pun izin pamit untuk meninggalkannya dan menuju dapur umum.
Tepat setelah tiba di ambang pintu, seseorang menepuk punggungku begitu keras. Tepukan yang mengagetkanku saat pertama kali datang ke sini di awal bulan Februari tahun lalu.
"Dasar anak durhaka! Kenapa kau tidak menjemputku? Sudah lupa kalau puting susuku berdarah-darah dan hampir putus demi memberimu makan? Dasar anak durhaka! Anusku sampai robek karena mengeluarkanmu, tapi kau malah membuangku. Dasar anak tak tau diuntung!"
Aku terdiam. Kalau sebelumnya aku mendengar umpatan kasar darinya, kali ini aku jadi teringat ibuku yang sudah tiada setelah gila selama dua tahun. Rasa sakit mereka sama, tapi bukan aku penyebabnya.
"Hei, Anak Durhaka! Aku tidak butuh uang jaminanmu! Aku benci perawat-perawat di sini! Bawa aku pulang!"
Aku masih terdiam. Sama seperti sebelumnya, tidak ada yang mampu aku ucapkan untuk menenangkan atau menghibur mereka.
"Dasar kurang ajar! Tidak tau balas budi. Anak durhaka!"