Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kamus Kecil Kebaikan

22 Januari 2018   07:03 Diperbarui: 13 Oktober 2021   15:48 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: @kulturtava

Menjenuhkan sekali jika... (melihat) sebuah kebaikan mesti bersanding dengan membandingkan sebuah keburukan. Yang semula bisa seputih susu, malah yang nampak menjadi kopasus (kopi pakai susu, atau kopi susu). Ada putih yang tercampur (dan/atau dicampur). 

Kebaikan, biarlah saja dilihat sebagai kebaikan. Membiarkan kebaikan hadir sebagai sesuatu yang tunggal, berdiri sendiri. Tidak perlu jadi pahlawan kesiangan karena munculnya keburukan!

Ingat beberapa waktu lalu sempat ada yang viral di Twitter (atawa, barangkali juga di media sosial lainnya) tentang seseorang yang membuat narasi petugas pembersih bioskop? 

Sebenarnya tampak biasa. Namun, narasi tersebut meyakinkan. Terlebih di read-with selebtweed. Terlebih lagi yang membuat viral itu lucu-lucu-cantik. Jadilah itu suatu yang mencengangkan banyak orang.

Begini. Tahukah kamu, menurut sumber yang viral dan terpercaya itu, kalau lama waktu petugas pembersih bioskop adalah 15 menit. 

Ada 6 petugas yang bekerja, 3 orang untuk 1 studio teater dan (rata-rata) 120an kursi setiap hari. Waktu yang (amat) singkat. Bagaimana tidak, itu mesti dikerjakan dengan benar dan tepat. 

Kalau bisa cepat. Karena film berikutnya mesti dimulai sesuai jadwal. Karena penonton yang budiman tidak suka keterlambatan --apapun alasannya!

Kemudian masuklah narasi tersebut.

Seperti cerita dalam cuitan yang viral itu, katanya, penonton mulai mengomel karena belum diizinkan masuk pedahal waktu menunjukan sudah lewat dari jadwal penayangan. 10 menit, hanya 10 menit. 

Sepertinya mereka lupa ini: jadwal yang tertera itu tidak termasuk iklan dan segala mecemnya. Jadi, kalaupun di jadwal pukul 15.10 paling tidak film baru dimulai 20 menit setelahnya.

Dan, seperti yang mudah dibayangkan: calon penonton mengomel. Ingin demo atau orasi, tapi nampaknya tidak tahu caranya. Sebab mereka, biasanya, lebih suka mengutuk aksi semacam itu, tapi kerap diuntungkan dari hasil demo-demo tersebut. 

Karena ada satu orang yang tidak ingin terlihat norak, muncullah sebuah gagasan brilian: bertanya ada permasalahan apa sebenarnya kepada petugas penyobek tiket?

Usut-punya-usut, silakan tanya langsung kepada satpam atau petugas kebersihan. Hebat betul. Dioper itu bola ke oranglain. Barulah ia tahu: ternyata studio teater dipenuh sesampahan sisa penonton sebelumnya. Waw. Fantastis. Am(r)azing.

Menurut pengakuan petugas yang dalam cuitan yang viral itu, katanya, kualahan membersihkan studio teater. Karena kasihan, orang dalam kisah yang viral itu, memaklumi dan mawas diri.

Sambil menunggu selesai dibersihkan, barangkali, ia mulai hitung-hitungan lama kerja petugas tersebut. 

Begini hasilnya: paling tidak mereka membersihkan studio, mungkin untuk satu orang meski yang bekerja per-grup, 5 kali dalam sehari; 1 biokop rata-rata ada 6 studio, jadi jika dikalikan adalah 5x6= (minimal) 30an kali dalam sehari.

Hal tersebut kembali ada yang membuatnya miris: selesai menonton ia keluar paling terakhir. Sengaja, katanya, ingin memastikan perilaku jorok seseorang di bioskop. 

Dan, benar adanya, selesai itu banyak sekali sampah. Dengan bijak ia mengingatkan: "bagi kalian para penonton bioskop yang akan menikmati insidious, ayat ayat cinta, si Juki, Jumanji, maze runner, dan film bagus nantinya. Kuy kita bantu meringankan beban mas mas cleaning service ini dengan cara membawa sampah kita dan kita buang sendiri di tempat sampah yang ada. Masa ngantri beli tiket bisa, buang sampah sendiri ga bisa...."

***

Saya jadi teringat Munir. Saya juga jadi teringat malam peringatan 11 tahun kematian Munir yang disampaikan Pandji kala itu. 

Itu sebuah acara di mana kita kembali diingatkan oleh peran dan kebaikan Munir. Keberaniannya adalah jalan, perjuangannya adalah tujuan.

Munir, kata Pandji, adalah orang yang mau mengorbankan kenyamanannya supaya orang lain lebih nyaman. Dan, Munir adalah orang baik. Ia bisa saja hidup lebih baik, tapi Munir lebih memilih untuk mengurangi kenyamanannya karena Munir melihat ada orang-orang yang ingin ia bantu.

***

Malam itu saya benar-benar ingin ke warkop. Lapar dan kantuk, adalah 2 alasan yang tidak perlu dielakkan. 

Tapi teman yang malam itu bertugas dengan saya tidak mau. Sepertinya sedang sibuk perang agar supaya menjadi legenda di sabaknya. Yha sudaaaah~

Angin dan rintik hujan menemani langkah saya menuju warkop. Lampu jalan dan segerombolan anak sekolah yang semalam itu masih nongkrong, saya lewati dengan acuh. Lapar dan kantuk, seringkali, bisa membuat kita hilang simpati. Maka, keduanya mesti saya jaga agar supaya tidak begitu.

Sialnya warkop sedang penuh. Banyak yang sedang ngopi-ngopi dan makan mie. Saya melipir ke sebuah bale-bale tempat si pemilik warkop menyimpan bahan-bahan gorengan. 

Ada beberapa kaleng besar berisi tahu, 2 tandang pisang dan sepalstik besar (sepertinya) ubi. Segelas kopi hitam dan 3 potong gorengan saya pesan. Inikah makanan surga yang Tuhan janjikan?

Tiba-tiba datang seorang kakek. Tentu sudah tua. Entah berapa umurnya. Yang jelas ketika Soekarno membacakan proklamasi kakek itu sudah ada. 

Ia duduk dan megeluarkan banyak sekali sayuran bayam yang sudah terikat-ikat dari beberapa kantung plastik merah besar.

"Boleh saya bantu?" tanya saya. Kakek itu menoleh dan langsung menjawab tidak usah. Yha sudaaaah~

Ikatan pada bayam satu-per-satu kakek itu lepaskan. Banyak sekali. Dan, tentu saja aneh. Buat apa dilepaskan? Bukannya memang menjual bayam itu per-ikat? Apa karena ini pasar (Palmerah)? 

Ah, tapi, Sekemcik-kemciknya-kemcik meski harganya mahal, tetap saja dijualnya begitu.

Niat bertanya saya kubur dalam-dalam. Cukup sekali dijutekin sama kakek itu. Saya berdiri dan bilang permisi pada si Kakek karena ingin mengambil saos di warkop. 

Makan gorengan tanpa saos, seperti gorengan tidak disaosi. Akhirnya orang-orang yang tadi di wakrop pulang. Gitu, dong, kata saya dalam hati. Kopi dan sisa 1 gorengan saya bawa saja sekalian dari bale-bale ke warkop. Pindah.

Si Eneng masih sibuk dengan adonan bakwannya. Duh. Semakin kencang mengaduk adonan, semakin nafasnya seperti beradu balapan. 

Keningnya berkeringat. Si Eneng bersihkan keringatnya dengan tangan kirinya yang belepotan adonan. Laiknya dalam kisah FTV, ada adonan terigu yang tertinggal di dekat telinga kirinya. Tidak. Saya tidak berniat membersihkannya dengan tisu. Sebab di warkop memang tidak ada tisu. Adanya topo. Masa itu muka dielap topo?

"Neng, laper euy," kata saya.

"Hayang naon?" tanya si Eneng kemudian. Yha. Sudah tentu. Mie rebus pakai telor pakai irisan cabe.

"Biasa," jawab saya, dengan senyum dan menyiratkan kalau sudah pesan mie tidak perlu ditanya ini-itu lagi.

Tinggal suapan terakhir mie rebus, si Kakek ternyata sudah selesai dengan kesibukannya. Saya menoleh dan menawarkannya mie. Tidak usah, katanya. Duh, kena tolak lagi. Gimana mau punya pasangan kalau begini terus alur mainnya? 

Masa sama kakek-kakek pun ditolak. Si Kakek memesan teh tubruk panas. Tidak terlalu manis. Ide brilian. Saat kepedasan mie, teh tubruk adalah solusi. 

"Samakeun, neng," kata saya. Tapi si Kakek malah menatap saya dengan meruncingkan alisnya. Saya buang pandangan ke etalase yang dipenuhi gorengan. Serem juga.

Bapak-bapak berperut buncit dengan topi berwarna biru dongker menghampiri si Kakek. Dari kantung celananya ia mengeluarkan selembar uang 50 ribu. Ia berikan pada kakek itu. 

Kemudian bapak tersebut menghampir bale-bale tempat kakek melepaskan ikatan pada bayam. la rapihkan semuanya. Beberapa sampahan disingkirkan dan diletakannya ke bagian bawah bale-bale.

Sambil menunggu ampas teh tubruk itu turun, saya memerhatikan apa yang bapak-bapak perut buncit itu lakukan. Seperti ada yang aneh, tapi entah apa. 

Bingung memikirkan itu, si Kakek bangkit dari duduknya, membayar teh tubruk pesanannya dan air tehnya sudah tandas. Hebat betul. Pedahal teh kami dibuat berbarengan.

Bapak-bapak perut buncit itu mendatangi warkop. Memesan es teh manis. Ingin balik kembali ke bale-bale sepertinya berat sekali. Perutnya jauh lebih berat dari semangat dan harapannya. 

Kemudian bapak-bapak perut buncit itu menyulutkan rokok kretek di bibirnya. Seperti ada kelelahan dari tiap asap rokok yang dihembuskannya.

"Si kakek ka mana?" tanya Mamang Warkop yang baru datang dan hendak berganti shift dengan si Eneng. Ke mana si Kakek, katanya.

"Pulang," jawab bapak-bapak perut buncit itu.

Selanjutnya barulah saya sadar: ternyata si Kakek dibayar 50ribu untuk melakukan hal yang (kalau dipikir-pikir) percuma. Sebab dari apa yang si Kakek itu lakukan dikerjakan ulang oleh bapak-bapak perut buncit itu. Bayam-bayam tersebut diikat ulang!

"Dia (si kakek) gak punya kerjaan. Gak mau juga dikasih uang (cuma-cuma). Makanya, kadang nyuruh dia ngerjain apa aja. Yang penting ngasih kerjaan terus dibayar," kata bapak-bapak perut buncit itu, kepada saya.

Malam semakin dingin. Tidak ada hujan, hanya angin. Masih ada orang baik di Jakarta rupanya, meski di sudut-sudut kumuh seperti warkop sekecil ini.

***

Percayalah: tidak ada yang menyenangkan dari kereta senin pagi. Penumpangnya rata-rata adalah orang yang membawa segala perkakasnya untuk seminggu ke depan. Jadi tidak hanya badan, barang juga bisa dihitung penumpang. Kereta senin pagi penuh oleh hal-hal semacam itu.

Tidak hanya itu. Saya mesti berpapasan dengan semua penumpang kereta senin pagi yang wangi-wangi karena baru mandi. 

Berbeda dengan saya yang baru pulang dengan badan lesu dan ketiak yang bau. Tidak ada itu kisah-kisah romansa berkenalan di kereta a la sinetron. Tabrakan, kenalan dan berujung pacaran.

Ini cerita senin pagi minggu lalu, di kereta. Seperti yang tadi telah saya katakan: penuh oleh penumpang dan barang-barang bawaan. Tentu berharap dapat duduk adalah angan-angan. 

Tapi karena sering pulang pagi, saya bisa menandai orang-orang yang selalu bareng dengan saya. Si Ini, turun di sini, si itu turun di sana dan lain sebagainya. 

Juga sepasang bapak-ibu yang pernah saya ceritakan, yang selalu turun di stasiun Manggarai. (baca: Of Mice and Men, John Steinbeck)

Pagi itu saya bersandar di tiang besi dekat pintu. Kantuk yang tidak tertahan membuat saya butuh sandaran. Orang-orang, entah kenapa, selalu sibuk dengan sabaknya masing-masing. Padahal itu masih pagi dan... apa yang mereka cari pagi-pagi? 

Berita pun itu pasti informasi semalam. Info lalu-lintas? Memang ada jalan lenggang di Jakarta? Sudah pasti padat merayap, bukan?

Stasiun Karet, Stasiun Sudirman. Ah, kereta pagi itu sudah terlambat, tertahan pula karena sinyal masuk stasiun Manggarai. Cukup lama. Saya sempat tertidur sebentar sampai akhkirnya pintu dekat saya berdiri itu terbuka karena sudah tiba di stasiun Manggarai.

Orang-orang yang tadinya berdiri, sudah ada yang duduk. Selebihnya ada yang masih sibuk dengan sabaknya dan ada yang masih nyaman dengan tidurnya karena dapat tempat duduk.

Kereta berjalan menuju Tebet. Tapi, tiba-tiba ada seorang bapak yang bangkit dari tempat duduknya. Saya tahu bapak itu turun di stasiun Duren Kalibata. 

Ia berjalan melewati saya dan membangunkan bapak-bapak yang tertidur. Kesempatan, pikir saya. Bangkunya kosong. Baru ingin berjalan, tempatnya sudah diambil ibu-ibu. Yha sudaaaah~

Buat apa juga bapak-bapak itu bangun dan membangunkan bapak-bapak yang tengah tidur? Kan, sayang tempat duduknya.

Bapak-bapak tadi menggoyangkan kaki bapak-bapak itu dengan pelan dan sopan. Suaranya tidak terlalu keras, tapi sungguh ingin membangunkan.

"Pak, bukannya biasa turun di stasiun Manggarai?" tanya bapak itu ketika bapak itu akhirnya terbangun.

"Ini di mana?" kata bapak yang dibangunkan, sambil terlihat bingung karena kaget tiba-tiba dibangunkan.

"Mau masuk stasiun Tebet,"

Bapak yang dibangunkan itu menepok jidatnya. Stasiun tujuannya terlewat. Baik sekali, kata saya dalam hati. Mau membangunkan dan mengingatkan penumpang lainnya. 

Sudah begitu, mau memberi tempat duduknya untuk melakukan itu. Setelah lumayan tersadar, bapak yang dibangunkan tadi berdiri dan turun di stasiun Tebet untuk kemudian berpindah kereta.

Tidak ada yang lebih nyaman dibanding dapat duduk di kereta memang. Tapi, melihat apa yang dilakukan bapak-bapak tadi, saya jadi tahu ada yang lebih besar dari itu: sebagai sesama manusia, sudah menjadi kewajiban untuk saling mengingatkan. Meski itu sedang dalam keadaan nyaman. 

Pagi itu saya jadi tidak ngantuk dan ingin juga mengingatkan kepada penumpang lain: kalau cuma mau main sabak, berdiri saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun