Bapak-bapak berperut buncit dengan topi berwarna biru dongker menghampiri si Kakek. Dari kantung celananya ia mengeluarkan selembar uang 50 ribu. Ia berikan pada kakek itu.Â
Kemudian bapak tersebut menghampir bale-bale tempat kakek melepaskan ikatan pada bayam. la rapihkan semuanya. Beberapa sampahan disingkirkan dan diletakannya ke bagian bawah bale-bale.
Sambil menunggu ampas teh tubruk itu turun, saya memerhatikan apa yang bapak-bapak perut buncit itu lakukan. Seperti ada yang aneh, tapi entah apa.Â
Bingung memikirkan itu, si Kakek bangkit dari duduknya, membayar teh tubruk pesanannya dan air tehnya sudah tandas. Hebat betul. Pedahal teh kami dibuat berbarengan.
Bapak-bapak perut buncit itu mendatangi warkop. Memesan es teh manis. Ingin balik kembali ke bale-bale sepertinya berat sekali. Perutnya jauh lebih berat dari semangat dan harapannya.Â
Kemudian bapak-bapak perut buncit itu menyulutkan rokok kretek di bibirnya. Seperti ada kelelahan dari tiap asap rokok yang dihembuskannya.
"Si kakek ka mana?" tanya Mamang Warkop yang baru datang dan hendak berganti shift dengan si Eneng. Ke mana si Kakek, katanya.
"Pulang," jawab bapak-bapak perut buncit itu.
Selanjutnya barulah saya sadar: ternyata si Kakek dibayar 50ribu untuk melakukan hal yang (kalau dipikir-pikir) percuma. Sebab dari apa yang si Kakek itu lakukan dikerjakan ulang oleh bapak-bapak perut buncit itu. Bayam-bayam tersebut diikat ulang!
"Dia (si kakek) gak punya kerjaan. Gak mau juga dikasih uang (cuma-cuma). Makanya, kadang nyuruh dia ngerjain apa aja. Yang penting ngasih kerjaan terus dibayar," kata bapak-bapak perut buncit itu, kepada saya.
Malam semakin dingin. Tidak ada hujan, hanya angin. Masih ada orang baik di Jakarta rupanya, meski di sudut-sudut kumuh seperti warkop sekecil ini.