Ah, tapi, Sekemcik-kemciknya-kemcik meski harganya mahal, tetap saja dijualnya begitu.
Niat bertanya saya kubur dalam-dalam. Cukup sekali dijutekin sama kakek itu. Saya berdiri dan bilang permisi pada si Kakek karena ingin mengambil saos di warkop.Â
Makan gorengan tanpa saos, seperti gorengan tidak disaosi. Akhirnya orang-orang yang tadi di wakrop pulang. Gitu, dong, kata saya dalam hati. Kopi dan sisa 1 gorengan saya bawa saja sekalian dari bale-bale ke warkop. Pindah.
Si Eneng masih sibuk dengan adonan bakwannya. Duh. Semakin kencang mengaduk adonan, semakin nafasnya seperti beradu balapan.Â
Keningnya berkeringat. Si Eneng bersihkan keringatnya dengan tangan kirinya yang belepotan adonan. Laiknya dalam kisah FTV, ada adonan terigu yang tertinggal di dekat telinga kirinya. Tidak. Saya tidak berniat membersihkannya dengan tisu. Sebab di warkop memang tidak ada tisu. Adanya topo. Masa itu muka dielap topo?
"Neng, laper euy," kata saya.
"Hayang naon?" tanya si Eneng kemudian. Yha. Sudah tentu. Mie rebus pakai telor pakai irisan cabe.
"Biasa," jawab saya, dengan senyum dan menyiratkan kalau sudah pesan mie tidak perlu ditanya ini-itu lagi.
Tinggal suapan terakhir mie rebus, si Kakek ternyata sudah selesai dengan kesibukannya. Saya menoleh dan menawarkannya mie. Tidak usah, katanya. Duh, kena tolak lagi. Gimana mau punya pasangan kalau begini terus alur mainnya?Â
Masa sama kakek-kakek pun ditolak. Si Kakek memesan teh tubruk panas. Tidak terlalu manis. Ide brilian. Saat kepedasan mie, teh tubruk adalah solusi.Â
"Samakeun, neng," kata saya. Tapi si Kakek malah menatap saya dengan meruncingkan alisnya. Saya buang pandangan ke etalase yang dipenuhi gorengan. Serem juga.