Tepat tanggal 5 Februari 1855 hari Minggu pagi yang cerah, jam 06.00 kapal Ternate membuang sauhnya di depan kampung Mansinam pelabuhan Doreh.
Untuk mengungkapkan rasa sukacita itu, Geissler menuliskan kepada Bapak Gossner, "Anda tak dapat membayangkan, betapa besarnya rasa sukacita kami bahwa pada akhirnya tanah tujuan terlihat. Matahari terbit dengan indahnya. Ya, semoga matahari yang sebenarnya menyinari kami dan orang-orang kafir yang malang itu, yang telah sekian lamanya merana di dalam kegelapan dosa. Semoga sang Gembala Setia, Yesus Kristus mengumpulkan mereka di bawah tongkat Gembala-Nya yang lembut."
Dengan sekoci pertama menuju daratan ditumpangi Ottow dan Geissler ke pantai Mansinam. Sebagai pekabar Injil yang sungguh-sungguh telah menyerahkan diri untuk bekerja bagi orang kafir, maka hal pertama yang mereka dua lakukan adalah mengucapkan pernyataan, "Dengan nama Tuhan kami Yesus Kristus, kami menginjakkan kaki di Tanah ini, amin! Dengan kata-kata itu keduanya menginjakkan kakinya di atas bumi Papua."
Di dalam rimbunan semak belukar mereka dua segera berlutut dan berdoa kepada Tuhan. Isi doa secara lengkap, kita tidak mengetahuinya, namun menurut F.C. Kamma, mereka berdoa kepada Tuhan untuk mendapat kekuatan, Tenaga, Terang dan kebijaksanaan, agar semua dapat dimulai dengan sungguh-sungguh baik, dan agar Tuhan sudi menaruh belas kasihan kepada orang-orang kafir yang malang itu.
Untuk sementara mereka dua menempati bangunan bekas gudang arang milik Deyghton, nahkoda kapal rembang yang sangat dihormati dan disegani oleh penduduk di daerah pesisir pantai Teluk Doreh dan sekitarnya.
Karya Pelayanan Ottow dan Geissler
Dengan penyertaan Allah serta doa, maka pekabar injil di Papua dimulai, dan sejak itu Ottow dan Geissler membuka Mansinam sebagai pos pekabar injil pertama di bagian timur Indonesia tersebut.
Setelah dua tahun kemudian (1857) Ottow membuka pos pekabar Injil kedua di Kwawi daratan Manokwari, sedangkan Geissler meneruskan pekerjaan di Mansinam.
Kontak pertama dengan masyarakat sama sekali belum nampak, karena kedua pekabar Injil itu selain mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, tetapi juga belum membuka diri mengadakan hubungan dengan penduduk.
Padahal satu pendekatan utama untuk memahami latarbelakang budaya, adat istiadat, kebiasaan dan lain-lain. Maka harus mendatangi orang itu, lalu membiarkan diri ditanyai, "Anda dari mana dan mau ke mana?"
Mengutip Haposan Lumbantoruan dalam artikelnya yang berjudul, Bahasa adalah Sentuhan Kasih: "Kabar Baik" Hadir dalam Bahasa "Mereka" mengatakan, "Bahasa adalah sentuhan kasih...Dengan bahasa sesama manusia bisa saling mengerti dan berkomunikasi...Bahasa adalah jembatan pertemanan.