Mohon tunggu...
Haposan Lumbantoruan
Haposan Lumbantoruan Mohon Tunggu... Freelancer - Pessenger

Pemula yang memulai hobi dengan membaca buku dan koleksi buku, menulis, sepakbola dan futsal, musik, touring dan traveling serta suka (doakan) kamu:)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sang Pelopor di Tanah Papua, C.W. Ottow dan J.G. Geissler Namanya

29 Mei 2024   22:33 Diperbarui: 29 Mei 2024   22:55 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 2 sang Pelopor Injil di tanah Papua, C.W. Ottow & J.G. Geissler pada tanggal 05 Februari 1855. (Sumber gambar: dokpri/Haposan Lumbantoruan)

Sang Pelopor di Tanah Papua, Carl Williem Ottow dan Johan Gottlob Geissler

Carl Williem Ottow

Mengutip dari PortalPapua, Carl Williem Ottow dilahirkan pada tahun 1825.

Sejak berumur 18 tahun ia mulai tertarik untuk menjadi pekabar injil. Ia termotivasi oleh khotbah dari seorang pendeta di jemaatnya.

Selama kurang waktu 7 tahun bergumul bagaimana mewujudkan minatnya, sebab lingkungan keluarga sendiri tidak mendukung, terutama ayahnya yang bersikap keras, maupun ibunya sendiri pula berkeberatan, karena Carl banyak membantu dirinya dalam soal-soal penghidupan keluarga.

Selama bertahun-tahun Ottow terus menggumuli niatnya itu dengan doa dan akhirnya ia memutuskan untuk bertemu dengan Gossner.

Kepada Gossner, ia mengisahkan kesulitannya, tetapi ia tidak mendapat respon baik dari Gossner, secara tegas Gossner menulis surat kepadanya.

Katanya, "Kalau orang tua Anda berkeberatan, saya pun tidak menerima Anda."

Penolakan dari Gossner tidak membendung niat itu, ia dengan penuh ketabahan melakukan pekerjaan-pekerjaan zending di lingkungan gereja (jemaat) dimana ia tinggal.

Pada siang hari ia membuat layar kapal, malam hari dan pada hari Minggu ia mengunjungi orang sakit dan orang yang membutuhkan bantuan.

Ayah dan saudaranya terkesan dengan perilakunya, yang menjadikan mereka dan kemudian bertobat dan percaya pada Yesus.

Dan ayahnya sampai berdoa sendiri pada satu pertemuan di rumahnya, Carl jatuh pingsang. Ini merupakan titik balik dimana orang tuanya kemudian mengijinkan Carl sebagai pekabar injil.

Sebab disadari bahwa bila tidak, Tuhan dapat saja mengambil nyawanya. Dan dengan berat hati mereka pun mengizinkannya pergi. Dengan izin orang tuanya, Carl diterima oleh Gossner.

Setelah beberapa waktu lamanya dididik oleh Gossner, maka tanggal 18 April 1852, ia diteguhkan sebagai seorang pekabar injil dan dipercayakan untuk bekerja untuk "orang-orang kafir".

Ottow mengungkapkan bahwa, ia mengucapkan janji itu dengan kepercayaan akan bantuan Tuhan dengan senang hati.

Tanggal 14 Mei 1852 ia pamit dengan orang tua dan keluarganya, kemudian ia pergi ke Zetten dekat Hemen tempat dimana calon-calon pekabar injil dipersiapkan utuk selanjutnya diutus keluar Eropa.

Johan Gottlob Geissler

Geissler yang memiliki nama lengkap, Johan Gottlob Geissler, dilahirkan pada tanggal 18 Februari 1830 di Langen-Reichenbanck, Jerman.

Sejak berumur 14 tahun, ia sudah terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja sebagai anggota gereja Lutheran Jerman. Kemudian ia dibawah oleh ayahnya ke Berlin, di sana ia belajar pada seorang tukang perabot rumah.

Sebagai anggota gereja, ia pun secara teratur pergi ke gereja, selain itu ia juga mengunjungi semacam Sekolah Minggu untuk orang dewasa.

Panggilan Pelayanan Ottow dan Geissler

Sejak berumur 18 tahun, Ottow sudah tertarik untuk menjadi pekabar injil. Ia termotivasi oleh khotbah dari seorang pendeta di jemaatnya.

Diatas pintu bangunan sekolah itu tertulis, "Pergilah ke seluruh dunia dan beritakan injil (Matius 28:19)". Geissler terkesan dengan kata-kata itu dan mulai sejak itu pula ia menaruh minat untuk pekerjaan Zending.

Ia suka belajar dan menggabungkan diri dengan sekelompok pemuda yang bersama menjalankan sejenis pekerjaan kader.

Dari situlah Geissler belajar banyak hal dan mengunjungi kawan-kawannya, terkadang ia mengikuti pertemuan-pertemuan Zending.

Pada tanggal 14 Agustus 1851 ketika Geissler berusia 21 tahun, dalam suatu pesta Zending ia mendengar khotbah tentang "pergilah ke seluruh dunia!". Sejak itu ia tidak ragu lagi untuk menunaikan tugas yang kemudian diembannya.

Dan seperti itulah yang terjadi pada diri Geissler, sehingga ketika ia bertemu dengan bapak Gossner dalam suatu perkumpulan "pembinaan" yang diadakan untuk calon para Zendeling, dimana bapak Gossner berbicara tentang pekerjaan Zending, rupanya Gossner dalam perkumpulan itu ia memakai pakaian yang agak menyolok.

Sebab sesudah khotbah itu, bapak Gossner berbicara kepada pemuda-pemuda yang hadir, tetapi tiba-tiba ia berpaling kepada Geissler lalu bertanya, "...dan bagaimana dengan Anda yang berbaju biru itu! Apakah Anda tidak tertarik juga untuk melakukan pekerjaan Zending?"

Atas pertanyaan ini Geissler secara spontanitas menjawabnya, "Ya!" Lalu ia menambahkan lagi bahwa ia sebenarnya tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi seorang Zending (pekabar Injil) karena ternyata ia masih memiliki kekurangan, akan tetapi Gossner memberi motivasi kepadanya, dan ia pun dapat mengikuti pendidikan.

Pada tanggal 28 Februari 1852 ia diteguhkan sebagai seorang Zendeling dan dengan demikian ia menjadi salah satu dari murid Gossner yang kemudian diutus ke medan PI (pekabaran Injil).

Calon pertama untuk Papua, pada tahun 1850 Herdring dan Gossner saling bertemu dan sepakat untuk mewujudkan gagasan mereka mengenai pekabaran Injil, maka lahirlah apa yang disebut Zendelings Werklieden (Zending tukang).

Pertemuan tersebut dimana menjadi hubungan berusaha dan bekerja-sama mengkokritkan bagaimana konsep utusan tukang itu bisa terwujud.

Dari Jerman Gossner memilih calon-calon utusan dan mengirimnya kepada Herdring di Belanda untuk dilatih bersama-sama calon lainnya yang ada di negeri Belanda.

Setelah mendapat orang-orang yang atas keputusan dan pengakuan imannya, dan mendapat kepercayaan untuk diutus (calon-calon pekabar Injil pertama), maka pada tahun 1852, rumah Zending di sebelah pastori Herdring di Zetten, dijadikan sebagai tempat penumpangan dimana mereka dipersiapkan untuk diutus ke Eropa.

Di Zetten, tempat dimana para calon pekabaran Injil yaitu di tampung, terdapat beberapa orang yang siap diutus ke wilayah Hindia Belanda (Indonesia), masing-masing: Grimm, Burgers, Ottow, Scheineider, dan Geissler.

Mereka ini setelah dalam kurun waktu yang singkat mendapat pengetahuan teologia (kerohanian dan keterampilan), kemudian diutus untuk pergi ke medan pekabaran Injil, yakni dunia ke-3 tempat tinggal orang-orang kafir.

Heldring sendiri memimpin ibadah pelepasan (pengutusan), para pekabar Injil itu dilepaskan pergi.

Visi dan Misi Pelayanan Ottow dan Geissler

Pada tanggal 26 Juni 1852 dengan menumpang kapal Abel Tasman berangkat dari Roterdam dan akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1852, tibalah mereka di Batavia (sekarang Jakarta).

Diantara mereka yang diutus itu ada yang pergi ke pulau-pulau Sangir Talaud dan Halmahera, sedang Ottow dan Geissler khusus untuk daerah Papua. Ottow dan Geissler menuju ke Papua.

Perjalanan pertama dari Belanda - Indonesia (Batavia) sudah dilalui, walaupun permulaan itu amat sukar karena tempat tujuan itu belum pasti, tetapi bagi pekabar Injil pengalaman itu diterima dengan penuh sukacita.

Setelah tiba di Batavia, Ottow dan Geissler tidak diizinkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk melanjutkan perjalanan ke Papua.

Pemerintah HB (Hindia Belanda), tidak mengizinkan orang yang bukan warga negara Belanda masuk ke daerah lain di Indonesia yang adalah wilayah jajahannya.

Ada dua alasannya, yakni: Pertama, soal keamanan dan keselamatan dari kedua pekabar Injil itu. Kedua, pemerintah HB mencurigai orang lain yang masuk ke daerah jajahan mereka.

Ottow dan Geissler ke Papua jika ada bukti-bukti dan argumentasi yang kuat dan yang meyakinkan bahwa tempat dimana mereka tujui tidak akan menimbulkan malapetaka bagi mereka.

Karena daerah Papua dianggap sebagai daerah yang penduduknya terkenal dalam hal peperangan, perampokan, liar, dan sebagainya.

Alasan itu menyebabkan Ottow dan Geissler tinggal kurang lebih satu setengah tahun di Batavia sambil menunggu surat izin yang di keluarkan pemerintah HB.

Geissler menyelenggarakan suatu sekolah di Batavia, sedang Ottow pergi ke sebuah kampung Makasa, di sana ia membuka sekolah bagi anak-anak Tionghoa dan Sunda.

Selama menunggu akhirnya izin ke Papua itu dikeluarkan, tetapi terbatas hanya sampai ke Ternate. Izin itu diusahakan oleh suatu badan Zending di Batavia, "Het Genootsvhap Voor In-en Vitwendige Zending".

Badan ini yang berfungsi untuk menopang para utusan yang datang dari Eropa. Demikian Ottow dan Geissler ditampung oleh badan Zending ini. Mereka hanya sampai ke Ternate, karena ke Papua ada kemungkinan untuk mengutus para pekabar injil kesana.

Hal itu didukung oleh laporan-laporan yang diperoleh bahwa Manokwari (Teluk Doreh) Barat Daya Papua, dikatakan bahwa penduduk itu bisa diajak bicara (berkomunikasi).

Laporan tersebut berasal dari seorang anggota Zending G.F. De Bruin Kops, yang pada tahun 1850, ikut kapal perang "Circe" (Belanda) Ke Nieuw Guinea dengan tujuan mengadakan penyelidikan ilmiah dalam rangkah menentukan batas Wilayah pemerintahan Hindia Belanda.

Dikatakan demikian, karena Teluk Doreh memberikan kesan baik dan menguntungkan daerah yang sangat cocok untuk menjadi tempat tinggal.

Selain teluknya yang aman, indah permai terdapat juga air minum yang melimpah ruah. Daratan Doreh memiliki tanah yang subur, beriklim sehat dan segar juga terdapat bahan baku rotan, taripan dsb, untuk bahan perdagangan.

Pulau-pulaunya berdekat dan penduduknya yang ramah, lemah lembut, sekalipun mereka kelihatan malas terutama kaum lelakinya yang suka tidur dan merokok, namun mereka bisa dapat bekerja.

Di sana banyak perahu layar yang datang singgah dan pergi. Tampan dan bentuk tubuh mereka bersih dan rapih, bermata bening, gigi mereka berderet putih, mudah senyum dan dapat dipercayai.

Berdasarkan laporan ini, maka pemerintah HB, mengeluarkan izin bagi Ottow dan Geissler, walaupun terbatas hanya sampai di Ternate.

Tanggal 18 Mei 1854 diadakan kebaktian perpisahan dengan Ottow dan Geissler di Batavia.

Doa-doa yang dinaikan penuh penyerahan kepada Tuhan karena disadari bahwa pergi ke tanah Papua mengandung bahaya bagi keduanya.

Kebaktian perpisahan itu memberi kesan yang mendalam bagi Ottow maupun Geissler, karena mereka berangkat menuju ke masa depan yang oleh banyak orang dilukiskan sebagai daerah hitam, "Wilayah Iblis".

Kebaktian perpisahan itu mengharukan, sampai membuat Geissler tertekan dalam batin, lalu ia menulis dalam catatan hariannya demikian: "Kami pergi ke daerah yang belum pernah ada seorang pekabar injil, kami tidak mengharapkan pertolongan dari orang lain, selain kepada Dia yang mengatakan, "Aku menyertai kamu sampai kepada akhir hidup (Mat. 28:20)".

Pada tanggal 30 Mei 1854, Ottow dan Geissler tiba di Ternate, mereka menumpang di rumah Pdt. J. E Hoveker yang sudah sejak tahun 1833 menjadi pendeta di satu jemaat di sana.

Dan rumahnya dijadikan sebagai tempat penampungan para pekabar injil dari dan ke Papua. Disini Ottow dan Geissler bertemu dengan tuan Duivenbode (pemilik kapal Sekunar) yang melayani kepulauan Maluku dan Papua untuk maksud perdagangan.

Pdt. Hoveker pun berkeberatan karena besarnya resiko dan tidak ada perlindungan dari pemerintahan. Walaupun dengan kemauan keras Ottow dan Geissler tetap melaksanakan niat mereka. Bagi mereka itu merupakan kehendak Tuhan, sehingga mereka tetap ke Papua.

Tekad itu begitu kuat, sehingga Pdt. Hoveker menulis: "Bahwa Ottow dan Geissler sudah merasa yakin bahwa Tuhan berkehendak mereka ke Papua, maka saya pun merasa demikian, sebab seandainya segala keberatan dan berita negatif yang mereka dengar pastilah mereka menerima anjuran dan nasehat saya".

Pertimbangan lain adalah mengenai tempat di mana mereka akan menetap, maka Teluk Doreh sebagai tempat tinggal, karena daerah tersebut sangat strategis dan terlindung dari angin pada segala jurusan.

Penguasa (Residen Ternate dan gubernur Maluku) ternyata menyetujui pula daerah tersebut sebagai tempat tinggal kedua pekabar tersebut itu, bahkan Pdt. Hoveker menyebutkan adanya harapan bahwa pemerintah tidak lama lagi akan mendirikan pos di sana, sehingga demikian keberatan yang berhubungan keselamatan dan sepenuhnya ditiadakan.

Kesedihan dan kerjasama Residen dan Gubernur sangat dibutuhkan oleh kedua pekabar Injil tersebut, karena dengan begitu mereka bisa mendapat surat izin dari sultan Ternate untuk maksud perjalanan ke Papua.

Karena Sultan Ternate (Islam), sehingga Residen menilai bahwa ia tentu tidak suka kepada dua orang pekabar Injil ini ke Papua, maka tidak memberikan izin kepada mereka.

Agar tidak diketahui identitas mereka, maka ia mengemukakan seolah-olah kedua orang muda tersebut, yaitu Ottow dan Geissler di sebutlah peneliti ke daerah Papua.

Walaupun ada unsur rekayasa, namun hal itu pun kemudian diketahui sultan juga, tetapi sultan tidak bereaksi apa-apa malah berkata, ia agaknya sambil tersenyum: "Ah, mereka ini kan penginjil dan dalam surat ijin yang diberikan kepada mereka tanpa keberatan apa-apa dia menulis, 'pendeta atau penginjil'".

Sultan juga menulis surat kepada Korano (Kepala Kampung) Mansiman, agar setibanya kedua pekabar Injil itu mereka dapat dilindungi bahkan bila kekurangan makanan mereka dapat dibantu.

Kita mendapat kesan bahwa orang-orang Kristen di Ternate membayangkan kehidupan Papua sebagai petualangan yang romantis.

Seorang guru bahkan memberi izin kepada anak lelakinya Frits (12 tahun) untuk bersama Ottow dan Geissler lebih meyakinkan jaminan keselamatan dan penyertaan Allah, sehingga dalam catatan hariannya Ottow menulis: "Hanya seperti di duga orang tidak ada di sana, seandainya penduduk diperlakukan dengan baik, mereka akan berbuat baik pula bagi kami. Ia mengungkapkan bahwa Allah adalah pokok kekuatan yang telah menaklukkan Goliad di depan Daud kini masih hidup. Dialah yang akan mengangkat bagi kamu batu rintangan terberat dan membimbing kepada yang baik".

Pada tanggal 12 Januari 1855, perjalanan menuju Papua di mulai. Kedua Perintis (Pelopor) ini, yakni Ottow dan Geissler dengan Sekunar Ternate menuju masa depan mereka dengan diperlengkapi barang-barang bawahan secukupnya.

Perjalanan Ternate Ke Papua di tempuh kurang lebih tiga minggu, yaitu 25 hari, kemudian Ottow dan Geissler memasuki Teluk Doreh.

Tepat tanggal 5 Februari 1855 hari Minggu pagi yang cerah, jam 06.00 kapal Ternate membuang sauhnya di depan kampung Mansinam pelabuhan Doreh.

Untuk mengungkapkan rasa sukacita itu, Geissler menuliskan kepada Bapak Gossner, "Anda tak dapat membayangkan, betapa besarnya rasa sukacita kami bahwa pada akhirnya tanah tujuan terlihat. Matahari terbit dengan indahnya. Ya, semoga matahari yang sebenarnya menyinari kami dan orang-orang kafir yang malang itu, yang telah sekian lamanya merana di dalam kegelapan dosa. Semoga sang Gembala Setia, Yesus Kristus mengumpulkan mereka di bawah tongkat Gembala-Nya yang lembut."

Dengan sekoci pertama menuju daratan ditumpangi Ottow dan Geissler ke pantai Mansinam. Sebagai pekabar Injil yang sungguh-sungguh telah menyerahkan diri untuk bekerja bagi orang kafir, maka hal pertama yang mereka dua lakukan adalah mengucapkan pernyataan, "Dengan nama Tuhan kami Yesus Kristus, kami menginjakkan kaki di Tanah ini, amin! Dengan kata-kata itu keduanya menginjakkan kakinya di atas bumi Papua."

Di dalam rimbunan semak belukar mereka dua segera berlutut dan berdoa kepada Tuhan. Isi doa secara lengkap, kita tidak mengetahuinya, namun menurut F.C. Kamma, mereka berdoa kepada Tuhan untuk mendapat kekuatan, Tenaga, Terang dan kebijaksanaan, agar semua dapat dimulai dengan sungguh-sungguh baik, dan agar Tuhan sudi menaruh belas kasihan kepada orang-orang kafir yang malang itu.

Untuk sementara mereka dua menempati bangunan bekas gudang arang milik Deyghton, nahkoda kapal rembang yang sangat dihormati dan disegani oleh penduduk di daerah pesisir pantai Teluk Doreh dan sekitarnya.

Karya Pelayanan Ottow dan Geissler

Dengan penyertaan Allah serta doa, maka pekabar injil di Papua dimulai, dan sejak itu Ottow dan Geissler membuka Mansinam sebagai pos pekabar injil pertama di bagian timur Indonesia tersebut.

Setelah dua tahun kemudian (1857) Ottow membuka pos pekabar Injil kedua di Kwawi daratan Manokwari, sedangkan Geissler meneruskan pekerjaan di Mansinam.

Kontak pertama dengan masyarakat sama sekali belum nampak, karena kedua pekabar Injil itu selain mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, tetapi juga belum membuka diri mengadakan hubungan dengan penduduk.

Padahal satu pendekatan utama untuk memahami latarbelakang budaya, adat istiadat, kebiasaan dan lain-lain. Maka harus mendatangi orang itu, lalu membiarkan diri ditanyai, "Anda dari mana dan mau ke mana?"

Mengutip Haposan Lumbantoruan dalam artikelnya yang berjudul, Bahasa adalah Sentuhan Kasih: "Kabar Baik" Hadir dalam Bahasa "Mereka" mengatakan, "Bahasa adalah sentuhan kasih...Dengan bahasa sesama manusia bisa saling mengerti dan berkomunikasi...Bahasa adalah jembatan pertemanan.

Jembatan antara Injil kasih karunia Allah dengan manusia berdosa. Keselamatan manusia berdosa terletak pada Injil. Letakkanlah Injil tersebut dengan bahasa yang sederhana dan komunikatif."

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memberikan gambaran tentang struktur hidup dan pola berfikir orang Papua di dalam "agama suku".

Di dalam kepercayaan agama suku, orang Papua menganggap bahwa orang putih adalah orang mati yang bangkit kembali.

Apalagi ketika Ottow dan Geissler turun dengan barang-barang bawaan yang banyak, walaupun kita ketahui bahwa para pekabar Injil itu miskin dan semua yang dibawa itu diperoleh dari uang hasil pemberian atau sokongan, tetapi di mata orang Papua mereka adalah orang-orang terkaya yang pernah hidup di Mansinam. Mereka ini adalah orang yang datang dari tempat kematian (perut bumi) membawa banyak barang.

Perintisan dan permulaan pekabaran injil (1855-1863). UZV memperluas pekerjaan dari Gossner yang dirintis Ottow dan Geissler (1863-1907). Pembentukan resort-resort (1907-1924).

Resort dan jemaat-jemaat diintesifkan (1924-1942). Masa PD II masa pencobaan dan ujian (1942-1945). Pembangunan kembali "pembentukan jemaat, Klasis dan Resort dan persiapan menuju GKI yang berdiri sendiri"(1945-1956).

Dalam pengalaman sejarah pekabaran Injil di tanah Papua, diberbagai tempat terjadi pengalaman-pengalaman bahwa pada permulaan abad ke-20, sewaktu mulainya gerakan peralihan kepada Kekristenan, unsur-unsur budaya mengalami tantangan berat karena dianggap unsur-unsur kafir yang patut ditiadakan.

Sikap konfrontatif sesungguhnya bukan berasal dari masyarakat pemilik kebudayaan, tetapi bersumber dari para pekabar Injil.

Akibat dari pandangan yang keliru terhadap kebudayaan menyebabkan terjadinya pergeseran nilai yang menimbulkan krisis identitas budaya.

Ketika nilai-nilai budaya setempat mengalami Invasi oleh nilai-nilai baru dari luar, sehingga terjadi benturan-benturan nilai antara yang lama dan baru.

Biasanya nilai-nilai baru dari luar dianggap lebih kuat dan unggul terhadap nilai-nilai setempat. Kadangkala terjadi bahwa akibat dari benturan-benturan nilai itu, orang kehilangan pegangan hidup.

Misalnya, dengan dimusnahkannya unsur-unsur budaya sehubungan dengan penerimaan Injil oleh suatu kelompok sosial, tanpa disadari atau tidak, lama-kelamaan menggoncangkan seluruh sistem masyarakat, yang dipegang teguh dan yang telah berurat dan berakar.

Ottow dan Geissler mengamati dan mencatat apa yang mereka temukan itu di sana. Dengan pola pendekatan adaptasi, yaitu dengan metode yang di dalam Antropologi budaya "observasi dan partisipasi" dengan pola pendekatan tersebut Ottow dan Geissler mengerti kebudayaan, adat, perilaku hidup penduduk setempat yang dikabari Injil.

Tahun 1856, telah dimulai untuk pertama kali kebaktian hari Minggu dalam bahasa melayu yang dilakukan dua kali, pagi dan sore. Tahun 1857 mereka berhasil menyusun sebuah buku nyanyian dalam bahasa Numfor.

Dengan karangan buku nyanyian tersebut menunjukkan suatu prestasi di bidang bahasa.

Juga demikian terjemahan Alkitab dimulai: Kitab Injil Matius, Markus, buku Katekismus, dan kamus berbahasa Nufor.

Disamping itu pendidikan pun dimulai, sekolah Zending pertama dimulai di Mansinam (1857). Kemudian disusul sekolah Zending kedua di Kwawi.

Tahun 1867 sekolah Zending ketiga dibuka di Meoswar dan dua tahun berikutnya 1869 satu sekolah lagi dibuka di Andai.

Dengan demikian beberapa daerah tertentu dibuka sekolah-sekolah Zending bersama dengan pembukaan pos-pos PI yang baru antara lain pembukaan sekolah di Maomi-Ransiki (1874), di pulau Roon (1883), dan pada tahun 1897 di buka satu sekolah khusus untuk anak-anak pedalaman dari suku Hatam dan Meyach di Ambang Manokwari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun