Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kelanjutan Drama Hukum Pegi Setiawan

12 Juli 2024   07:45 Diperbarui: 12 Juli 2024   07:53 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelanjutan Drama Hukum Pegi Setiawan

Oleh Handra Deddy Hasan

Putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada hari Senin (8/7/2024) yang mengabulkan gugatan praperadilan pembunuhan remaja Vina Arsita (16) dan Muhammad Rizki - Eky (16) di Cirebon pada 2016, baru merupakan awal perjalanan drama hukum Pegi Setiawan sebagai tersangka.

Dalam salah satu pertimbangan amar putusannya Hakim tunggal Pengadilan Negeri Bandung Eman Sulaeman mengatakan, gugatan itu dikabulkan karena tidak ada bukti Pegi pernah diperiksa oleh Polda Jawa Barat sebelum ditetapkan sebagai tersangka.

Akibat putusan praperadilan tersebut Pegi dipandang oleh masyarakat seperti pahlawan pulang perang. Masyarakat disekitar tempat tinggalnya menyambut kedatanganya dengan suka cita berdesakan dengan membawa bermacam bingkisan, termasuk kue. Pada umumnya masyarakat mempunyai opini bahwa keadilan telah ditegakkan dan mereka dengan nalarnya sendiri menyatakan Pegi tidak bersalah. Opini tersebut tidak terbatas disekitar tempat tinggalnya Pegi, opini yang sama juga menyebar dijagat maya, riuh rendah disuarakan oleh netizen yang euforia menyambut kebebasan Pegi Setiawan.

Padahal lingkup Pengadilan praperadilan, belum menyentuh sama sekali masalah pokok perkara. Jadi dalam proses praperadilan yang singkat dan diadili oleh Hakim tunggal  pembahasannya terbatas hanya masalah formal, misalnya tentang penangkapan dan atau penahanan yang tidak sah, yang bertentangan dengan ketentuan hukum acara.

Jadi masalah utama pembunuhan Vina dan Eky, seperti siapa yang membunuh dan siapa yang bersalah belum dibahas sama sekali dalam sidang praperadilan.

Dalam praperadilan memungkinkan seorang tersangka untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menguji legalitas atau keabsahan penangkapan dan status tersangkanya. Tujuan dari praperadilan adalah untuk melindungi hak individu dari penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran prosedur hukum yang mungkin terjadi dalam proses hukum.

Proses praperadilan dilakukan sebelum perkara dilimpahkan ke Pengadilan, apabila perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan maka hak tersangka untuk mengajukan praperadilan akan hapus. Berdasarkan Pasal 82 ayat (d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan bahwa dalam hal perkara pokoknya sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

Dalam praperadilan, pihak yang merasa hak-haknya dilanggar dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk meminta keputusan terkait keabsahan atau legalitas proses hukum yang sedang atau akan dilakukan terhadapnya.

Praperadilan memiliki peran penting dalam menjaga keadilan dan kepastian hukum, serta memberikan kesempatan bagi individu untuk melindungi hak-haknya sebelum terlambat.

Proses peradilan praperadilan diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sebagaimana terungkap dalam sidang praperadilan Pegi Setiawan yang disiarkan secara langsung oleh beberapa televisi swasta, pihak pengacaranya bisa meyakinkan Hakim bahwa penangkapan dan penetapan kliennya sebagai tersangka tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Oleh karena itu Pengadilan Negeri Bandung menetapkan batal demi hukum penetapan tersangka Pegi Setiawan sebagai pembunuh dan pemerkosa Vina.

Sehingga dengan demikian, kalau penyidik tetap berkeyakinan, setelah adanya putusan praperadilan bahwa kematian Vina dan Eky merupakan peristiwa pidana pembunuhan dan pemerkosaan, maka masih bisa melanjutkan penyidikannya.
Namun kali ini akan berbeda tentunya dengan pola penyidikan yang dilakukan pada tahun 2016 yang lalu. Penyidik Kepolisian tentunya akan lebih berhati-hati dan lebih patuh kepada hukum agar hasil penyidikannya sah dan kebal dari tuntutan praperadilan.

Hasil penyidikan yang baru ada kemungkinan memunculkan tersangka baru atau bisa saja Pegi Setiawan tetap sebagai tersangka, tergantung kepada bukti-bukti yang ditemukan oleh penyidik.

Terlepas dari hal tersebut berdasarkan Pasal 77 KUHAP selain mengatur tentang keabsahan penangkapan dan penahanan, juga diatur mengenai ganti rugi dan rehabilitasi bagi tersangka yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Sebagaimana diberitakan konon kabarnya pihak Pegi Setiawan dan pengacaranya akan melanjutkan upaya hukum dengan akan menggugat praperadilan untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas nasib yang dideritanya.

Jika seorang tersangka yang perkara pidananya dihentikan di tingkat penyidikan atau penuntutan, maka tersangka dapat memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya akibat tindakan yang tidak sah tersebut. Ganti rugi tersebut dapat mencakup kerugian materiil maupun imateriil yang diderita oleh tersangka.

Selain itu, jika dalam proses praperadilan terbukti bahwa proses hukum terhadap tersangka dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan karena tidak cukup bukti atau alasan lain, tersangka juga dapat meminta rehabilitasi. Rehabilitasi dalam konteks ini adalah upaya untuk mengembalikan nama baik tersangka yang mungkin telah tercemar selama proses hukum berlangsung.

Kedua hal ini, yaitu ganti rugi dan rehabilitasi bagi tersangka, merupakan bagian dari upaya menjaga keadilan dan hak asasi individu dalam proses hukum.

Permasalahan yang ada bagi Pegi saat ini untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi adalah, apakah perkaranya betul-betul telah dihentikan oleh pihak Kepolisian.

Sebagaimana kita ketahui bahwa penghentian perkara Pegi bukan berasal dari inisiatif pihak Kepolisian karena tidak cukupnya bukti. Penghentian perkara Pegi berdasarkan putusan praperadilan yang diputuskan oleh Hakim tunggal Pengadilan Negeri Bandung. Berbeda misalnya apabila dalam perkara Pegi dihentikan berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP dengan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 oleh Kepolisian, karena tidak cukupnya bukti.

Sedangkan dalam penghentian perkara karena putusan praperadilan, pihak Kepolisian tetap berkeyakinan mempunyai bukti yang cukup, sehingga dibutuhkan ikut campur tangan Hakim untuk memeriksa dan mempertimbangkan agar bisa membuat Keputusan untuk menyatakan penangkapan dan penetapan tersangka Pegi dinyatakan tidak sah.

Berdasarkan hal tersebut unsur praperadilan "perkara pidananya dihentikan" guna menuntut ganti rugi dan rehabilitasi dalam kasus Pegi Setiawan masih ngambang. Dalam penyidikan lanjutan bisa saja pihak Kepolisian kembali membidik Pegi Setiawan sebagai tersangka pelaku pembunuhan, pemerkosaan Vina dan Eky.
Namun bisa juga penyidikan pada tahun 2016 merupakan Peradilan Sesat yang hanya berdasarkan rekayasa belaka, sehingga penyidikan baru akan mengungkapkan ada tersangka baru sama sekali dan tidak ada kaitannya dengan Pegi Setiawan.

Jadi dengan demikian, menurut hemat penulis, pihak Pegi Setiawan dan pengacaranya sebaiknya jangan terburu-buru untuk mengajukan praperadilan ganti rugi dan rehabilitasi, sebelum memastikan bahwa memang perkaranya betul-betul telah dihentikan oleh pihak Kepolisian.

Peninjauan Kembali.

Putusan praperadilan perkara Pegi Setiawan tidak hanya mempunyai dampak sebatas kepada dirinya saja, namun juga membuat terpidana yang sudah dihukum bereaksi.

5 (lima) orang yang merupakan bagian dari 8 (delapan) orang terpidana bersalah kasus pembunuhan Vina dan  Eky di Cirebon, Jawa Barat, 2016 lalu, berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).

Adapun kelima terpidana tersebut yang dihukum penjara seumur hidup yang akan mengajukan PK  atas nama Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Eko Ramadhani, dan Supriyanto.

Sedangkan 2 (dua) orang lagi yang tidak akan mengajukan PK adalah Sudirman dan Rivaldi Aditya (Kompas, Rabu 10/7/2024).

Sementara seorang lagi Saka Tatal yang pada tahun 2016 masih dibawah umur dan telah bebas tahun 2020 melalui Kuasa Hukumnya Krisna Mukti hanya beberapa jam setelah Pengadilan Negeri Bandung menyatakan status tersangka Pegi tidak sah langsung mengajukan PK. (Kompas, Selasa 9/7/2024).

Sebetulnya sebelum perkara ini viral ada 11 orang yang menjadi tersangka, 8 orang telah dihukum dan 3 orang buron (termasuk Pegi Setiawan). Kemudian pihak Kepolisian meralat bahwa hanya ada 1 orang buron, sedangkan 2 orang lagi dinilai fiktif.

Salah seorang Kuasa hukum 5 (lima) orang para terpidana Nicholay Aprilindo melihat peluang untuk bisa mengajukan PK untuk membebaskan para kliennya dari hukuman penjara. Peluang tersebut berdasarkan putusan praperadilan Pegi Setiawan yang akan dijadikan sebagai novum.

Istilah "novum" mempunyai arti sebagai bukti baru yang relevan dan signifikan yang tidak tersedia atau tidak diketahui pada saat persidangan awal. Bukti novum ini harus bersifat memadai dan memenuhi syarat untuk dapat menjadi dasar pengajuan PK. Novum memiliki peran penting dalam proses PK karena dapat menjadi alasan yang kuat untuk mengajukan peninjauan ulang terhadap putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.

Sedangkan PK adalah upaya hukum yang memungkinkan suatu perkara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk diperiksa kembali oleh Mahkamah Agung. PK merupakan upaya terakhir untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam proses peradilan yang dapat memengaruhi keputusan terhadap suatu perkara.

Proses PK akan melibatkan persyaratan dan prosedur yang ketat, dan pihak yang mengajukan PK harus dapat membuktikan bahwa terdapat alasan yang kuat untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan tersebut. Keputusan mengenai permohonan PK akan diputuskan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung yang tidak memutuskan perkara tersebut dalam tingkat kasasi sebelumnya.

Sebetulnya menurut KUHAP bahwa upaya hukum PK dapat diajukan atas dasar beberapa alasan yaitu ditemukannya keadaan baru (novum), pertentangan putusan pengadilan dan kekhilafan atau kekeliruan hakim.
Namun dalam kenyataannya, PK sebagian besar diajukan atas dasar novum, sehingga demikian populernya istilah novum, ada anggapan bahwa novum dianggap sebagai satu-satunya syarat PK.

Kualifikasi novum yang menjadi dasar PK belum diatur secara jelas di dalam
KUHAP. Hal tersebut menimbulkan interpretasi tentang kualifikasi novum yang beragam di kalangan ahli hukum pidana
Pasal 263 ayat (2) huruf (a) KUHAP dinilai belum cukup memuaskan untuk menjelaskan kualifikasi yang jelas dan pasti mengenai batasan novum.

Selama ini dasar yang dapat digunakan dalam menilai novum adalah penafsiran para Hakim Mahkamah Agung yang tercantum di dalam putusan-putusan PK.
Hakim Mahkamah Agung bebas memutuskan untuk menerima novum yang diajukan sebagai dasar PK atau tidak.

Dalam kasus 6 orang kasus terpidana pembunuhan dan pemerkosaan Vina dan Eky akan diajukan PK dengan dasar adanya novum yang dikaitkan dengan putusan praperadilan.

Dengan dikabulkannya praperadilan Pegi Setiawan dianggap sebagai bukti baru berupa novum yang bisa menjadikan alasan untuk membebaskan terpidana dari hukuman.

Apakah putusan praperadilan tersebut cukup memenuhi syarat kualifikasi sebagai novum. Sebagaimana mana kita ketahui praperadilan hanya menyentuh hukum formal, tidak hukum materil. Dalam pertimbangan hukum praperadilan yang membatalkan Pegi sebagai tersangka karena tidak diperiksa terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Apakah alasan demikian cukup memenuhi kualifikasi sebagai novum yang berupa bukti baru yang bisa membuktikan bahwa para terpidana telah keliru dihukum? Untuk menjawabnya maka mari kita tunggu pertimbangan hukum Majelis Hakim Agung yang mengadili PK nya nanti.

Kesaksian Palsu.

Saat ini media elektronik gencar mengeksploitasi popularitas dan euforia kebebasan Pegi Setiawan setelah adanya putusan praperadilan Pengadilan Bandung. Salah satu materi wawancara yang terlihat berlebihan adalah berupa tantangan oleh Pegi kepada Aep yang menjadi saksi sehingga Pegi dijadikan tersangka. Pegi menantang Aep yang telah menghilang dari kediamannya di Bekasi untuk berdebat secara terbuka. Tantangan dengan nada jumawa tersebut tentunya berlebihan dan tidak mempunyai nilai hukum. Seharusnya Pegi atau Kuasa Hukumnya melaporkan Aep ke pihak Kepolisian dengan laporan kesaksian palsu. Tindakan melaporkan Aep dengan pidana kesaksian palsu sangat strategies dan mempunyai nilai hukum sebagai persiapan agar Pegi bisa menangkal untuk dijadikan lagi sebagai tersangka dalam kasus yang sama.

Tim Kuasa hukum 5 (Lima) terpidana selain akan mengajukan PK juga berencana melaporkan Aep dan Dede terkait dengan kesaksian palsu.

Pasal 174 KUHAP menyatakan bahwa kesaksian dalam persidangan pidana harus diberikan dengan sebenarnya (sesuai fakta), kalau tidak akan dianggap sebagai keterangan palsu. Suatu keterangan palsu yang dibuat di atas sumpah dan diberikan dalam perkara pidana serta merugikan terdakwa atau tersangka dapat diancam dengan pidana penjara.

Langkah hukum melaporkan Aep dan Dede memberikan kesaksian palsu dan bisa membuktikannya, merupakan langkah strategis yang sangat ampuh bagi Terpidana secara hukum.

Hal tersebut dikarenakan penyidik membangun perkara yang membuat pembunuhan dan pemerkosaan Vina dan Eky para tahun 2016 sangat mengandalkan kedua orang saksi tersebut. Apabila bisa membuktikan bahwa kedua orang saksi Aep dan Dede berbohong maka buyarlah kasus pembunuhan dan pemerkosaan Vina dan Eky.

Bagi Pegi Setiawan apabila bisa membuktikan bahwa Aep dan Dede memberikan keterangan palsu, maka kemungkinan untuk menjadi tersangka lagi menjadi mustahil.

Sedangkan bagi 8 orang terpidana, bukti kebohongan saksi bisa menjadikan novum yang kuat untuk dijadikan dasar PK.

Berbeda dengan novum praperadilan yang akan diajukan oleh 6 (enam) terpidana masih merupakan tanda tanya memenuhi kualifikasi novum, sedangkan novum kebohongan saksi adalah merupakan bukti baru yang telak mengenai dan menyentuh pokok perkara pembunuhan Vina dan Eky.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun