Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kekerasan Seksual Marak di Pesantren: Apa Peranan UU Kekerasan Seksual?

22 Juni 2023   09:00 Diperbarui: 22 Juni 2023   09:04 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar Photo dan ilustrasi Liputan6.com

Kekerasan Seksual Marak Di Pesantren ; Apa Peranan UU Kekerasan Seksual?

oleh Handra Deddy Hasan

Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah seperti gunung es. Kasus-kasus yang terungkap ke permukaan hanya sebagian kecil, sedangkan kejadian yang sebenarnya jauh lebih besar skalanya.

Walaupun Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah berlaku dan disahkan pada tanggal 9 Mei 2022, namun masih belum efektif karena aturan teknisnya belum ada.

Maka, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin menerbitkan aturan turunannya.  

Berdasarkan laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), terdapat sebanyak 11.016 kasus kekerasan seksual pada tahun 2022. 

Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 di mana terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4.162 kasus.

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengingatkan Pemerintah untuk segera menerbitkan aturan turunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Penerbitan aturan turunan UU TPKS jadi penting dan vital lantaran agar penanganan kasus kekerasan seksual bisa terlaksana optimal.

Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah darurat, termasuk marak terjadi di lingkungan pendidikan pondok pesantren yang seharusnya steril dari perbuatan asusila.

Misalnya diketahui, sedikitnya 41 orang santri menjadi korban pencabulan di pondok pesantren di Sakra Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dua orang pelaku pemerkosaan merupakan pimpinan pondok pesantren.

Modus yang digunakan pelaku adalah dengan membuka kelas pengajian seks khusus untuk santri yang diincar. Pelaku memberi materi pengajian tentang hubungan intim suami-istri.

Dilaporkan usia korban rata-rata masih 15-16 tahun dan duduk di kelas 3 MTs/SMP.

Seluruh korban juga dijanjikan mendapatkan wajah berseri dan berkah untuk masuk surga oleh pelaku. (Regional.kompas.com 23/5/2023).

Selain itu contoh lain, sebelumnya,  kasus pelecehan seksual juga terjadi di pondok pesantren di Provinsi Lampung.

Modusnya yang dilakukan dengan mengiming-imingi santriwati akan mendapat berkah jika bersetubuh dengan pelaku. (Cnnindonesia.com 12/1/2023)

Selain itu, terjadi kekerasan seksual kepada belasan santriwati di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, yang mana pelakunya adalah pengasuh ponpes. (Regional.kompas.com 17/4/2023).

Biasanya hingga saat ini, aparat penegak hukum biasanya menggunakan Undang-Indang Nomor 1 tahun 2016 tentang Undang-undang Perlindungan Anak dalam kasus kekerasan seksual di bawah umur karena belum adanya aturan turunan UU TPKS.

Menurut beberapa pengamat bahwa penanganan kasus kekerasan seksual seharusnya bisa lebih efektif apabila penegak hukum menerapkan pasal-pasal dalam UU TPKS.

Kekerasan Seksual Di Pondok Pesantren.

Kekerasan seksual adalah masalah yang sangat serius dan kompleks, dan bisa terjadi di berbagai tempat, termasuk di lingkungan pendidikan pondok pesantren.

Walaupun tanpa penelitian yang mendalam, penulis mempunyai beberapa hipotesa yang bisa menjadi  faktor dan dapat berkontribusi terhadap kekerasan seksual di pesantren.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi dan menggeneralisasi bahwa faktor-faktor ini ada disetiap Pondok Pesantren.

Bahwa tidak semua pesantren mengalami masalah TPKS bahkan ada kemungkinan beberapa pesantren yang pantas untuk dijadikan model dalam  mencegah terjadinya TPKS karena mempunyai sistim pengajaran yang bagus serta tegas.

Adapun faktor-faktor yang mungkin dan yang membuat pondok pesantren terlilit masalah kekerasan seksual adalah ;

1. Penyalahgunaan sistim pengajaran sekolah berasrama.

Sebagaimana kita ketahui metode pengajaran pondok pesantren menggunakan sistim berasrama. Setiap santri tinggal dan belajar di lokasi pondok pesantren dan disediakan asrama pondokan untuk tidur dan ber tempat tinggal. Bagi oknum-oknum bejat yang mempunyai niat jahat dapat menyalah gunakan sistim sekolah berasrama yakni seolah-olah memfasilitasi terjadinya kekerasan seksual di pesantren.

Sistem sekolah berasrama menciptakan lingkungan di mana para pelaku kekerasan seksual dapat memiliki akses yang lebih mudah dan berulang terhadap korban mereka.

2. Kekuasaan Guru yang kharismatik dan ketidakseimbangan kekuatan:

Pesantren merupakan lingkungan di mana guru atau tokoh agama memiliki otoritas yang tinggi atas para santri.

Beberapa guru di Pondok Pesantren merupakan guru yang kharismatik dan memukau.

Kelebihan dan ketidakseimbangan kekuasaan ini dapat memberikan kesempatan bagi individu yang memiliki niat jahat dan buruk untuk mengeksploitasi dan menyalahgunakan kekuasaan dan kelebihan mereka.

3. Ada kemungkinan kurangnya pemahaman dan kesadaran tentang kekerasan seksual :

Sebetulnya masalah ini jamak di lingkungan sekolah umum maupun sekolah khusus seperti pesantren.

Yaitu masalah kurang memahami pentingnya pendidikan seksual yang holistic dan tidak memberikan penekanan yang cukup pada pendidikan seksual yang menyeluruh.

Kurangnya pemahaman dan kesadaran tentang masalah kekerasan seksual dapat membuat mereka kurang waspada terhadap tanda-tanda dan perlindungan yang diperlukan.

Dari kasus-kasus yang mencuat ke permukaan beberapa oknum guru pesantren memanfaatkan keminiman pengetahuan santri tentang pendidikan seks yang holistic.

4. Adanya kesan kultur Pesantren  yang tertutup.

Beberapa pesantren mungkin memiliki kultur yang menutup-nutupi atau enggan membahas masalah kekerasan seksual karena dianggap tabu atau malu.

Apabila hal seperti ini terjadi dapat menyebabkan korban menjadi terisolasi dan sulit untuk melaporkan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya.

5. Kurangnya sistem pengawasan dan perlindungan:

Selain daripada itu ada dugaan beberapa pesantren tidak memiliki sistem pengawasan yang memadai untuk mencegah kekerasan seksual.

Akibat tidak jelasnya kebijakan, prosedur pelaporan, dan penanganan kasus kekerasan seksual dapat membuat lingkungan pesantren menjadi rentan terhadap kekerasan seksual.

6. Ketidakseimbangan gender:

Ada kemungkinan beberapa pesantren masih menganut pandangan yang patriarki sehingga menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan dan lemah.

Ketidakseimbangan gender ini dapat menciptakan lingkungan di mana potensi kekerasan seksual lebih gampang terjadi.

UU TPKS dan Turunannya Yang Masih Dirumuskan

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menegaskan implementasi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)  telah bisa diberlakukan, meski belum ada peraturan turunannya.

Peraturan pelaksana dari UU TPKS yang disepakati adalah tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres), diantaranya berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban TPKS dan RPP Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan penanganan Korban TPKS.

Kemudian Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak di Pusat, RPerpres Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, dan RPerpres Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.

Batas akhir penetapan peraturan pelaksana UU TPKS adalah 2 tahun sejak diundangkan, yakni jatuh pada tanggal 9 Mei 2024.

Menurut Pemerintah, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sampai hari ini pembuatan aturan turunan UU TPKS masih sesuai jadwal (Kompas, 15/6/2023).

Efektifitas UU TPKS dan Turunannya Dalam Menanggulangi TPKS

Terlepas ada tidaknya peraturan turunan UU TPKS, apakah UU yang dimaksud cukup efektif untuk meredam dan menanggulangi kejahatan kekerasan seksual yang sudah sampai pada titik mengkhawatirkan.

Efektifitas untuk menghalangi terjadinya tindak pidana kekerasan seksual dengan mengancam pelaku agar jera berupa sanksi yang berat masih dipertanyakan.

Hal ini mengingat bahwa UU TPKS masih baru dan baru berlaku lebih kurang 1 tahun (sejak 9 Mei 2022) dan nampaknya kurang dipahami dan tidak tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat.

Mungkin setelah adanya PP tentang Pencerahan TPKS dan Penanganannya dan PP Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencerahan dan Penanganan Korban TPKS telah jadi dan disosialisasikan dengan baik dapat mencegah terjadinya TPKS secara signifikan.

Adanya UU TPKS di Indonesia sangat penting karena berperanan memberikan perlindungan hukum kepada korban kekerasan seksual.

Peranan perlindungan hukum terhadap korban tidak dipunyai di Undang Undang lain termasuk tidak ada dalam materi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Dalam UU TPKS memungkinkan korban untuk melaporkan kejahatan tersebut, mendapatkan dukungan, dan mengakses layanan rehabilitasi yang dibutuhkan.

Aturan ini juga memberikan jaminan bahwa pelaku kekerasan seksual akan diadili dan diberikan hukuman yang sesuai.

Selain itu adanya UU TPKS membuat aturan kekerasan seksual juga memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual di masyarakat.

Dengan adanya aturan yang tegas dan sanksi yang tegas pula, diharapkan dapat menjadi efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual.

UU TPKS akan efektif apabila kesadaran masyarakat tentang kejahatan TPKS ditingkatkan,  sehingga lebih banyak orang akan melaporkan kekerasan seksual dan memperhatikan tanda-tanda kekerasan yang mungkin terjadi di sekitar mereka.

UU TPKS juga diharapkan mengubah norma sosial yang ada selama ini. UU TPKS bisa berperan dalam mengubah norma sosial yang mendukung atau membenarkan kekerasan seksual selama ini.

Dengan menghukum pelaku dan memberikan dukungan kepada korban, aturan ini dapat membantu menciptakan budaya yang tidak mentolerir kekerasan seksual dan mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya persetujuan yang jelas dalam hubungan seksual serta menghormati batasan-batasan individu.

Adanya UU TPKS dan turunannya dapat memberikan landasan hukum bagi organisasi dan individu yang bergerak dalam advokasi dan dukungan terhadap korban kekerasan seksual. Pelayanan dan dukungan mencakup penyediaan layanan medis, konseling, bantuan hukum, dan dukungan lainnya yang diperlukan oleh korban.

UU TPKS dan turunannya  dapat mendorong pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya dan dana yang memadai untuk mensosialisasikan UU TPKS kepada calon korban potensial (anak sekolah, termasuk murid pesantren) agar bisa  mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Dalam rangka meningkatkan efektivitas aturan kekerasan seksual, perlu adanya kegiatan program sosialisasi yang terencana secara sistematis, khususnya kepada kelompok korban potensial seperti anak-anak remaja di sekolah, termasuk murid-murid pondok pesantren.

Dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas, peningkatan kesadaran masyarakat, dan pendidikan mengenai kesetaraan gender serta penghormatan terhadap hak-hak individu dapat menangkal TPKS secara optimal.

Sudah selayaknga semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, masyarakat, dan individu, perlu bekerja sama untuk memastikan agar tidak terjadi TPKS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun