Sekitar satu jam berlalu, rakit berukuran sekitar 1,5 x 4 meter persegi, pun akhirnya jadi. Sepertinya bagus dan kuat. Di bagian tengah dibuat tiga tiang penyangga untuk mengantung tas-tas kami.
Bismillah, perjalanan dimulai. Idealnya perjalanan ini akan nikmat. Kita dapat menikmati susuran Sungai Bone yang jernih, dengan kanan kiri tebing berhutan. Ditambah angin semilir dan sore yang tidak panas.
Bayangan kami, persis seperti film-film mandarin klasik dengan jagoan kungfunya bercaping lebar, naik di atas rakit bambu. Namun sayang, bayangan indah memang hanya buat dikhayalkan.
Belum berapa lama, rakit kami sudah menunjukkan tanda-tanda ketidak-stabilan. Bobot kami yang begitu besar tampaknya menyebabkan rakit tidak lincah bergerak melewati batu-batu besar. Kak Madi sebagai juru mudi, tak kuasa mengendalikan rakit ini dengan benar.
Entah seberapa sering sebagian dari kami harus turun dan berjalan di tepi sungai, ketika sungai mendangkal.
Tak terasa, keindahan sore makin menghilang. Cahaya makin meredup dan kami belum juga sampai setengah perjalanan. Gelisah mulai muncul sampai akhirnya gelap pun tiba. Senter yang kami punya hanya seadanya, tapi sudah dipersiapkan.
Ketegangan terjadi ketika kami melewati beberapa jeram dan lubuk sungai. Sejatinya ini menguntungkan untuk rakit melaju, namun sebagain besar daerah tersebut berada di tikungan sungai dengan arus yang menabrak tebing batu. Salah kendali, kami juga bisa ikut menabrak tebing tersebut.
Satu kali, keadaan begitu panik. Dalam gelap, perahu tidak bisa bergerak maju, apalagi mundur. Halim dan Kak Madi sudah berusaha mendorong rakit dengan bilah-bilah bambu. Ternyata rakit tersangkut di batu besar.
"Jangan ada yang turun, tetap di rakit semua" teriak Pak Taufik. Awalnya kami ingin turun juga.
"Coba tongka lagi, Kak Madi"