Dengan malas-masalan kami pun segera mulai berdiri. Saya tidak ingat, siapa yang memulai duluan berbicara tentang ide ini.
"Bisakah kita menyusuri kuala ini menggunakan rakit saja?"
"Iyo, so lelah sekali rasa ini", sambung yang lain.
"Banyak bambu juga di sini Pak Taufik", teriak Ardin yang selalu bersemangat.
Setelah pertimbangan sedikit yang tidak jelas, akhirnya diputuskanlah kami melanjutkan perjalanan menggunakan rakit bambu. Saya tidak ingat persisnya, mungkin masih sekitar 3-4 kilometer sampai ke lokasi kami menginap di Pohulongo.
Jelas, keputusan ini prematur. Dalam sebuah perjalanan, terlebih di hutan, memang butuh inovasi dalam melihat segala situasi. Namun tetap perjalanan yang direncanakan dengan baik sangatlah penting.Â
Akhirnya pekerjaan baru pun dimulai: membuat rakit bambu yang mampu mengangkut kami bertujuh beserta barang-barang kami semua.
Kak Madi, Halim, dan Ardin dengan lincah memotong puluhan batang-batang bambu hijau dan besar berdiameter  sekitar 15 sentimenter. Sedangkan Pak Taufik dengan cekatan langsung membuat tali-tali untuk mengikat rakit kami nanti dari rautan belahan rotan.
Sisanya kami bertiga sisanya, lebih banyak menjadi buruh kasar karena tidak memiliki kemampuan  yang memadai. Kami hanya ikutan mengangkat bambu ke tepi sungai atau cuma bengong menonton pekerjaan teman kami yang lain.
Kak Madi dan Ardin selalu beradu pendapat dalam membuat konstruksi rakit ini. Kami tentu lebih mempercayai Kak Madi. Selain soal umur, juga jelas beliau begitu cekatan dan terlihat terampil untuk membuat rakit ini.