Setelah sarapan, kami bertujuh berangkat. Saya, Pak Taufik, Kak Madi, Halim, Ardin, Dani, dan Fikri.
September ceria dan cerah menemani kami pagi ini. Kami menyeberangi jembatan gantung Pohulongo sepanjang 60an meter. Namanya jembatan gantung, tentu bergoyang-goyang kanan kiri. Setelahnya, naik bukit sedikit, kemudian kami berbelok ke arah kiri.
Kami terus berjalan tak jauh dari tepi Sungai Bone di sebelah kiri. Beberapa sungai kecil diseberangi, menyusuri beberapa punggungan bukit yang hanya selebar tapak kaki dengan kanan kiri jurang, menerabas hutan, serta tertatih mendaki bukit berbatu yang tidak nyaman. Kami akhirnya tiba di tempat tujuan, menurut perkiraan Ardin.
Ternyata tempat ini bukan yang kami harapkan.
Tempat yang kami datangi ini hanyalah hamparan hutan biasa, penuh dengan pepohonan. Beberapa beringin besar menghunjam mantap.
Setelah putar kanan kiri, tidak ada tanda-tanda di sini ada lokasi peneluran maleo yang ciri khasnya sangat kami kenal semua. Gagal total. Kami pun kembali ke sungai kecil terakhir yang kami jumpai.
Kami makan siang di dekat sungai, di bawah pohon Eucalyptus dengan batangnya yang besar dan berwarna loreng tentara. Setelah makan, kami putuskan untuk kembali saja.
Kami tidak bisa meneruskan menjelajahi area ini untuk mencari lokasi peneluran maleo lebih lanjut karena tidak ada persiapan menginap. Akhirnya kami berjalan gontai, tapi tidak loyo-loyo amat, karena habis makan.
Sekitar jam tiga sore, kami tiba di suatu tempat, tepi sungai, dengan pasir dan bebatuan besar kecil berserakan, serta naungan pohon rindang. Adem dengan angin sejuk menghanyutkan mata.
Intinya, tempat ini enak sekali buat istirahat sejenak, sekadar minum kopi atau teh hangat. Kami pun duduk di sini berleha.
"Ayo, kita jalan lagi", instruksi Pak Taufik, ketua rombongan kami yang juga ranger taman nasional ini.