Dari tangga porselen yang mengkilap, tampak seorang gadis sedang menuruni anak tangganya satu persatu. Jae Woon yang menyadari hal itu, lantas berdiri, dan menyambutnya dengan senyum lebar. Akhirnya, gadis yang sedari tadi dibicarakan, terbangun. Bahkan, ia sudah terlihat segar setelah mengganti mantelnya dengan kaus lengan panjang berwarna putih serta jeansberwarna abu-abu yang nampak pas di kaki jenjangnya. “Sejak kapan kau bangun? Bahkan kau sudah mandi.” Jae Woon meremehkan. Ia mengangkat kedua tangannya ke udara serta membalik punggung tangan. Samantha mendecak sinis, melewati lelakinya begitu saja lantas menyapa calon mertuanya dengan ramah sembari membungkukkan badan. “Annyeonghasimnikka![4]” sapa Sam.
Pasangan suami-isteri itu tersenyum. Setelah itu, ia mendekat ke arah ibu Jae Woon, terduduk di sampingnya. Sementara itu, Jae Woon hanya membalikkan tubuh, dan tetap berada pada posisinya yang beberapa langkah dari tangga. “Anak perempuan eomma[5]sudah cantik. Bagaimana kuliahmu, sayang?” tanya wanita itu seraya membelai lembut rambut panjang Samantha. Samantha terkekeh sekilas. “Karena eomma tidak punya anak perempuan, makannya aku cantik. Sejauh ini lancar-lancar saja. Semoga aku bisa segera menyelesaikannya.”
“Lusa sudah harus kuliah lagi, ya?” Ibu sedikit kecewa. “Jae Woon juga cepat sekali mengurus kepindahanmu.” Samantha mengangguk dan menarik kedua sudut bibirnya. Tercipta sebuah lengkungan senyum yang manis di sana.
Anak pertama keluarga Choi itu berdehem dan terkesan membesar-besarkan suaranya. Bahkan, ia mengepalkan tangan kanannya di depan mulut. Persis seperti seseorang jika sedang batuk. Ah, sebenarnya, apa maksudnya?
“Bahkan, pernikahan kami pun tidak akan lama lagi.”
Pernikahan. Sebenarnya gadis bermaga Kim itu masih malu-malu membicarakannya—di hadapan orangtua lelakinya atau bahkan orangtuanya sendiri. Dua puluh tahun. Pun tidak membuatnya berpikiran untuk segera merencanakan perayaan janji sehidup semati itu.
“Dasar kau ini! Apa kau tidak tahu jika dia malu, heum?” Pria paruh baya itu mengakhiri ketidak-nyamanan Samantha yang terdiam seketika saat anaknya membicarakan tentang pernikahan. Warna kulit putih susu milik Samantha memerah. Persis seperti kepiting rebus.
“Lagi pula, Samantha masih semester lima. Umurmu juga masih dua puluh tiga. Belum ideal untuk anak laki-laki menikah,” peringat ibu Jae Woon, yang membuat putranya tersudut. Ia sadar jika keinginannya memang terlalu cepat. Tapi, Jae Woon melakukannya semata-mata agar segera mempunyai ikatan dengan gadisnya. Dengan begitu, resikonya untuk kehilangan menjadi lebih kecil, bukan?
Mereka semua terdiam. Wanita paruh baya itu akhirnya berinisiatif untuk menghidupkan suasana kembali. “Kau belum sarapan, kan? Jae Woon-ah[6], kajja[7]temani dia,” tanyanya pada Samantha, lantas mengalihkan pandangan pada anak laki-lakinya.
Jae Woon mengangguk, lantas meraih pergelangan tangan Samantha—menggandengnya menuju ruang makan.
Selepas menghabiskan sarapannya, mereka bergegas pergi. Kebetulan sekali, cuaca yang cerah juga mendukung. Tujuan pertama yang ingin mereka kunjungi adalah pantai di mana Jae Woon menyatakan cintanya pada Samantha.