Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harta Karun Musiman

29 Januari 2016   20:37 Diperbarui: 29 Januari 2016   20:48 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            “Uenak banget iki, mbah[1],” komentar Rin begitu duduk di ruang makan. Nafsu makannya tiba-tiba saja memuncak.

            “Kamu masih suka makanan desa, to?” tanya nenek.

            “Masih, lah, nek,” jawab Rin sembari memindahkan makan siangnya kali ini ke piring. “Aku punya kabar baik, lho, mbah-mbahku,” sambungnya, menunda makannya sejenak.

            Kedua lansia itu pun terlihat sangat antusias. Mungkin, ini tentang karir cucunya yang cemerlang atau tentang pernikahan?

            “Mulai tahun ini, aku putuskan untuk kerja di Indonesia, mbah. Aku bosen, dari SMA tinggal di sana sendirian.”

            Kontan, senyum sederhana terlukis dari pasangan lansia itu. Setidaknya, bagi Sukirman, ia bangga pada cucunya karena masih mencintai tanah airnya. Ia adalah seorang guru sejarah—sehingga ia begitu menjunjung tinggi nasionalisme.

            “Kerja di mana pun, sukses, ya, nduk,” harap si kakek seraya menepuk-nepuk pundak cucunya. “Oya, kakek perhatikan dari tadi, kok, logatmu nggak kebule-bulean kayak artis Cinta Laura, to?” lanjutnya polos.

            Rin tertawa terbahak-bahak sampai isi perutnya serasa berguncang. Rasa humor kakeknya ini dari waktu ke waktu tidak pernah berubah, dan rasanya tingkat kegaulannya juga meningkat. “Aku sekolah, kuliah, dan kerja di daerah New South Wales, mbah. Di sana banyak orang Indonesianya juga, kok. Jadi, ya, aku nggak full tiap hari ngomong Inggris.”

            “Sudah-sudah, biarin Rin makan dulu to, pak. Kasihan, jangan diajak ngobrol terus.” Nenek menengahi, agak jutek.

            “Iya, nek. Kakek, nih, memang bakat jadi pelawak, kok,” timpal Rin sambil menyendok makanannya. “Kek, kakek,” tambahnya dengan mulut masih mengunyah. Setelah makanannya ia telan, ia melanjutkannya lagi. “Kakek pasti suka batu akik juga, kan? Aku bawain cincin dari batu black opal, lho.”

            Kakek keranjingan. “Itu batu khas Australia, yo?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun