“Uenak banget iki, mbah[1],” komentar Rin begitu duduk di ruang makan. Nafsu makannya tiba-tiba saja memuncak.
“Kamu masih suka makanan desa, to?” tanya nenek.
“Masih, lah, nek,” jawab Rin sembari memindahkan makan siangnya kali ini ke piring. “Aku punya kabar baik, lho, mbah-mbahku,” sambungnya, menunda makannya sejenak.
Kedua lansia itu pun terlihat sangat antusias. Mungkin, ini tentang karir cucunya yang cemerlang atau tentang pernikahan?
“Mulai tahun ini, aku putuskan untuk kerja di Indonesia, mbah. Aku bosen, dari SMA tinggal di sana sendirian.”
Kontan, senyum sederhana terlukis dari pasangan lansia itu. Setidaknya, bagi Sukirman, ia bangga pada cucunya karena masih mencintai tanah airnya. Ia adalah seorang guru sejarah—sehingga ia begitu menjunjung tinggi nasionalisme.
“Kerja di mana pun, sukses, ya, nduk,” harap si kakek seraya menepuk-nepuk pundak cucunya. “Oya, kakek perhatikan dari tadi, kok, logatmu nggak kebule-bulean kayak artis Cinta Laura, to?” lanjutnya polos.
Rin tertawa terbahak-bahak sampai isi perutnya serasa berguncang. Rasa humor kakeknya ini dari waktu ke waktu tidak pernah berubah, dan rasanya tingkat kegaulannya juga meningkat. “Aku sekolah, kuliah, dan kerja di daerah New South Wales, mbah. Di sana banyak orang Indonesianya juga, kok. Jadi, ya, aku nggak full tiap hari ngomong Inggris.”
“Sudah-sudah, biarin Rin makan dulu to, pak. Kasihan, jangan diajak ngobrol terus.” Nenek menengahi, agak jutek.
“Iya, nek. Kakek, nih, memang bakat jadi pelawak, kok,” timpal Rin sambil menyendok makanannya. “Kek, kakek,” tambahnya dengan mulut masih mengunyah. Setelah makanannya ia telan, ia melanjutkannya lagi. “Kakek pasti suka batu akik juga, kan? Aku bawain cincin dari batu black opal, lho.”
Kakek keranjingan. “Itu batu khas Australia, yo?”