Rin hendak mengiyakan, tapi, tampaknya tatapan nenek ingin menyudahi perbincangan yang mengganggu waktu makan siang ini. Ia tertawa sekilas, “Aku beliin nenek kalung black opal juga, lho.”
Nenek tersipu malu. “Oalah, nduk, nduk.”
***
Mata Rin rasanya masih lengket. Akan tetapi, samar-samar ia mendengar sesuatu mendetap di genting. Disusul suara-suara gaduh lain, sukses membangunkannya dari tidur siang.
“Duh, apaan, ya?” keluhnya sembari membenarkan selimutnya. Ia mencoba memejamkan mata lagi. Perut kenyang dan hawa yang sejuk membuatnya betah berlama-lama tidur.
Blug! Blug! Blug! Iku aku! Tekku! Tekku![2]
Rin memang suka tidur. Namun, jika ada gangguan seperti itu, ia tidak akan merasa nyenyak. Ia pun terbangun dengan kesal. Kemudian, berniat pergi ke depan rumah untuk mengetahui sebab kegaduhan itu.
“Kok, hujan-hujanan, sih? Apa nggak dimarahi orangtua kalian?” tanya Rin pada segerombol anak kecil yang ujung roknya diangkat, dan dijadikan seperti wadah. Yang lainnya juga membawa plastik kecil yang tampak sudah terisi penuh.
Mereka terdiam dan saling memandang satu sama lain, bingung mau menjawab apa. Wajah mereka yang lugu khas anak desa serta rambut yang basah kuyup, lama-lama membuat hati Rin merasa tidak keruan saat menatapnya.
“Ada apa, nduk?” Tiba-tiba Nenek hadir dari belakang.
Rin menoleh, lalu berbicara setengah berbisik. “Aku kaget, nek, terus kebangun. Eh, ternyata mereka yang bikin kegaduhan.”