Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harta Karun Musiman

29 Januari 2016   20:37 Diperbarui: 29 Januari 2016   20:48 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Nenek tidak memberi tanggapan. Ia lantas berbicara pada anak-anak itu. “Bar iki ndang moleh, yo. Ndang adus, keramas. Ben nggak panas[3].”

            “Nggeh, mbah[4],” jawab anak-anak itu kompak. Setelahnya, mereka pergi dengan wajah sedikit kecewa. Itu mungkin karena mereka belum mendapat hasil yang diinginkan.

            Anak ini, kok, kelihatan nyebelin banget, ya, Rin membatin saat salah seorang anak-anak itu memandangnya tanpa henti. Bukan dengan tatapan benci, melainkan tatapan antara penasaran dan kagum.

            “Nduk,” kata lansia bernama Wati itu, membuat Rin terkesiap. “Nenek mau ngomong sesuatu.”

***

            Malam ini Rin tidak bisa tidur. Ia terus kepikiran perkataan neneknya tadi siang. Kalau lebih menjurus lagi, ia merasa bersalah karena secara tidak langsung mengusir anak-anak desa yang kegirangan karena “harta karun” itu. Tapi, ia bersumpah dalam hati kalau tidak bermaksud seperti itu. Tadi ia merasa terganggu, dan ingin memergoki sekaligus menasehati anak-anak yang tidak sopan karena berteriak-teriak di halaman rumah orang.

            “Nenek sengaja membiarkan anak-anak itu memunguti mangga agar suasana rumah menjadi ramai. Kalau musim rambutan atau buah apa pun, anak-anak itu juga akan ke sini. Walau mereka tampak nakal, mereka itu taat aturan. Mereka boleh mengambil buah yang jatuh, tapi, jangan mengambil buah yang masih ada di pohonnya; karena itu termasuk mencuri.”

Soal taraf kebahagiaan, orang kota dan desa juga berbeda. Orang kota mungkin menjadikan kekayaan sebagai acuannya. Sementara orang desa, mendapatkan sesuatu secara gratis saja, sudah seperti mendapat “harta karun.” Termasuk anak-anak kecil itu yang melihat kuningnya mangga podang yang masak seperti mahalnya emas.

***

            Desing angin siang ini membuat daun-daun saling bergesekan. Nampaknya, sebentar lagi akan turun hujan. Namun, belum saja air-air itu turun, mangga-mangga podang justru turun duluan. Beberapa saat kemudian, mulai terdengar riuh dari anak-anak pencari “harta karun” itu.

            Rin mengamati mereka diam-diam dari jendela. Ia tersenyum, telah sepenuhnya memaklumi tingkah laku anak-anak itu. Selamat berburu, anak-anak, batinnya. Lalu, ia pergi ke kamar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun