“Oh, mbak tinggal lurus saja. Nanti tepat di depan warung sate bercat merah-putih, itu rumahnya,” jawab seorang ibu-ibu, yang menjadi penunjuk jalan terakhir Rin.
Segera setelah Rin berterimakasih, ia menyuruh tukang ojek itu untuk tancap gas, namun berkendara dengan kecepatan rendah saja agar dapat mengamati clue yang diberikan penunjuk jalan barusan. Kira-kira tiga ratus meteran setelahnya, Rin menemukannya.
“Stop, pak! Ini rumahnya,” kata Rin dengan cukup histeris, ia begitu bahagia.
“Saya antar sampai depan rumah, ya, mbak. Daripada bawa-bawa koper.”
Rin tersenyum malu. “Iya, deh, pak.”
Walau sudah banyak yang berubah, ternyata itu tidak berlaku bagi rumah nenek-kakeknya ini. Dari dulu, rumah dengan halaman yang sangat luas itu merupakan rumah terbesar di daerahnya. Sampai sekarang pun, rekornya tidak berpindah.
“Assalamualaikum, nek, kek,” ucap Rin seraya mengetuk-ngetuk rumah bergaya joglo itu. Sementara si tukang ojek mengangkat koper penumpangnya yang ia taruh di pijakan kaki.
“Waalaikumsalam,” sambut nenek dan kakek Rin dengan sangat bersahaja. Lantas, wanita lansia itu memeluk cucunya erat dan menciumi pipi apel itu gemas.
“Kok, ya, nggak kabar-kabar to kalau mau ke rumah mbah?” tanya kakek.
“Biar surprise, mbah. Lagian mbah juga nggak bakal ke mana-mana, kan?” Rin tersenyum nakal, alibinya menang. “Oya, bentar, ya, mbah,” sambungnya, berniat memberi ongkos pada tukang ojek berkumis itu.
Setelahnya, mereka mempersilahkan cucunya makan siang. Dan, kebetulan sekali, mereka sedang memasak makanan kesukaan tamu istimewanya itu, yaitu: sayur terong, tempe bacem, dan brengkes pindang pencit.