Penengah, Masalah, dan Idiom Kunci", sepertinya tidak juga. Tapi artikel berikut ini masih berhubungan dan menitikberatkan pada tiga kata yang dibahas di artikel "penengah" tadi, yaitu kata "tidak ada inisiatif".
Kalau dibilang ini kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul "Kebetulan saya ada keperluan di Balikpapan, dan Yudha ada keperluan keluarga pada saat yang bersamaan, dari hari Kamis, 19 Desember 2024 sampai hari Minggu, 22 Desember 2024.
Kami pun bertemu di Balikpapan dan jalan-jalan bersama beberapa teman lama yang berdomisili di Balikpapan. Kami juga mengunjungi satu-dua teman yang kebetulan kami kenal bersama.
Tiba-tiba saya teringat dengan kata-kata Eli (nama samaran) di kasus "penengah" yaitu "tidak ada inisiatif" dan frasa tersebut ditujukan kepada para saudara laki-lakinya.Â
Saya pun menyatakan keinginan untuk bertemu dengan saudara laki-laki Yudha yang ada di Balikpapan, yaitu Djoni dan Djoko (keduanya bukan nama sebenarnya). Djoni adalah anak tertua, nomor satu, dan anak laki-laki pertama dalam keluarga. Djoko adalah anak kedua, dan anak laki-laki kedua dalam keluarga.
"Supaya lebih menguatkan artikel sebelumnya, dan memperjelas pemahaman 'tidak ada inisiatif' yang disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan dan dari individu-individu yang terkait yaitu saudara-saudara laki-lakimu," kata saya meyakinkan Yudha.
Yudha menyetujui, "Baik, Ton. Aku setuju, karena kebanyakan saudara perempuanku hanya berkata, tapi tanpa disertai fakta dan data yang nyata di kehidupan mereka."
Dari pertemuan pertama dan kedua, saya menarik kesimpulan tentang sifat-sifat anak pertama dan kedua ini.
Djoni, sebagai anak pertama dalam keluarga, tidak berfungsi sebagai anak sulung sebagaimana mestinya. Gagal dalam pendidikan tinggi; keliru memilih pasangan hidup; tidak sadar akan potensi terbesarnya; dan terlalu banyak bicara, membicarakan kejelekan sifat adiknya, Djoko.
Ditambah lagi, Djoni banyak menyusahkan adik-adiknya.Â
"Meminjam uang untuk perbaikan motor. Padahal tiap hari ngojek. Masa gak cukup untuk biaya servis," kata Djoko, yang diperkuat oleh Yudha.Â
"Djoni ngirim semua uangnya untuk istri dan anaknya di Wonogiri sana. Dia gak mikir kalau di sini, di rumah Balikpapan dimana dia tinggal, dia juga harus memikirkan biaya-biaya seperti listrik dan air. Listrik dan air harus dibayar. Dia juga harus makan makanan yang bergizi," kata Djoko lagi.Â
Bagaimana dengan Djoko sendiri?
Secara pribadi, saya kasihan dengan Djoko. Saudara laki-laki Yudha yang satu ini memang sederhana. Mungkin tidak secerdas Djoni, tapi dia tahu diri. Dia tahu akan kesusahan saudara-saudaranya, sehingga tidak banyak menuntut apa-apa dari saudara-saudara yang lain.Â
Djoko yang merawat ayah mereka sampai sang ayah berpulang. Herannya, saat Djoko merawat sang ayah, seluruh saudara perempuan mempermasalahkan dirinya yang tidak bekerja.
"Ibu dulu menyoal kritik mereka yang mempertanyakan Djoko yang tidak bekerja dan setiap hari merawat ayah. Mereka bilang, bayar perawat aja untuk menjaga ayah. Memangnya mudah merawat orang tua? Kan lebih baik anak sendiri yang merawat orang tua daripada orang lain yang melakukannya.
"Djoko sudah berkorban banyak, tapi selalu saja terasa kurang usahanya di mata saudara-saudara perempuan," kata Yudha.Â
Saya lebih banyak diam. Mendengarkan.Â
"Mengenai makanan, terpaksa saya berhemat, karena saya tergantung sepenuhnya pada uang kiriman Mira dan Eli. Apalagi jumlahnya berkurang di bulan lalu, jadi terpaksa makan apa adanya. Dengan mie dan tahu, serta havermut," kata Djoko dengan suara lirih.
"Aku memang sudah bilang ke Djoko untuk berusaha, mendekati teman-teman sekolahnya dulu atau kenalan-kenalannya. Siapa tahu mereka punya lowongan pekerjaan atau malah ngajak bisnis bareng. Karena tidak bisa bergantung pada saudara terus. Cepat atau lambat, mereka bisa berpulang kapan saja.Â
"Lagipula, selama masih bergantung sama mereka, mereka tidak akan menghargai Djoko. Mereka akan tetap menganggap Djoko malas," kata Yudha menegaskan setelah kami, saya dan Yudha, meninggalkan rumah orang tua Yudha yang sekarang ditempati Djoni dan Djoko.
Pemahaman inisiatif dan kendala penerapan
Satu kata yang "digoreng" oleh Eli untuk menggambarkan kepasifan saudara-saudara laki-lakinya menjadi fokus di artikel ini.
Mungkin supaya lebih jelas dan tidak melenceng kemana-mana, kita persempit dulu pengertian inisiatif.
"Inisiatif" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah n prakarsa.Â
Masih bingung? Sama, saya juga.Â
Oleh karena itu, saya mencari arti "prakarsa" di KBBI dan pengertian "prakarsa" adalah n upaya, tindakan mula-mula yang dimunculkan oleh seseorang; inisiatif; ikhtiar.
Mencermati pengertian inisiatif dan prakarsa, terlihat jelas bahwa inisiatif mengacu pada tindakan yang tidak disuruh oleh siapa pun, dalam artian sang insan tersebut melakukan tindakan sukarela dalam melaksanakan suatu kegiatan tanpa paksaan atau suruhan pihak lain.
Tapi untuk melakukan tindakan tanpa disuruh atau inisiatif tersebut tentu saja tidak bisa serta merta terjadi. Ada kendala dalam penerapan.
Dalam kasus Djoko, kendala tersebut adalah:
1. Dana
"Yah, dengan kondisi tidak ada pekerjaan, aku tergantung sama Mira dan Eli. Makan seadanya saja. Mie instan, tahu, jelly,...," kata Djoko.
Keheningan cukup lama melanda. Perkataan Djoko menimbulkan kegetiran dalam hatiÂ
Entah Eli tahu atau tidak, otak dan kehendak akan sukar "bergerak" kalau tubuh kekurangan tenaga, dikarenakan asupan makanan yang kurang.Â
Dan, tentu saja, untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, kita memerlukan dana alias uang untuk membelinya.
Bagaimana bisa berinisiatif kalau Djoko dan Djoni mengalami kesulitan keuangan?Â
Yudha pun juga mengalami hal yang sama, tapi dia tidak memilih jalan meminta-minta. Pinjam uang pun kalau tidak terpaksa tidak dia lakukanÂ
"Aku malu pinjam uang sama Mira. Tapi hari Senin lalu, aku terpaksa, karena tidak ada pilihan lain," kata Yudha.Â
Keterbatasan dana menyebabkan pasifnya insan. Bagaimana bisa berpikir kalau perut lapar?
2. Usia
Tak bisa dipungkiri, usia semakin membatasi ruang gerak jika umur bertambah. Dan hal terbesar yang terjadi adalah tidak bisa melakukan aktivitas yang melibatkan tenaga fisik yang seperti biasa dilakukan insan berusia muda.
Menyadari kekurangan fisik saudara yang seharusnya dilakukan karena kehidupan tidak bisa tetap sama setiap tahun. Semakin bertambah usia, semakin rentan tubuh akan berbagai penyakit dan cedera jika tidak menjaga diri dari segi pola makan, gaya hidup, mengelola tekanan hidup, dan lain sebagainya.
Dan juga daya kemampuan berpikir otak pun terpengaruh. Ada penurunan seiring bertambahnya usia, apalagi kalau jarang membaca, menulis, atau melakukan kegiatan yang merangsang kerja otak untuk terus aktif "berpikir".
Yudha menceritakan bagaimana Eli, Mira, dan dua saudara perempuan lainnya, Susan dan Linda (semuanya bukan nama sebenarnya) selalu mengeluhkan lambatnya kesadaran Djoni dan Djoko dalam berbenah di dalam rumah.
"Kan tidak bisa disalahkan sepenuhnya kalau Djoni dan Djoko agak lelet dalam menjaga rumah tetap baik. Mereka berdua sudah berusia lanjut. Lansia. Semestinya mereka tidak lagi disibukkan dengan tetek bengek masalah rumah," kata Yudha.
3. Luas area
Rumah dengan empat kamar tidur, dua lantai, dapur, dan dua kamar mandi.
Mendengar deskripsi luas area rumah, bisa dibayangkan betapa luasnya rumah sehingga penanganan untuk memelihara keberlanjutan dan kebersihan rumah tidaklah mudah. Ditambah lagi dengan kurangnya dana dan usia lanjut dari Djoni dan Djoko.
Sayangnya, sepertinya saudara-saudara perempuan Djoni dan Djoko tidak memperhitungkan luas area rumah di Balikpapan. Yang mereka lihat hanyalah "kemalasan" Djoni dan Djoko dalam menjaga kebersihan rumah.
Saran untuk Eli dan para saudari
Saya tidak terlalu mengenal Eli dan saudara-saudara perempuan Yudha. Meskipun begitu, dari perjumpaan langsung dengan mereka di masa lalu, mendengar perkataan mereka, dan menyimak penuturan Yudha, saya bisa menarik kesimpulan bahwa mereka kurang berempati kepada saudara-saudara mereka yang laki-laki.
Mungkin saya keliru. Mereka berempati tapi hanya di dalam hati. Dalam tindakan, empati tidak terlihat. Yang ada hanya caci maki dan gerutu tiada henti.
Oleh karena itu, saya menyampaikan 3 (tiga) saran untuk Eli dan para saudari di mari. Apakah mereka akan membacanya nanti? Entahlah. Apakah mereka akan membaca dan menerima saran ini atau malah mengabaikan? Entahlah.
Apa pun itu, biarlah kata-kata yang berbicara.
Berikut tiga saran tersebut.
1. Memahami kekurangan para saudara laki-laki dari segi keuangan dan mencari solusi supaya para saudara laki-laki mendapat sumber pendapatan yang mencukupi
Memahami.
Inilah sifat yang langka dalam setiap insan. Bagaimana memosisikan diri dalam kondisi orang lain. Dan dari penyesuaian diri itu, muncullah pemahaman.
Memahami kekurangan para saudara laki-laki dari segi keuangan. Mencecar, mengeluhkan, mengecam kurangnya upaya para saudara laki-laki untuk mendapatkan uang yang bisa memenuhi kebutuhan hidup tidak akan membuat para saudara laki-laki menjadi termotivasi. Malah sebaliknya. Demotivasilah yang terjadi.
Pahami kekurangan dan berusaha membantu untuk memperbaiki, bukan malah mencaci.Â
Cari solusi, membantu para saudara laki-laki untuk mendapatkan sumber pendapatan yang mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Mengeluhkan lambannya Djoni dan Djoko atau kurang antusiasnya mereka dalam mencari rezeki tidak akan memecahkan masalah.
Setiap orang mempunyai masalah sendiri. Menyamaratakan kondisi orang lain dengan diri sendiri tentu saja tidaklah tepat. Melihat dari kacamata orang tersebut. Begitulah yang harus dilakukan.Â
Menemukan sumber pendapatan dari pekerjaan tetap memang tidak mudah, apalagi di usia senja. Bisa dikatakan, berbisnis adalah satu-satunya pekerjaan yang tidak mengenal usia lanjut atau kata pensiun.
Namun memang berbisnis sama dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Tidaklah mudah mengarungi proses berbisnis. Oleh karena itu, seandainya saudara-saudara laki-laki gagal dalam berbisnis, memang begitulah pembelajaran dari setiap profesi yang baru digeluti. Kegagalan akan menyapa. Tapi percayalah, tetap beri semangat, dukung dalam doa, cepat atau lambat, mereka akan berhasil pada waktunya.
2. Mengerti akan kekurangan para saudara laki-laki dari segi umur yang sudah lanjut
Menerima kekurangan dari orang lain memang tidak mudah. Dibutuhkan kebesaran hati untuk mengerti bahwa pada akhirnya nanti, di suatu masa kelak, kita semua akan menjadi tua dan lemah tak berdaya.
Oleh karena itu, tindakan "mengerti" sudah seharusnya mengemuka. Sudah seharusnya Eli, Mira, Susan, dan Linda mengerti akan keberadaan Djoni, Djoko, dan Yudha yang sudah berumur. Sungguh tidak mudah bagi para laki-laki tersebut menerima keadaan mereka yang menua dan melemah seiring usia yang bertambah.
Mereka sudah terpuruk, jangan sampai lebih memperburuk kondisi mental mereka dengan "todongan" cercaan yang tiada henti tentang kondisi rumah yang jauh dari kata "bersih dan rapi" atau teras yang tidak jelas pola penempatan pot-pot bunganya.
Eli dan saudara perempuan lainnya sudah seharusnya mengerti, usia tidak bisa dibohongi. Para saudara laki-laki, saya kira, sudah berbuat sebaik mungkin yang mereka bisa, dan itu sudah seharusnya diapresiasi.Â
3. Tidak bersungut-sungut jika tidak semua area rumah ditangani dengan baik
Mendukung saran satu dan dua, pada akhirnya, bersungut-sungut tidak akan memecahkan masalah. Yang ada malah sebaliknya. Memperburuk situasi dan hubungan antara anggota keluarga menjadi renggang.
Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Masing-masing insan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Jangan hanya mengumbar keburukan secara blak-blakan, tapi senyap ketika kebaikan seseorang muncul di permukaan.
Sudah seharusnya memuji upaya saudara-saudara laki-laki dalam menjaga kondisi rumah tetap "baik", meskipun standar baik bagi pihak lain tidaklah sama.
Kalaupun ada kritik, sampaikan dengan cara yang lembut dan halus. Karena kalau Anda memperlakukan orang lain dengan kasar, maka setelahnya posisikan diri Anda dalam diri orang lain tersebut. Apakah Anda senang apabila diperlakukan dengan kasar?
Jawabannya sudah pasti: Tidak!
Jangan mudah memberi vonis!
Pada akhirnya, pastikan mengetahui kondisi seseorang secara mendalam. Posisikan diri pada kondisi dan situasi orang tersebut. Jangan mudah memberi vonis jika kita tidak mengetahui secara pasti keadaan insan tersebut.
Vonis "Tidak ada inisiatif" menggambarkan pemikiran sempit dari Eli yang mengatasnamakan "tindakan segera", padahal kenyataan yang sebenarnya adalah kekurangajaran, kelancangan tanpa permisi, tindakan tanpa izin dari yang mempunyai barang atau produk tersebut.
Vonis "Tidak ada inisiatif" versi Eli hanya berpusat pada dirinya tanpa melihat kendala dari Djoni, Djoko, dan Yudha dalam lingkaran kehidupan mereka.
Sudah seharusnya Eli dan para saudari menjalin komunikasi dua arah yang baik dan menghargai perbedaan pendapat. Meskipun sedarah, tidak berarti pemikiran harus seragam dan tidak berarti pihak yang lemah harus menerima putusan yang ditetapkan untuk mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H