"Ton, tolong kamu ke PDAM ya. Sepertinya keran meteran airnya rusak."
Mendengar permintaan tolong dari saudara memang bagaikan memakan buah simalakama. Tidak "dimakan", saudara marah. "Dimakan", bakal lama nih urusan di perusahaan milik pemerintah.
Tapi mau bagaimana lagi? Sebagai seorang adik, mau tidak mau, saya menuruti permintaan tolong sang kakak. Apalagi hanya sekadar memberikan pengaduan ke PDAM. Kemungkinan tidak bakal lama. Kan sekadar melapor saja.
Kamis pagi, 21 November 2024, saya meluncur ke Perumdam Tirta Kencana, Samarinda, yang berlokasi di Jalan Tirta Kencana No.1, Bugis, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda. Saya ke sana pada pukul 08.30 WITA. Tiba di sana sekitar jam 08.45 WITA. 15 menit perjalanan.
Ternyata saya salah mengadu ke kantor tersebut. Untuk area dimana Ella tinggal, saya harus pergi mengadu ke kantor Perumdam Tirta Kencana di Jalan Merdeka.
Aseem.
Dengan ogah-ogahan, saya beranjak segera ke jalan Merdeka. 15 menit tersita untuk itu. Jam 09.00 WITA saya tiba di Perumdam Tirta Kencana di Jalan Merdeka.
Petugas keamanan mengarahkan saya ke petugas yang melayani aduan pelanggan. Seorang remaja putri dari salah sebuah SMK Negeri favorit di Samarinda menanyakan masalah yang saya hadapi.
Saya pun mengutarakan persoalannya.
"Begini, Mbak. Saudara saya mendapati keran di kamar mandi terus keluar airnya, padahal sudah ditutup rapat. Jadi saudara saya ini ingin mengganti keran di kamar mandi dengan yang baru.
"Jadi kakak saya ini menutup keran utama meteran air supaya air tidak mengalir lagi. Ternyata masih tetap mengalir meskipun dia telah menutup keran meteran."
"Jadi itu masalahnya ya, Pak. Keran meteran air sudah ditutup, tapi air tetap mengalir," kata petugas pengaduan.
"Ya, benar."
"Baik, pak. Kami akan tindaklanjuti aduan bapak. Petugas kami akan menghubungi sebelum pergi ke rumah saudara bapak."
"Kapan ya petugasnya datang?"
"Kami tidak bisa memastikan, Pak. Tergantung dari petugas lapangannya, karena mereka juga menangani keluhan dari pelanggan lain juga."
"Jadi tidak tahu hari ini atau besok?"
"Ya, Pak. Tidak tahu."
Aneh juga kalau tidak ada aturan tegas tentang kecepatan layanan. Tapi ya sudah. Mau bilang apa. Petugas pencatat aduan cuma pelajar PKL alias Praktik Kerja Lapangan. Jadi dia jelas tidak terlalu tahu perihal seberapa cepat petugas lapangan yang melayani pelanggan.
Saya kembali ke rumah Ella. Ternyata Ella sudah mendapat pesan WhatsApp (WA) dari petugas lapangan PDAM bernama Ardi (nama samaran), yang menanyakan lokasi alamat rumah Ella.
Yah, saya turut senang mendengar berita ini. Di luar ekspektasi, petugas lapangan PDAM langsung menanggapi.Â
Tapi, memang kesenangan itu tidak bertahan lama, karena ternyata, "Nanti sepertinya teman saya, Leo, yang ke tempat ibu, karena saya masih di Pulau Atas."
Yah, memang susah menggambarkan perusahaan pemerintah yang ideal karena "penyakit" mereka sudah mendarah daging yaitu suka lelet, lemot, lambat dalam pelayanan kepada warga.
Menunggu. Pekerjaan yang paling membosankan terpaksa harus Ella jalani. Karena ketidakpastian, Ella memutuskan untuk membeli keran air untuk dipasang di kamar mandi.
"Aku pergi sebentar, Ton. Mau beli keran untuk di kamar mandi. Hape kutinggal ya. Biar kamu balas WA orangnya nanti," kata Ella.
Sepeda motor Ella terdengar menjauh dan saya menggantikan posisinya. Menunggu tanpa kepastian yang jelas. Tapi saya tidak bisa protes. Mau protes sama Ella, ya jelas bukan salahnya dia. Mau mencak-mencak ke Ardi atau Leo, ya untuk apa? Mereka juga pegawai biasa yang, saya yakin, terpaksa mengerjakan pekerjaan ini.Â
Ndilalah, sampai Ella pulang sehabis membeli keran untuk kamar mandi, petugas Leo belum juga kelihatan batang hidungnya. Jangankan penampakan body, pesan WA 'lagi otw' aja juga gak ada.Â
Ah, memang jagonya PHP kalau bicara tentang pegawai pemerintah. Memang tidak semuanya seperti itu, tapi kebanyakan ya kayak itu...
Tunggu punya tunggu, sampai pukul 13.00 WITA belum juga ada berita. Tiba-tiba, Ardi menelepon, menanyakan tentang Leo yang sudah datang atau belum. Karena Ella mengatakan belum, Ardi mengonfirmasi kalau dia yang akan datang ke rumah Ella.
"Yaelah, gimana koordinasi mereka sih," gerutu saya dalam hati setelah mengetahui dari Ella tentang telepon dari Ardi.
Leo dan "Mbah" Ben (Leo memanggil "Mbah" pada Ben) datang pada pukul 13.30 WITA. Keputusan sudah final saat melihat kondisi keran meteran air.Â
Mereka harus "membetel" alias harus menghancurkan semen yang "membalut" meteran air, keran meteran, dan pipa-pipa yang ada di sekeliling meteran.
Dengan terbebasnya meteran, keran meteran, dan pipa-pipa di sekeliling, mereka dapat leluasa mengganti keran meteran dengan yang baru dan juga mengganti pipa-pipa yang rusak dengan yang baru pula.
Sekitar pukul 13.45 WITA, Ardi datang. Terlihat dia lebih mengerti cara menanggulangi perbaikan dibanding "Mbah" Ben dan Leo.Â
Memotong pipa, membuat sambungan pipa yang baru, mengelem bagian sambungan pipa, dan setelah tuntas menyambung dan mengganti keran meteran dengan yang baru, baru menyemen lubang di bawah meteran air.
Sekitar pukul 15.00 WITA, perbaikan rampung.
Satu jam 30 menit durasi perbaikan.
"Berapa, Mas?" tanya Ella pada Ardi, Leo, dan "Mbah" Ben.
"Empat ratus," jawab Leo singkat.
Ella terlihat terkejut dengan harga tersebut. Saya pun terkejut. Memang salah kami yang tidak menanyakan harga sebelum pengerjaan. Apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Ella tidak punya pilihan lain selain membayar.
Setelah para petugas PDAM pulang, Ella mengeluh, "Susah jadi non pribumi. Begitu melihat kita non pri, langsung harga naik!"
Catatan untuk PDAM
Entahlah apa ini catatan atau komplain, karena kalau saya bilang komplain, apakah pihak PDAM akan menindaklanjuti komplain saya tentang pelayanan mereka? Saya ragukan itu.
Ada perkataan "Mbah" Ben yang "menggelitik" benak saya yaitu saat "Mbah" mengatakan, "Standar PDAM, tapi bukan standar."
Perkataan itu keluar saat Leo harus mencari sambungan pipa di tas. Saya sempat melihat isi tas yang berisi berbagai macam sambungan pipa. Dan sebelum mencari pipa yang cocok, saat "membetel", Ardi dan "Mbah" sempat mengeluh soal alat betel yang kecil sehingga melambatkan pekerjaan.
"Kamu gak bawa linggis, Leo?" tanya Ardi.
"Gak bawa. Mau kuambilkan?" kata Leo.
"Gak usah. Pake yang ada aja," jawab Ardi cepat.
Dari perkataan dan perbincangan mereka selama pengerjaan meteran air Ella, saya menuliskan ada 4 (empat) catatan tentang standar PDAM yang "mengganjal" di benak saya, sehingga saya ingin mengeluarkan "ganjalan" tersebut.Â
Empat catatan tentang standar PDAM tersebut adalah menyangkut :
1. Peralatan perbaikan
Aneh saja melihat petugas lapangan yang kesehariannya memperbaiki pipa yang bocor atau mengganti meteran dan keran meteran, tapi mereka tidak membawa peralatan perbaikan yang lengkap.Â
Apakah warga jarang memberikan aduan soal pipa bocor dan meteran rusak, sehingga saat ada keluhan meteran rusak dan mereka harus menangani, mereka tidak siap?Â
Apakah selama ini mereka tidak banyak menangani pekerjaan perbaikan pipa dan meteran air; atau memang saat mengerjakan meteran Ella, mereka tidak sengaja lupa membawa peralatan perbaikan?
Sudah seharusnya PDAM selaku perusahaan yang sudah lama melayani kebutuhan warga akan air memberikan pelayanan kepada pelanggan secara maksimal. Peralatan perbaikan adalah keniscayaan, hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk bisa secara optimal memecahkan masalah warga terkait kerusakan meteran air, keran meteran, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu.
Bagaimana petugas lapangan bisa bekerja dengan baik kalau peralatan perbaikan tidak memadai dan tidak sesuai "standar"?
2. Spare parts (suku cadang)
Setelah pemicu berupa peralatan perbaikan yang jauh dari sempurna, spare parts atau suku cadang juga menjadi persoalan paling vital lainnya.
Aneh saja rasanya kalau suku cadang yang digunakan tidak sesuai standar dan berusaha untuk "mengakali" dengan spare part yang jelas-jelas tidak standar dan tidak sesuai peruntukannya.
Seperti yang saya sedikit sebutkan sebelum menjabarkan empat masukan, "Mbah" Ben mengatakan tentang "standar PDAM" karena tidak menemukan pipa "standar" yang sesuai dengan meteran air Ella.
Karena merasa tidak menemukan pipa yang sesuai di tas, "Mbah" Ben mau "mengakali" dengan memasang pipa yang tidak sesuai ukuran alias lebih besar dari yang seharusnya dan berupaya sedemikian rupa supaya pipa tersebut pas dengan pipa di meteran air. "Mbah" membakar pipa bakal sambungan dengan harapan akan menyusut. Ternyata tetap tidak berubah ukurannya.
"Mbah" tidak mencari sambungan pipa di tas, karena menurutnya tidak ada yang pas.Â
Ardi bilang, "Jangan. Kasihan bapaknya kalau bocor nanti. Â Cari yang pas aja." Setelah Ardi mencari di tas, ternyata ada yang pas.
Saya heran. Memangnya berapa ukuran standar pipa PDAM? Kenapa mereka membawa berbagai ukuran pipa dan bingung memilih yang mana?
3. Kecepatan dan Harga LayananÂ
Sudah menjadi rahasia umum kalau pelayanan aparat pemerintah kebanyakan memang lelet, lambat, lola alias loading lama.Â
Tapi saya sempat berpikiran positif saat Ella menyebutkan bahwa dia pernah mengalami hal yang lebih parah yaitu pipa meteran air bocor di rumah kontrakan yang dulu. Dia melayangkan aduan ke PDAM, dan tak lama (entah berapa menit), petugas PDAM datang, dan memperbaiki. Cepat penanganan.Â
Saya berharap Ella benar dan saya salah kali ini.Â
Ternyata, realita mendukung saya. Penantian dari jam 09.30 WITA usai setelah petugas PDAM datang pada pukul 13.30 WITA.Â
Empat jam penantian!
Seandainya Ella seorang ibu rumah tangga dan mempunyai anak bayi, bisa dibayangkan banyak pekerjaan rumah yang tertunda gara-gara menunggu sesuatu yang tidak pasti!
Apakah PDAM tidak punya "armada" petugas yang jumlahnya memadai?Â
Apakah PDAM tidak punya standar waktu pelayanan? Apakah empat jam itu standar waktu pelayanan minimal?
Saya jadi teringat dengan kalimat "sakti" yang selalu diucapkan oleh mantan wapres Indonesia, Jusuf Kalla (JK), yaitu "Lebih Cepat, Lebih Baik".
Sayangnya, kebanyakan pelayan publik tidak menyandang kalimat itu dalam melaksanakan tugas.
Dan yang menjengkelkan, tidak ada transparansi standar harga layanan.Â
Leo memang sempat menyebutkan "Ada biaya tersendiri" sewaktu bicara soal "membetel", namun tidak menyebutkan harga waktu di awal sebelum pengerjaan.
Salahnya, saya dan Ella juga tidak bertanya perihal harga layanan di awal.Â
Sepertinya ada "konspirasi" menetapkan harga mahal saat mereka mengerjakan. Tergantung "siapa" pelanggannya.Â
Parahnya, juga tidak ada tanda terima pembayaran berupa kuitansi, nota, atau apa pun.
Saya jadi bertanya-tanya dalam hati. Ini pegawai perusahaan daerah milik pemerintah atau sekadar buruh lepas biasa?
Seharusnya ada standar harga layanan dan bukti tanda terima pembayaran. Dengan begitu, pelanggan tidak merasa "dirampok".
4. Kualitas Air Minum
Sebenarnya sejak doeloe, nama PDAM memang dipandang "aneh" oleh masyarakat.Â
"Perusahaan Air Minum, tapi airnya kok masih mentah dan kotor pula. Tidak layak diminum. Seharusnya sudah bisa diminum. Kalau begini, seharusnya bukan Perusahaan Daerah Air Minum, tapi Perusahaan Daerah Air Mentah!" kata Paijo (bukan nama sebenarnya), salah seorang konco guru.Â
Terkadang saya merenung. Kapan Indonesia seperti negara maju yang bisa minum air dari keran langsung tanpa disaring dan dimasak dulu?
Entah kapan bisa terwujud. Apakah terbatas di IKN saja? Sepertinya kok tidak adil ya.
Sudah seharusnya nama sesuai dengan tindakan dan produknya. Jika berlawanan, maka selamanya akan disebut dagelan.Â
Standar kualitas air minum. Itu yang harus dipertanggungjawabkan oleh PDAM dan menyatakan transparansi layanan standar kualitas air minum kepada warga selaku pelanggan.Â
Saatnya berbenah
Kondisi kebanyakan warga saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kebobrokan karakter kebanyakan pemimpin dan wakil rakyat terpampang nyata terang-terangan. Rakus akan kuasa dan harta yang ada di benak. Mereka tidak memikirkan rakyat yang memilih mereka.Â
Meskipun begitu, kita harus tetap percaya. Akan ada perbaikan dari segelintir orang yang punya hati untuk melayani.Â
Tuhan tidak buta. Selalu ada harapan walaupun terlihat suram di permukaan.Â
Kita hanya bisa berdoa; PDAM dan perusahaan pemerintah lainnya berbenah diri, melayani kebutuhan warga dengan maksimal, karena memang itulah tupoksi mereka yang utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H