Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyoal Ujian Semi Daring

15 Januari 2024   21:06 Diperbarui: 16 Januari 2024   00:42 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun sudah bisa dikatakan normal kembali, ada beberapa sekolah yang masih menerapkan ujian semi daring.

Kalau di tahun 2020-2022, ujian daring yang menjadi andalan, rentang 2022 sampai akhir 2023, ujian semi daring yang menjadi pilihan.

Setengah daring, setengah luring.

Untuk soal pilihan ganda (PG) dilakukan secara daring lewat ponsel pintar; untuk soal uraian (essay) dikerjakan di atas kertas jawaban, murid menulis jawaban di atas kertas dengan menggunakan pulpen.

Di salah satu SMP swasta, ujian semi daring diberlakukan pada penyelenggaran Ujian Akhir Semester (UAS) dalam satu-dua tahun terakhir.

S, salah seorang murid les yang berstatus pelajar kelas sembilan di SMP swasta tersebut, menghadapi ujian semi daring kembali pada UAS di akhir November 2023 sampai awal Desember 2023 lalu.

Secara pribadi, tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Termasuk ujian semi daring. Ada kelebihan, ada juga kekurangannya.

Menurut saya, dari sebuah SMP swasta dimana S bersekolah, ada beberapa kelebihan ujian semi daring.

1. Mengurangi penggunaan kertas

Tak bisa dipungkiri, kampanye mengurangi penggunaan kertas terus digalakkan menimbang pohon-pohon yang menjadi bahan membuat kertas sudah semakin minim populasinya.

Oleh karena itu pengalihan ke media digital tidak bisa dielakkan dan menjadi pilihan yang tepat asal menggunakannya dengan tepat pula.

2. Hasil ujian langsung terlihat

Bagi guru, ujian semi daring menjadi keuntungan tersendiri, karena kecepatan memeriksa ujian, khususnya Pilihan Ganda (PG).

Dengan adanya ujian semi daring melalui penggunaan aplikasi Google Form atau yang sejenis, sebagai contoh, mempermudah kerja guru dalam menilai hasil ujian, karena secara otomatis, setiap nomor soal yang dijawab murid akan terhitung benar atau salah sesuai kunci jawaban yang diatur guru sebelum ujian berlangsung.

Apabila murid selesai mengerjakan ujian bagian Pilihan Ganda, hasilnya akan diketahui oleh guru saat itu juga. Berapa soal yang dijawab benar dan berapa soal yang dijawab salah.

Hasil ujian langsung terlihat.

Di balik kelebihan, ada kekurangan di sisi lain.

Kekurangan ujian semi daring khususnya yang berlangsung di SMP swasta tempat S bersekolah adalah:

1. Terbatas pada soal Pilihan Ganda (PG)

Penerapan aplikasi untuk ujian seperti Google Form, sayangnya, hanya terbatas pada soal Pilihan Ganda (PG)

S menjalani ujian semi daring di gawai terbatas pada Pilihan Ganda. Uraian (essay) harus dikerjakan diatas kertas.

Ini yang menyulitkan para guru untuk mendapatkan hasil ujian seketika di hari itu juga.

Apakah memang aplikasi untuk ujian tersebut terbatas untuk PG atau bisa juga untuk soal uraian? Entahlah.

2. Tidak semua guru tahu cara mengoperasikan aplikasi pengolah ujian seperti Google Form

Cepatnya pertumbuhan teknologi membuat susahnya kebanyakan para pendidik untuk mengikuti, khususnya bagi guru yang beranjak memasuki usia pensiun.

Sudah bukan rahasia lagi kalau beban administrasi guru di kurikulum baru bukannya menjadi ringan, malah justru sebaliknya. Administrasi "menggunung" membuat kebanyakan guru kelelahan.

Tak heran, membuat rincian soal di aplikasi pengolah ujian seperti Google Form, menurut pengamatan saya, hanya dikerjakan oleh segelintir guru yang melek teknologi dan gemar utak-atik komputer. Kebanyakan guru tidak mau repot pusing kepala berkutat dengan "tambahan kerjaan" seperti Google Form ini.

3. Memberi peluang murid menyontek lewat perpesanan singkat atau bertanya pada Mbah Google

Sudah bukan rahasia kalau budaya salin-tempel sudah menjamur di kalangan kebanyakan murid kala mengerjakan pekerjaan rumah.

Tanya teman lewat perpesanan singkat atau mencari jawaban di Google. Sesederhana itu.

Murid memegang smartphone dengan bebas saat ujian. Apa pun bisa terjadi. Apakah pihak sekolah dan guru bisa menjamin murid-murid jujur sewaktu mengerjakan soal ujian?

Ini yang menjadi persoalan. Kecuali pihak sekolah bisa melakukan proteksi akses aplikasi perpesanan singkat, Google, YouTube, dan media-media lain yang menyediakan informasi. Kalau tidak, murid akan dengan leluasa berbuat apa saja dengan gawainya kalau tidak ada batasan akses seperti itu.

Selama dan setelah ujian semi daring

SMP Swasta dimana S bersekolah menerapkan ujian semi daring dengan peralatan yang digunakan, yaitu smartphone.

Murid diharapkan membawa smartphone. Jika murid tidak mempunyai, sekolah menyediakan beberapa komputer dan laptop di laboratorium komputer buat para murid untuk mengerjakan ujian semi daring.

Ada sebelas mata pelajaran yang diujikan di kelas sembilan dari tanggal 1 Desember 2023 sampai tanggal 7 Desember 2023.

S menceritakan kronologis pengerjaan ujian.

Murid membuka link/tautan Google Form Ujian Akhir Semester untuk mata pelajaran tertentu di hari dan jam yang bersangkutan di Google Classroom.

Untuk sembilan mata pelajaran, yaitu Agama, Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Bahasa Inggris, PJOK (Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan), Seni, Informatika, dan IT Preneur; ada dua bagian, yaitu Pilihan Ganda (PG) sebanyak 35 soal untuk setiap mata pelajaran, dan murid mengerjakan di Google Form lewat smartphone selama 60 menit.

Setelah waktu 60 menit usai, smartphone disimpan, karena peserta didik harus mengerjakan lima soal uraian (essay) di atas kertas dengan menggunakan bolpoin sebagai alat tulis. Durasi waktu pengerjaan untuk soal uraian adalah 30 menit.

Berbeda dengan mata pelajaran-mata pelajaran lain, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Matematika mempunyai 30 soal PG (dengan waktu pengerjaan 60 menit) dan 5 soal uraian juga dengan waktu pengerjaan 60 menit).

Bagaimana dengan hasil ujian?

Dari sebelas mata pelajaran yang diujikan, hanya satu mata pelajaran yang diketahui hasilnya, yaitu Agama, dengan perincian PG benar mendapat nilai 40 (kata S) dijumlah dengan nilai soal uraian. Total nilai mata pelajaran Agama yang S peroleh adalah 80.

Hasil PG di Google Form tidak bisa diakses oleh murid. Untuk hasil soal uraian, guru agama membagikan kertas ujian murid dan meminta para murid untuk mengembalikan kembali kertas hasil soal uraian yang sudah ditandatangani oleh orangtua keesokan harinya.

Sepuluh mata pelajaran lainnya tidak diketahui bagaimana hasilnya.

Saran untuk sekolah-sekolah yang berkaitan dengan ujian semi daring

Saya tidak tahu berapa persisnya jumlah sekolah yang melaksanakan ujian semi daring di Samarinda. Entah sama atau berbeda kasus, saran-saran dari saya berikut ini, yang subjektif adanya, dari sudut pandang pribadi, saya tujukan pada SMP dimana S bersekolah dan sekolah-sekolah lain yang menganut praktik serupa.

Ada tiga saran saya:

1. Bukan sekadar nilai rapor

Dari beberapa orangtua murid yang pernah saya tanya, kebanyakan dari mereka tidak mau terlalu repot dan galau dengan nilai hasil ujian, karena toh, mereka melihat hasil akhir, nilai rapor, sebagai yang utama.

Padahal, nilai rapor terbentuk karena proses belajar mengajar dan hasil ujian. Proses belajar mengajar penting, hasil ujian juga penting.

Sayangnya, dalam praktiknya di kebanyakan sekolah di negara +62, hasil akhir, dalam hal ini nilai rapor lebih didewakan daripada hasil ujian dan proses belajar mengajar.

Saya jadi teringat dengan gambaran sepakbola tanpa gawang yang dikisahkan oleh seorang dosen di kampus saat saya masih berkuliah.

Gambaran sepakbola tanpa gawang terlihat bahwa permainan sepakbola tidak menuju kemana-mana. Tidak ada tujuan. Sepakbola akan menjadi olahraga yang membosankan.

Dengan adanya gawang, ada tujuan yang ingin dicapai setiap tim. Mencetak gol untuk meraih kemenangan.

Apakah cukup dengan hasil kemenangan? Tentu saja tidak cukup. Proses memainkan sepakbola dari kaki ke kaki, proses bagaimana gol tercipta atau bagaimana tim lain bertahan dari gempuran penyerangan bertubi-tubi, itu semua sangatlah menarik, menjadi candu bagi penggila sepakbola.

Proses permainan, jumlah gol tercipta, dan hasil akhir (siapa yang menang, pihak mana yang kalah, atau seri), dan juara liga di akhir musim adalah satu paket. Semuanya penting. Semuanya terkait. Tidak bisa mengabaikan salah satu atau salah dua diantaranya.

Demikian juga dengan pendidikan. Proses belajar mengajar, nilai hasil ujian, dan nilai rapor adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Tidak memberitahu nilai ujian kepada murid dan orangtua mereka adalah langkah memutus mata rantai keterkaitan tersebut.

Bukan sekadar hasil akhir, yaitu nilai rapor saja yang penting. Nilai hasil ujian juga sama pentingnya.

2. Ujian bukan sekadar formalitas belaka

Terkadang, kalau melihat pengalaman sebagai guru di beberapa sekolah di masa lampau, saya melihat kecenderungan kebanyakan guru dalam memandang ujian akhir semester sebatas, sekadar formalitas belaka.

"Nanti kita 'sulap' juga nilai-nilai rapornya, Pak Anton. Jadi kayaknya percuma ada ujian semester...," kata W, salah seorang rekan guru perempuan di salah satu SD tempat saya pernah mengajar dulu.

Beberapa guru juga berkata nyaris serupa. Pindah ke sekolah yang lain, pola pikir tersebut tetap sama, bertengger di benak kebanyakan guru di sekolah-sekolah tersebut.

Penggunaan smartphone pada ujian semi daring di SMP tempat S bersekolah, semakin membuat saya berpikir bahwa SMP tersebut hanya memandang ujian sebagai formalitas belaka.

Kejujuran dipertanyakan. Meskipun soal disusun acak untuk setiap murid karena aplikasi tersebut mungkin mendukung penerapan tersebut, murid tetap bisa menanyakan pada teman-teman murid lainnya lewat perpesanan singkat, seperti lewat WhatsApp (WA) atau Telegram, serta juga lewat surel dan peramban, jika tidak ada pemblokiran akses aplikasi perpesanan singkat dan sistem informasi lainnya.

Meskipun kelihatan jadoel, saya kira ujian luar jaringan (luring) adalah ujian yang lebih tepercaya, terjamin hasilnya, karena tidak ada tindakan cawe-cawe dari pihak manapun.

Memang, guru akan memerlukan lebih banyak waktu untuk memeriksa ujian siswa, namun menurut saya itu sebanding dengan hasil yang diperoleh setelahnya, daripada memudahkan pemberian nilai, tapi tidak yakin kalau nilai-nilai tersebut "murni" atau "palsu":

Karena ujian perlu untuk mengevaluasi hasil dari proses belajar mengajar kepada peserta didik selama satu semester. Kalau baik, dipertahankan atau ditingkatkan menjadi lebih baik lagi. Kalau buruk, temukan masalah, perbaiki celah-celah kekurangan.

Kalau ujian sekadar formalitas di mata guru, pendidikan di Indonesia tidak akan kemana-mana. Tetap di tempat atau malah mengalami kemunduran.

3. Guru berfungsi sebagai pengajar dan pendidik

Tahu tentang tugas, pokok, dan fungsi, tapi sayangnya dalam praktik nyata, kebanyakan guru hanya sekadar mengajar dan mengabaikan kewajiban mendidik.

Beberapa guru di SMP dimana S bersekolah memperlihatkan bahwa mereka hanya "menjalankan tugas".

Memilih profesi sebagai guru memang tidak mudah. Pendapatan jauh dari harapan. Namun, biar bagaimana pun, mereka sudah memilih profesi tersebut. Mengajar dan mendidik adalah satu paket. Tidak bisa hanya satu sisi saja.

Hasil ujian adalah salah satu cara untuk mendidik murid bahwa untuk menjadi sukses, butuh proses panjang. Untuk bisa berprestasi secara akademik, sebagai contoh, perlu proses belajar yang terus-menerus dan konsisten.

Apa alat ukur keberhasilan dalam belajar? Menurut saya, nilai hasil ujian adalah alat ukur yang objektif untuk melihat keberhasilan atau kegagalan murid dalam menjalani proses selama kurang lebih enam bulan atau satu semester.

Memang, tidak bisa 'memukul rata'  kemampuan murid. Ada juga faktor-faktor lain yang juga menentukan rendahnya pencapaian nilai murid, seperti minat murid terhadap mata pelajaran tertentu, faktor ekonomi keluarga, peranan orangtua dalam mendidik anak di luar sekolah, dan lain sebagainya.

Namun, harus tersedia alat ukur, supaya ada target, sasaran yang ingin dicapai. Bukan sekadar ujian tanpa tujuan yang jelas di balik pelaksanaannya.

Dengan adanya hasil ujian, ada pemetaan kompetensi murid. Kalau tidak ada nilai ujian; untuk apa ada pengajaran, pendidikan, dan ujian?

Evaluasi diri

Sudah saatnya becermin, mengevaluasi diri setiap saat. Kebijakan, apa pun itu, tidak ada satu pun yang sempurna.

Penggunaan ujian semi daring sudah seharusnya dievaluasi, apakah menguntungkan atau justru malah merugikan murid.

Keterbukaan, transparansi nilai ujian menjadi parameter karena itulah yang membuktikan hasil belajar murid dan juga hasil mengajar yang dilakukan guru.

Apakah hasil belajar murid sesuai harapan atau tidak?

Nilai ujian, di sisi lain, juga terkait dengan kinerja dan kompetensi guru dalam mengajar dan mendidik.

Apakah guru sudah mempersiapkan program pengajaran dengan baik sebelum mengajar?

Apakah guru telah mengeksekusi program yang disusun sebelumnya dengan cermat dan terukur?

Apakah guru sudah menggunakan ujian semi daring sebagai alat evaluasi yang tepat sesuai situasi dan kondisi yang ada? 

Apakah nilai hasil ujian semi daring murid menggambarkan tuntas atau tidak tuntasnya pengajaran? Bukan hanya guru yang tahu nilai hasil ujiannya, tapi orangtua murid juga perlu tahu, karena pada hakikatnya, guru dan orangtua murid adalah mitra, berada dalam posisi yang setara.

Akhir kata, keterbukaan dalam informasi hasil ujian perlu adanya. Demi kebaikan setiap pihak, baik itu murid, orangtua murid, dan guru itu sendiri. Sudah sepatutnya tidak ada yang ditutupi, apalagi menyangkut perihal mendidik anak dalam proses tumbuh kembang ke arah kedewasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun