"Sekarang dia baru menyesal..."
Rio, adik Mira, mengutarakan kilas balik dan penyesalan sang kakak sekarang.
Menikah secara Katolik, meskipun Handoyo seorang Kristen, tapi bukan Kristen yang taat. Istilahnya, Kristen KTP.
Akibatnya, pendidikan anak terutama soal agama tidak diperhatikan. Handoyo tak pernah membawa istri dan anak ke gerejanya. Mira membawa sang anak, Dani, ke gereja Katolik di hari Minggu, meskipun tidak rutin.
Handoyo memang ikut ke gereja Katolik, tapi hanya sampai di halaman gereja. Dia tidak ikut menghadiri ibadah. Dia hanya mengantar anak dan istrinya. Selebihnya ada dua pilihan di benaknya: menunggu anak dan istrinya selesai ibadah dengan menikmati gorengan di warung terdekat atau pergi ke rumah kenalan dan menjemput istri dan anak saat ibadah usai.
Tiga pelajaran hidup
Dari tiga studi kasus sebelumnya, kita dapat menarik 3 (tiga) pelajaran hidup.
1. Pilihlah calon yang seiman, taat beribadah, rajin bekerja, dan punya karakter yang baik
Mungkin ada di antara Anda yang tidak sependapat, tapi apa yang saya temui dari pengamatan dan pengalaman hidup membuktikan kalau iman suami dan istri yang berbeda lebih banyak menimbulkan masalah saat sudah berumah tangga dibandingkan dengan pasangan yang seiman.
Yang seiman saja belum tentu langgeng pernikahannya, apalagi kalau tidak seiman. Dan juga, iman yang berbeda akan menimbulkan masalah saat mempunyai anak karena menyangkut agama apa yang akan dianut sang anak.
Mengenai persoalan mendidik anak, akan kita bahas di pelajaran hidup kedua.
Yang jelas, seperti yang mungkin pernah Anda dengar, seperti saya mendengarnya dari seorang kenalan, sebut saja Joko, dia mengatakan, "Sebelum menikah, buka mata lebar-lebar. Sesudah menikah, tutup mata rapat-rapat."
Maksudnya, sebelum menikah, kita harus mengetahui seluas-luasnya perihal calon pasangan. Bukan sekadar seiman (ini harga mati!), namun juga tentang ketaatan dalam beribadah (realita, bukan rekayasa), bagaimana dia berhubungan dengan Sang Pencipta.