Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kembali ke Barat

6 Januari 2020   17:19 Diperbarui: 6 Januari 2020   17:27 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pesawat tiba di bandara pada pkl. 08.55. Ada semacam gairah baru yang meluap di dada saya ketika rodanya menyentuh aspal disertai sedikit goncangan.

Sekarang aku sudah kembali ke barat, batin saya.

Suara-suara segera mengisi udara dalam ruang penumpang. Balita yang rewel. Ibu-ibu yang mulai mencandai anak-anaknya. Lagu-lagu atau nada dering ponsel.

Saya segera meraih ponsel di saku jaket. Saya mau mengabarkan perihal posisi dan kondisi saya pada istri saya. Rutinitas setiap bepergian memang begitu.

Pesawat sudah turun. Aman-terkendali.

Cukup begitu. Tidak perlu repot dengan menunggu tanggapan. Kemudian ponsel saya masukkan kembali ke saku jaket. 

Penyejuk buatan tetap saya aktifkan agar suhu ruangan tetap sejuk, apalagi saatnya sekarang para penumpang sedang bergerak sehingga suhu ruangan mulai meningkat. Dalam kondisi sejuk dan sesekali menoleh ke arah interior pesawat atau luar jendela, saya tergoda untuk melamun.

Waktu seakan angin; sekilas perjalanan dari timur-tengah-barat, pikir saya. Selarang saya sudah berada di wilayah barat lagi.

Sambil menunggu pesawat benar-benar berhenti dan memberi kesempatan kepada para penumpang lainnya untuk berkemas-kemas, melamunlah saya dengan lebih aduhai untuk mengisi sisa waktu. Lumayan bisa sekitar seperempat jam atau lebih.   

Kembali ke barat dengan pekerjaan yang memang saya minati setelah meraih gelar sarjana dan beberapa pengalaman yang lumayan di proyek-proyek perumahan. Tidak hanya satu rumah atau bangunan berukuran sedang seperti ketika merantau di wilayah timur kemarin.

Kembali ke barat tidak sekadar bekerja, melainkan rencana-rencana lainnya, misalnya mudik ke kampung halaman untuk menjenguk ibu dan saudara-saudara saya. Kembali ke barat adalah memangkas jarak yang panjang antara tengah dan barat.

Waktu melamun selesai ketika beberapa penumpang sudah bangkit, mengambil aneka bawaan di kabin, dan berjalan di lorong ruangan. Penumpang di sebelah saya sudah bersiap untuk meninggalkan kursinya. Saya melepaskan sabuk pengaman.

***

Sekeluar dari pintu pesawat, yang terbentang di hadapan saya seolah sebuah lokasi pekerjaan. Ya, di media sosial saya melihat dokumentasi pekerjaan Sarwan, yaitu kondisi sebuah lokasi, pekerjaan, alat berat, dan seterusnya.

Bola sudah kujemput, siap untuk mensmes-nya, gumam saya sewaktu menuruni tangga pesawat.

Perjalanan selanjutnya adalah menuju rumah Sarwan di pinggir Megapolitan. Kepada bagian informasi bandara, saya pun menanyakan perihal angkutan khusus bandara yang berjurusan ke daerah rumahnya Sarwan.

Saya beralih ke sebuah ruangan kaca untuk membeli tiket angkutan bandara. Harganya Rp55.000,00.

Tidak ada yang sulit, karena saya cukup sering melakukan perjalanan semacam ini. Untuk perjalanan ini, saya pernah mengalaminya sekitar sepuluh tahun silam. Hanya saja, dulu saya masih bujang, dan semangat merantau begitu bergelora.

Dan tidak perlu berlama-lama, angkutan berupa bus ber-AC sudah tiba. Saya pun beranjak, masuk, dan mengambil posisi dalam bus. Semua terjadi dengan teratur. Memang menyenangkan sekali.

Sudah dalam angkutan bandara menuju rumah Sarwan. Begitu kabar yang langsung saya kirimkan pada istri saya.

Dalam perjalanan dengan bus khusus itu saya mencoba hal yang baru, yaitu membuka petunjuk lokasi atau posisi keberadaan saya dan alamat rumah Sarwan. Perlahan-lahan tanda bulat bergerak mendekati sebuah perumahan.

Saya tersenyum dan sedikit malu pada diri sendiri. Saya merasa benar-benar manusia primitif, kendati tinggal di kota cukup besar dan perkembangan zaman yang pesat melalui kemajuan teknologi mutakhir. 

"Akhirnya saya kembali ke pinggiran megapolitan," gumam saya ketika posisi tanda bulat mendekati suatu tempat, dan bus berhenti di dekat gerbang perumahan pada pkl.10.00.

Saya tidak langsung menuju rumah Sarwan, melainkan bergerak ke teras sebuah barisan ruko yang terdapat sederetan kursi galvanis. Setelah meletakan barang bawaan dan duduk, saya menghubungi istri untuk mengabarkan bahwa saya sudah sampai di gerbang perumahan kawan saya, tetapi saya belum mau menuju rumahnya.

Saya memang masih ingin menikmati suasana baru bernuansa lama. Saya sedang mengumpulkan kesadaran seutuhnya bahwa saya sudah kembali seperti sepuluh tahun silam meninggalkan segala hiruk-pikuk daerah pinggiran, dan pernah melanglang buana ke wilayah timur yang cukup jauh.

Lalu-lintas yang ramai. Laju kendaraan yang kencang. Suara mesin dan kelakson. Bangunan ruko berjajar. Baliho dan spanduk bertanda suatu daerah pinggiran kota besar. Udara yang gerah.

Sepuluh tahun saya tidak mengalami suasana semacam ini lagi. Sepuluh tahun saya menyingkir dari segala yang penuh hiruk-pikuk di seberang untuk memulai hidup baru hingga beberapa kali bisa merantau lebih jauh menyeberang.

Sekitar satu jam duduk dan terkumpullah kesadaran yang seutuhnya melalui suasana dan situasi yang nyata, kemudian saya menghubungi Sarwan untuk memberi tahu bahwa saya sudah sampai dan sedang duduk santai di antara deretan kursi galvanis sebuah ruko sekitar gerbang perumahan. Sarwan tidak menjemput.

Seorang petugas keamanan berumur sekitar tiga puluhan keluar dari sebidang ruko yang ditempati oleh sebuah perusahaan. Petugas itu pun duduk di dekat saya.

"Maaf, Bang, saya mau nanya," kata saya. "Blok D jauh, nggak, dari sini?""

"Saya kurang tahu, jauh atau dekat. Coba nanti Mas pakai ojek sana itu," jawabnya sambil menunjuk ke seorang pemuda yang sedang duduk di dekat sebuah motor bebek 4 tag.

"Terima kasih, Bang. Nanti saja-lah. Saya sedang ingin bersantai dulu di sini."

***

Lingkungan perumahan di pinggir megapolitan ini cukup asri. Ada ruang terbuka hijau untuk taman di tepi sungai yang berpagar bambu jenis apus. Meski berada di musim kemarau yang membalau, suhu sekitarnya masih alami, apalagi jalan-jalan di perumahan ini cukup sepi sebagaimana sebuah pemukiman.

Saya sempat salah alamat ketika turun dari motor bebek dan membayar jasa ojek senilai Rp10.000,00. Nomornya 12 A, padahal Sarwan memberi nomor 12 alias tanpa embel-embel "A".

"Wan, Sarwan," panggil saya.

Seseorang keluar dari pintu rumah sebelah nomor 12 A. Saya menoleh ke arahnya karena terdengar pintunya terbuka, dan suara gesekan alas kaki di atas keramik lantai.

Seorang pria bercelana pendek tetapi tidak berbaju. Wajahnya yang tidak berubah banyak sejak SMP atau sekitar 32 tahun silam, apalagi di jejaring media sosial saya dan dia sering berkomunikasi. 

Nah, itu dia, pikir saya.

32 tahun, dan bukan kawan satu kelas. Saya sama sekali tidak mengenal karakternya, selain pernah berada satu tim voli sekolah untuk satu kali even lomba, yaitu dalam rangka persta perak sekolah.

Sedangkan kakaknya seorang yang tidak banyak bicara, dan tidak termasuk murid bermasalah. Delapan tahun lalu saya dan kakaknya pernah bertemu lagi dalam acara reuni SD-SMP yang selama itu bisa satu nama sekolah. Selama delapan tahun saya hanya melihat pajangannya di media sosial berupa pekerjaan dan tamasya ke luar negeri.

"Sarwan juga punya kontraktor, Ji," kata kakaknya ketika kami bertemu dalam reuni.

Saya tidak bertanya mengenai apa nama badan usahanya Sarwan, dan bidang belajar Sarwan. Saya pikir, Sarwan seorang Sarjan Teknik Prodi Teknik Sipil, sehingga kini bisa memiliki badan usaha sendiri, dan sukses.

Saya tersenyum sambil menunggu dia membuka pintu berteralis besi dengan spanduk berukuran 80 cm X 120 cm yang tertulis "Dijual" di depan rumahnya. Sekilas saya menengok nomor rumahnya. Nomor 12. Tepat, meski sempat salah dengan "A".

Ini dia rumahnya untuk kutempati, batin saya.

Begitu pintu terbuka ke arah depan, saya segera menyalaminya. Sarwan menyambut tetapi biasa saja, dan segera berbalik untuk kembali masuk ke rumah. Saya menutup pintu lalu mengangkat barang bawaan saya yang hanya berupa dua tas.

Sebuah motor matik 125 cc terparkir di dekat saya atau di antara pintu pagar depan dan pintu depan rumah. Motor ini seperti yang pernah diminati oleh istri saya, karena daya jelajahnya bisa diandalkan.

Ini kendaraan untuk kerja nanti, pikir saya.

Di sampingnya, yaitu garasi, terparkir sebuah mobil sport putih. Di samping sebaliknya terdapat taman yang mungil dan kurang terurus. Di sekitar pintu depan terdapat barang-barang bekas.

***

Rumah Sarwan berlantai dua. Lantai satu berukuran 6 m X 8 m dengan ruang tamu yang bersatu dengan ruang keluarga, dua ruang tidur yang berisi lemari kosong, dapur dengan perabot yang lengkap, toilet dengan closet duduk, dan tangga ke lantai dua.

Lantai dua berukuran 5 m X 6 m. Ada satu toilet yang berjaringan pipa terhubung dengan toilet di lantai satu. Ada ruang kelurga berukuran kecil, sebuah ruang tidur tetapi berisi barang-barang, gudang mungil yang juga berisi barang-barang, ruang cuci, dan jemur.

Rumah yang bakal saya tempati itu memang tidak dihuni sejak lebih tiga tahun. Sesekali dalam seminggu Sarwan datang untuk bersantai atau membersihkannya.

"Aku ngontrak, Ji," kata Sarwan. "Rumah ini kujual untuk beli rumah lagi di daerah lain."

"Lho, mengapa begitu?"

"Istriku nggak senang tinggal di sini, padahal ini rumah pertama kami."

"Mau ganti suasana, ya?"

"Begitulah."

Saya tidak bertanya lagi, karena saya menganggap bahwa "ganti suasana" merupakan hal yang biasa, apalagi bagi orang-orang kaya. Kalau bagi saya, aduhai, sayang sekali.

"Kantormu di mana, Wan?"

"Aku nggak punya kantor. Selama bertahun-tahun aku jadi kontraktor tanpa perlu kantor."

"Lha, perusahaanmu ada, logonya pernah kubenahi itu, bagaimana?"

"Ah, kerja sepele, Ji. Rumah ini jadi alamatnya tapi tidak perlu jadi kantor."

Saya tidak kaget ketika sebuah rumah tinggal beralih fungsi menjadi sebuah kantor, bahkan sekadar alamat untuk legalitas sebuah usaha. Toh, dulu, ketika bekerja di sebuah kontraktor jasa manajemen konstruksi, sebuah rumah tinggal beralih fungsi menjadi kantor tanpa menerakan papan nama.

"Aku dulu suplaiyer material. Waktu ada proyek perumahan, aku ditantang untuk menggarap tiga unit rumah, dan selesai."

Kemudian Sarwan menceritakan sebagian perjalanan profesinya dalam bidang jasa manajemen konstruksi. Pasang-surut, pas-pasan hingga nyaris bangkrut, dan sampai kini Sarwan menggarap pekerjaan di calon perumahan bersubsidi di pinggiran kota.

"Proyek kita untuk perumahan. Bos developernya bernama Demun," kata Sarwan.

Saya mendengarkan saja. Sebelumnya Sarwan menggarap beberapa unit rumah sederhana di proyek perumahan milik developer yang dipimpin sekaligus dimiliki oleh Pak Demun. Letak proyek di daerah lain dan jauh sekali.

Di proyek kali ini Sarwan mengerjakan dari awal, yaitu pekerjaan Cut and Fill dan infrastruktur. Kondisi belum selesai, meski lebih lima bulan.

"Aku bekerja secara perorangan, Ji."

"Secara perorangan? Tidak menggunakan bendera kontraktormu?"

"Ah, tidak perlu, Ji. Yang penting mau kalau diminta Demun. Aku sudah akrab dengan Demun sekeluarga."

Selanjutnya Sarwan menceritakan hubungan baiknya dengan Pak Demun sekeluarga. Saking baiknya hubungan mereka, Sarwan mendapat panggilan pertama dari Pak Demun untuk menggarap pekerjaan Cut and Fill dan infrastruktur di sebuah lokasi pinggiran yang sudah berjalan selama enam bulan.

"Pak Demun berbeda dengan pengembang lainnya, Ji. Uangnya gampang ngucur. Kita tagih hari ini, besoknya sudah cair."

"Ada berkas penagihannya? Coba kulihat."

"Oh, ada di rumah. Tapi tidak ribet, Ji. Cuma volume saja."

"Lampiran surat kontrak, dan..."

"Tidak perlu ribet, Ji."

Saya heran dengan "tidak perlu ribet". Saya pernah bekerja dengan suatu jabatan dan struktur organisasinya di proyek pembangunan perumahan. Salah satu tanggung jawab saya berkaitan dengan penagihan. Jelas ada berkas-berkas penyertanya.

Di samping itu, Sarwan juga menceritakan tentang tim kerja kami. Bu Lia berumur sekitar enam puluh tahun, bekerja sebagai perekrut tenaga kerja, dan penghubung dengan warga sekitar lokasi.

Perkenalan Sarwan-Bu Lia dimulai di sekitar rumah Sarwan. Ketika itu Bu Lia sedang menggarap sebuah proyek di lingkungan perumahan Sarwan. Perkenalan diteruskan dengan berkunjung ke rumah Bu Lia, dan mengajak Bu Lia bergabung dalam pekerjaan untuk Pak Demun.

"Aku sudah dianggap anak sendiri oleh Bu Lia, Ji," ungkap Sarwan.

Lainnya ialah Pak Odang dan Degul. Pak Odang berumur sekitar enam puluh lima tahun, bekerja sebagai perencana nsekaligus pengawas Cut and Fill. Degul berumur sekitar dua puluh lima tahun, anaknya Pak Odang, dan membantu Pak Odang dalam pengukuran.

Tengah hari sudah berlalu. Obrolan masih panjang. Saya dipersilakan menyeduh kopi sendiri di dapur yang langsung terhubung dengan ruang keluarga.

"Sore nanti kita ke lokasi, Ji."

"Oh, iya, dong," sahut saya sembari beranjak ke dapur.

Dapur yang lengkap perabotannya. Kitchen set, begitulah istilahnya. Kompos gas bermata dua tertanam di meja beton. Gelas dan cangkir berada di dekat kitchen zink.

"Masak pakai pemanas listrik, Ji. Kompor gas kehabisan gas, belum kuisi lagi."

"Ya."

"Airnya ambil di galon."

Di samping kiri kompor gas terdapat sebuah dus berisi kopi. Di samping kanan terdapat alat pemanas atau pendidih bertenaga listrik 300 watt.

Saya mengambil cangkir, mengisi kopi, dan meletakkan di atas kompos gas yang tidak berfungsi. Kemudian mengambil alat pemanas untuk saya isi dengan air.  

Di samping kitchen zink terdapat sebuah galon air. Saya mengambil alat pemanas, membuka tutupnya, menuangkan air dari galon, lalu mencolokkan kabelnya ke stop kontak di dinding samping kompor.

Beres, pikir saya sambil kembali ke kursi dekat Sarwan.

Saya menanyakan pada Sarwan perihal surat kontrak, jadwal pekerjaan (time schedule) , rencana anggaran biaya, gambar kerja, dan seputar urusan dokumen pekerjaan lainnya. Saya ingin menyiapkan pikiran untuk bekerja, apalagi Sarwan pernah menyiapkan posisi saya sebagai "tangan kanan"-nya.

"Tidak usah susah, Ji. Kerja denganku, santai aja."

***

Sejak tiba di rumah Sarwan hingga ngobrol sana-sini, saya sama sekali tidak melihat adanya berkar-berkas yang berkaitan dengan pekerjaan. Tidak ada struktur organisasi di lapangan. Saya semakin heran dan agak bingung.

Bagaimana menghitung progress, bobot atau prestasi pekerjaan, ya? Bagaimana Sarwan membuat progress pekerjaan sekaligus penagihannya? Saya tidak mengerti.

Mungkin setiap kontraktor, pemilik proyek, proyek baru, dan seterusnya memiliki perbedaan masing-masing. Mungkin wawasan saya masih sangat sempit. Yang jelas, sekarang saya sedang mencoba sesuatu yang baru.

Sarwan mengambil ponselnya di meja lalu menghubungi seseorang. Sekian detik saja panggilan seluler sudah tersambung.

"Bu, ini orang saya sudah datang," ujar Sarwan. "Sebentar lagi kami mau ke lokasi. Saya mandi dulu, nih."

Sarwan beranjak lalu menuju kamar mandi. Saya pun beranjak ke luar untuk mengambil foto rumah Sarwan dan kendaraan harian saya nanti.

Ini tempat tinggal dan kendaraan yang dijanjikan Sarwan.

Begitu kabar yang saya kirimkan pada istri saya untuk meyakinkannya bahwa Sarwan bisa dipercaya. Saya tidak tega jika istri saya bimbang dan memikirkan keseharian saya di perantauan, karena sebelum-sebelumnya saya selalu dikecewakan oleh kawan kami di wilayah timur.  

Setelah itu saya berdebar-debar menunggu hari esok dan hari-hari selanjutnya di wilayah barat yang kini kembali saya jajaki. Suatu kondisi yang benar-benar baru dengan sistem perorangan, ketiadaan dokumen pekerjaan, dan lain-lain.

Apa pun yang akan terjadi, terjadilah, pikir saya.

*******

Ruang Lebur, Cibubur, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun