Lagi di mana. Saya membalas, "Di sekitar kebun jati."
Ah, saya menjadi pembohong yang profesional nih, batin saya.
Saya mengendap-endap. Sampai pada turap agak tinggi, saya berdiri. Saya sudah menyiapkan pertanyaan jika Sarwan atau Bu Lia menanyakan posisi saya. Ya, apa lagi kalau bukan "sedang memeriksa dan memikirkan turap tinggi dan yang retak".
Di hamparan tanah terbuka sudah tidak ada siapa-siapa. Saya melirik arloji. Pkl. 11.55. Saya pun bergegas ke warung proyek sambil menunggu panggilan dari Sarwan atau Bu Lia jika memang ada panggilan.
***
Di teras kontrakan Bu Lia, Sarwan terduduk dengan menyandar penuh pada kursi plastik merah jambu. Bu Lia dan Pak Odang hanya menatap dinding depan yang kusam.
Di kantor pemasaran tadi Pak Demun tidak mau membayar invoice sisa pekerjaan turap. Pak Demun bersikukuh dengan menyalahkan Sarwan dan kawan-kawan yang membangun turap.
Selain turap, juga pekerjaan pasang batu untuk jalan, dan saluran drainase. Ada saja alasan Pak Demun, meski saya mulai mengetahui dan memahami bahwa Pak Demun selalu bertindak sepihak alias semau dirinya sendiri.
"Kok bisa, ya?" Saya bertanya sendiri pada jendela kaca bening.
"Memang begitu, Mas Oji," jawab Pak Odang. "Arti kata, bos tidak pernah salah."
Begitulah. Saya pun mulai menangkap situasi yang bertolak belakang dengan perkataan Sarwan ketika saya baru tiba di rumahnya. "Pak Demun berbeda dengan pengembang lainnya, Ji. Uangnya gampang ngucur. Kita tagih hari ini, besoknya sudah cair," katanya yang melekat di benak saya.