Sebenarnya saya paling anti-kepo alias anti terhadap upaya ingin mengetahui tentang seluk-beluk atau intrik-intrik keluarga orang lain. Apalagi, nih, ada gubernur yang pernah mempertanyakan wartawan, apa urusan Anda...
Ya, apa urusan saya. Bertemu saja belum setengah tahun. Kawan, bukan. Keluarga, apalagi. Tidak pernah pula mengusik atau mengganggu saya sekeluarga.
Akan tetapi, sejak mulai terlibat dalam pekerjaan selama dua bulanan sekaligus menyaksikan "keanehan" dalam pengelolaan proyek milik Pak Demun, entah mengapa, saya tiba-tiba berubah menjadi seorang paling kepo sedunia. Tentu saja perubahan sikap ini diam-diam justru memalukan saya sendiri.
***
Awalnya biasa saja, sih. Saya bekerja sebagai tenaga lapangan di sebuah kontraktor untuk proyek persiapan perumahan sederhana atau tipe 36. Dan pernah beberapa kali bertemu bahkan berbicara langsung dengan Pak Demun.
Awalnya, sih, biasa-lah. Komplain langsung dari bos-nya pengembang itu. Awalnya saya kaget juga, kok personal yang mengomplain saya justru langsung dari bos-nya; kok tidak ada tenaga lapangan yang bertanggung jawab dalam pekerjaan teknis; kok ada pengembang model begini di sekitar kota besar.
Ya, sudah-lah, saya terima saja, karena Sarwan tidak pernah memberi tahu saya sebelumnya. Sejak saya diajak Sarwan bergabung di perusahaan sekaligus pekerjaannya, sama sekali tidak ada pembicaraan mengenai prosedur dan koordinasi di lapangan antara pengembang dan pelaksana (kontraktor).
Selanjutnya berkaitan dengan usulan desain berikut anggarannya, karena saya juga biasa menjadi tenaga kantoran, semisal di konsultan perencana. Saya kaget lagi, karena biasanya desain dan anggaran sudah disodorkan oleh pengembang ke calon kontraktor.
Bertambah kagetnya saya adalah proses desain ulang sekaligus nilai pekerjaan itu didiskusikan oleh kontraktor (Sarwan atau Bu Lia) dan pengembang (Pak Demun). Dengan jemari gemetar bahkan dibantu oleh tangan kanan, Pak Demun membuat sketsa desain secara manual. Padahal, dari informasi Sarwan, anak dan menantu Pak Demun adalah insinyur Sipil, yakni Fredy dan Sarah, dan seorang lagi anaknya adalah arsitek, yakni Dessy.
Beberapa kali Bu Demun, Fredy, Sarah, Dessy, ataupun satu keluarga itu  mengiringi kehadiran Pak Demun di lokasi proyek. Kalau di luar forum, Fredy bercuap-cuap dengan lincah mengenai desain yang begini-begitu, tetapi di hadapan forum justru Fredy mendadak melempem seperti "kursi lapuk".
Dalam sebuah forum juga Dessy pernah berada dalam ruangan. Ketika obrolan menyangkut perihal desain ulang, Dessy menyodorkan sebuah desain yang diunduhnya dari internet. Sebagai sesama arsitek, saya heran, mengapa Dessy tidak mendesainnya sendiri, meskipun sumbernya dari internet.
Selain itu adalah orang-orang yang dipakai oleh Pak Demun di lapangan. Pak Semprul adalah pensiunan aparat, dan sama sekali buta pada urusan teknis. Menghitung kubikasi saja tidak mampu. Lalu Pak Robert yang Sarjana Ekonomi Prodi Ekonomi Manajemen dari sebuah universitas negeri, tetapi sibuk mengurusi perihal surat izin penggunaan lahan yang tidak juga rampung selama lebih setengah tahun, dan tidak mampu menarik peminat pada usaha perumahan sederhana itu.
Jadi, semua urusan pekerjaan teknis justru dilakukan oleh Pak Demun sendiri. Saya sangat heran, baru kali ini saya berhubungan atau bergaul dengan pekerjan pengembang yang ditangani sendiri oleh bos-nya.
***
Pergaulan dalam pekerjaan selama dua bulanan ini ternyata berdampak secara langsung terhadap sikap saya. Saya yang biasa tidak peduli pada urusan internal pengembang manapun, di sini justru saya berubah drastis. 180 derajat, tidak seperti sebelum-sebelumnya.
Di sini saya bisa lebih mengenal siap bos pengembang ini. Pak Demun berusia lebih delapan puluh tahun. Rambut beruban tetapi jumlahnya kian menipis. Kerutan dan bercak hitam sangat jelas dipamerkan oleh kulitnya.
Pak Demun berbicara agak gemetar, meskipun sedang marah akibat kecewa atau jengkel. Jalannya agak lamban, bahkan sebaiknya dibantu oleh tongkat. Pokoknya, gerak-geriknya sudah menunjukkan ciri seorang kakek, meski Sarwan pernah membuka aibnya berupa skandal perselingkuhan Pak Demun dengan karyawannya yang bernama Dewi, dan setelah rumah selingkuhan senilai lebih dari Rp1 miliar terbangun lantas Pak Demun ditinggalkan oleh Dewi.
Dari pergaulan selama dua bulanan di lokasi, baik ketika sedang berada di sudut lahan maupun di kantor pemasaran, saya justru berubah sikap, dari yang tegas alias berani ngegas sampai benar-benar tidak tega menghadapi komplain Pak Demun. Saya malah kasihan sekali.
Ya, saya pernah tegas alias ngegas ketika menghadapi komplain Pak Demun di bordes teras kantor pemasaran. Diam-diam Sarah menghubungi Bu Lia, bahkan Segon, untuk menyudahi pertengkaran aksara antara saya dan Pak Demun. Itu pun cuma satu kali, lalu saya berjanji untuk tidak pernah mengulanginya lagi, mengingat kerentaan Pak Demun dan pernah roboh hingga nyaris meninggal dunia di bawah pohon jati. Â Â
Bayangkan saja tentang seorang kakek lebih delapan puluh tahun dengan kondisi fisik semacam Pak Demun. Sudah begitu, masih saja Pak Demun berangkat ke lokasi proyek pada saat matahari tengah membara, mendatangi beberapa bagian lahan dengan mobil tetapi kemudian keluar untuk mendatangi bagian yang telah atau sedang dikerjakan oleh para pekerja, dan menangani persoalan sekaligus berdiskusi dengan Sarwan, Bu Lia, Pak Odang, dan saya.
Dan, ya, saya memang tidak mengulangi perbuatan saya (ngegas) pada pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan Pak Demun. Saya menjadi seorang "anak" yang penurut atau rekan kerja yang sepaham. Hal ini saya lakukan agar Pak Demun bisa mengelola kondisi fisik dan psikisnya.
Mengenai janji saya untuk tidak ngegas lagi pun pernah saya sampaikan di rumah Sarwan yang juga menjadi tempat tinggal sementara saya. Saya jera sendiri sebelum terjadi hal-hal buruk yang mendadak menerpa kerentaan Pak Demun.
"Kalau dalam kondisi kelelahan, lalu terjadi perdebatan sengit, hingga akhirnya Pak Demun meninggal di tempat, bagaimana, Wan? Aku bisa menyesal seumur hidup lho."
"Syukurlah kamu sudah sadar, Ji."
"Biar berengsek begini, aku tetap teringat pada mendiang bapakku, Wan. Umur terakhir bapakku delapan puluh enam. Sangat renta dan tidak berdaya hingga akhirnya takdir membawa bapakku pulang ke langit."
"Kalau Pak Demun mati mendadak gara-gara kamu ngegas seperti tempo hari, selesailah pekerjaan kita, dan hanguslah sisa tagihan kita, Ji. Utang kita ke suplayer belum lunas. Aspal sekian belas juta. Semen, pasir.... Kamu tanya saja pada Bu Lia."
"Waduh, sampai fatal begitu, ya? Padahal aku berpikir sebatas manusia dan kemanusiaan, Wan."
"Tua dan mati itu pasti, Ji. Tetapi..."
"Mengapa seakan dibiarkan oleh keluarganya untuk tetap bekerja sampai datang ke lokasi dalam rentang waktu dua-tiga kali dalam seminggu? Situasi alam yang sangat keras bisa berdampak buruk pada Pak Demun. Mengapa anak-anaknya tidak terlibat, bahkan malah sekadar pendamping atau penjaga bapak kandung mereka dari suatu situasi yang darurat begitu? Ada apa sebenarnya, selain alasan Pak Demun masih senang bekerja seperti ketika muda?"
Sarwan tidak menjawab, tetapi menyetujui pemikiran saya mengenai masa istirahat untuk Pak Demun. Sama halnya ketika keesokan sore di teras kontrakan Bu Lia, saya menanyakan perihal serupa pada nenek berusia enam puluhan itu. Hanya menyetujui pemikiran saya tanpa memuaskan apa yang lebih dari sekadar "setuju".
***
Ada apa dengan kehadiran dan kerja keras Pak Demun di lokasi sampai usianya kian renta itu? Lho, apa urusan saya? Bukankah sebaiknya saya berfokus pada pekerjaan saya sendiri?
Saya mencoba kembali berfokus pada pekerjaan atau tanggung jawab saya sendiri. Percuma menambah bahan pemikiran hingga kemudian mengaduk-aduk perasaan saya mengenai hal-hal yang sama sekali bukan urusan saya.
Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Musim kemarau berganti musim hujan. Gundukan tanah semakin tipis dan mencuatlah batu-batu. Daun-daun jati sudah semarak kembali.
Upaya tetap fokus itu berangsur luntur. Semakin saya berupaya keras, semakin keras pula upaya melunturkan fokus saya sendiri, apalagi beberapa kali ibu saya menelepon dan menanyakan kabar saya.
Saya memang gagal pada akhirnya. Perlahan-lahan saya menambahi pemikiran saya, dari suntuk dengan pekerjaan hingga mau repot memikirkan urusan orang lain yang sudah renta itu.
Sesuatu yang buruk melintas dalam benak saya, bahkan semakin mengental sebagai penghakiman atau kecurigaan. Ketidakpedulian anak-anak Pak Demun merupakan upaya membunuh bapak kandung mereka sendiri.
Ada perebutan warisan yang diam-diam sedang terjadi. Dengan beberapa properti perumahan sederhana selama lebih lima tahun, tentu saja simpanan uangnya Pak Demun semakin munjung. Bukankah uang tidak memiliki agama, suku, ras, etnis, golongan atau kelompok, sanak-saudara, orangtua, dan seterusnya?
Apakah kekayaan duniawi lantasi mewujudkan keaslian karakter manusia alias anak-anaknya Pak Demun? Setega itukah menghina nilai kemanusiaan dengan takaran harta duniawi?
Oh!
Saya tergidik. Saya kembali teringat pada bapak saya. Dalam usia yang matang ini saya pernah menangis meraung-raung karena meninggalnya bapak saya, karena saya telah menjadi perantau abadi alias tidak akan pernah menetap di dekat rumah orang tua saya.
Oleh sebab itulah, saya menambahi pikiran saya dengan urusan orang lain. Saya khawatir bahwa pembiaran terhadap kerja keras Pak Demun sampai tertatih-tatih melangkah di lokasi proyek seluas lebih dua belas hektare ini merupakan upaya pembunuhan berencana dalam rangka perebutan dan persengketaan warisan.
Saya harus mencegah upaya kejahatan itu. Paling tidak, kalau gagal mencegah, dalam pengadilan kelak saya akan berdiri tegak sebagai saksi yang paling bisa dipercaya karena saya mengungkapkan kebenaran yang sahih.
Tidak cukup sekadar penambahan bahan pemikiran dengan rencana yang heroik, melainkan pula perubahan hal fisik. Bukankah apa yang tersimpan dalan pikiran ataupun hati pasti akan terungkap melalui suatu sikap?
***
Akhir-akhir ini saya malah sering tidur di sebuah kontrakan yang berada di sekitar lokasi proyek. Kontrakan langganan, karena sering dipakai oleh rekan saya, terutama operator excavator bernama Handoko.
Sarwan senang sekali. Setiap unggahan saya di media sosial mengenai geliat lingkungan proyek pada waktu pagi atau menjelang malam, selalu diberi jempol oleh Sarwan dan rekan lainnya.
"Semangat sekali!" Begitu komentar yang sering dituliskan Sarwan di status media sosial saya.
"Semangat empat lima, Mas Oji," kata Bu Lia pada setiap saya pamit dari kontrakannya.
"Kalau nanti kita diberi kesempatan membangun seratus unit rumah, pasti karena andilnya Pak Oji yang rajin begini," timpal komentar Pak Odang.
Memang, sih, dengan tidur di dekat lokasi, saya bisa bangun dan berangkat lebih pagi. Di kontrakan itu tidak ada televisi. Tidak seorang pun mau datang untuk mengajak ngobrol sampai subuh sambil menyeruput kopi karena tidak ada kompor, alat pendidih air elektrik, bahkan satu-dua gelas.
Tidur lebih cepat, bangun lebih cepat, dan berangkat lebih cepat. Di samping itu, tentu saja, sarapan lebih cepat, apalagi hanya bubur ayam. Tidak repot dikunyah.
Setiap hendak berangkat, saya bisa menikmati sedapnya bubur ayam di warung Bi Imah yang berseberangan langsung dengan jalan masuk ke lokasi proyek. Harganya pun sangat murah. Rp6.000,00 per mangkuk. Di desa tetangga, bisa Rp9.000,00 per mangkuk, bahkan di dekat rumah kami di seberang harganya mencapai Rp13.000,00.
Lebih lagi adalah posisi warung yang langsung berhadapan dengan jalan masuk ke lokasi. Dari situ saya bisa dengan mudah mengamati situasi terhangat di kawasan yang baru di buka itu. Masuk-keluar apa dan siapa ke lokasi, khususnya ke kantor pemasaran, tidak luput dari pengamatan pagi saya.
Selain warung bubur ayam di depan lokasi, juga warung makan di tengah lokasi alias warung proyek. Tempat satu ini menjadi muara informasi mengenai kedatangan Pak Demun, karena dari situ siapa pun mudah melihat situasi di depan kantor pemasaran.
Sarwan, Bu Lia, dan Pak Odang pasti tidak mengetahui gelagat atau motif saya beberapa hari terakhir ini. Handoko juga, apalagi saya tidak membawa apa pun yang layak dianggap sebagai inspirasi, semisal buku "Detektif Melayu"-nya SGA. Â
Setiap Pak Demun datang ke lokasi, saya selalu mencari tahu tentang siapa saja yang diajaknya. Kalau istrinya diajak, saya tidak perlu curiga. Saya percaya bahwa istrinya yang juga renta itu mustahil tega berbuat tidak benar terhadap suaminya alias Pak Demun.
"Akhir-akhir Bapak kok selalu mengamati kantor pemasaran?"
"Cuma kebetulan saja, Bang Kumis. Kebetulan nongkrong di warung dan bisa melihat kantor pemasaran."
"Naksir Zaenab, ya?" Mbak Yatmi ikut bicara.
"Bisa jadi masalah besar, Mbak."
Pada kesempatan lain, kalau seorang menanyakan perihal keingintahuan saya, alasan saya hanya satu dan logis, yaitu berjaga-jaga kalau ada apa-apa terjadi pada Pak Demun.
"Kakek delapan puluh tahun, ngomong saja sudah lamban dan gemetaran, bagaimana kalau tiba-tiba ambruk di lokasi?"
"Iya juga, ya? Siapa yang bisa langsung menolongnya kalau datang hanya dengan sopirnya, ya?"
"Nah itu! Masih ingat peristiwa robohnya di bawah pohon jati itu, 'kan?"
***
Pkl. 07.30-an saya sudah berada di Blok F untuk mendampingi tukang mengerjakan bouwplank saluran drainase. Kalau urusan memasang bouwplank segera beres, tukang bisa lebih cepat menunaikan tugas, dan saya bisa melakukan pekerjaan lainnya. Akan tetapi, saya tidak bisa berkonsentrasi, karena secara mendadak perut saya mulas.
Mungkin gara-gara perut belum siap dengan kepedasan bubur ayam tadi, pikir saya. Â
Dengan berdebar-debar dan kebelet yang mendesak-desak, saya pun menghitung waktu antara jarak dan kebelet berak. Kalau berjalan kaki menuju kontrakan atau kantor pemasaran untuk menumpang "buang hajat besar", bisa telanjur berceceran di lokasi. Â Tentu saja sangat memalukan, dan terkenang sepanjang sisa usia saya kelak.
"Oji, baru pertama kerja ikut aku, sudah menceret-menceret di lokasi!" Mungkin kabar semacam itu bakal dilontarkan Sarwan, lalu menjadi obrolan penuh olokan dalam lingkungan pergaulan atau reuni sekolah kami.
Saya melangkah agak cepat ke sebuah blok yang masih menampilkan gundukan tanah berbatu dari proses cut and fill yang belum masuk tahap pekerjaan pembersihan lokasi. Saya ingat bahwa di sekitar tempat itu terdapat genangan air hujan yang tidak kunjung mengering karena karakter tanahnya yang sulit meresapkan air.
Sebelum sampai ke sebuah tempat yang memungkin untuk buang hajat besar, saya melihat sebuah mobil hitam di antara gundukan tanah berbatu yang mendekati Blok H1 yang sepi. Saya melambatkan langkah lalu agak berjongkok untuk melihatnya.
Mobilnya Pak Demun! Saya pun berhenti, dan seketika mulas lenyap dari perut.
Semula saya anggap biasa, meski muncul keingintahuan saya. Ya, Pak Demun, 'kan, biasa memasuki lokasi dengan mobilnya sampai ke setiap blok? Toh, lokasi untuk perumahan ini adalah kepunyaannya?
Sambil berjongkok, pandangan saya beralih sebentar ke tanah. Saya mencari lalu mendapatkan sebutir batu seukuran telur puyuh. Saya segera mengantonginya di saku celana dengan menyugestikan diri bahwa sebutir kerikil bisa menangkal serbuan mulas yang sekonyong-konyong datang. Â
Masih dengan berjongkok, saya menengok arloji di tangan kiri saya. Pkl. 07.45. Saya menaikkan diri dengan setengah berjongkok untuk menengok situasi di sekitar mobil itu.
Di sana tidak ada siapa-siapa. Biasanya, Pak Demun datang dengan satu-dua orang dalam satu mobil. Biasanya juga Pak Semprul berada di dekatnya, karena pensiunan aparat itu suka mencari muka (entah di mana mukanya hilang).
Saya celingak-celinguk sambil berpikir sal keberadaan mobil itu. Lalu kembali menengok arloji. Sebentar berpura-pura membuka tas kecil, mengambil buku kecil, dan menulis sesuatu.
Kok saya jadi pengecut begini, ya, pikir saya.
Serta-merta saya bangkit lalu beranjak untuk mendatangi mobil Pak Demun. Saya bukanlah seorang pengecut yang suka mengintip-intip. Kalau nanti kehadiran saya dimarahi Pak Demun, saya siap saja. Akan tetapi, apa salah saya, karena saya bisa saja berkilah dengan alasan pekerjaan.
Dengan langkah biasa saya menuju mobil Pak Demun. Pandangan dan pendengaran saya tajamkan untuk menanggapi suatu situasi. Saya tidak berani menajamkan penciuman, karena dari tadi aroma kotoran rang selalu mengusik saya.
Saya juga menyiapkan diri jika di suatu bagian ada pekerjaan saya yang tidak sesuai dengan kemauan Pak Demun. Saya wajib bertanggung jawab pada profesi dan posisi saya.
Pada jarak tiga meter dari mobil, saya berhenti. Saya celingak-celinguk lagi untuk mencari di mana Pak Demun beserta siapa saja dengannya. Hanya kesendirian saya dan mobil hitam yang beku saja yang saya temukan.
Di manakah Pak Demun dan orang-orangnya?
Saya masih penasaran. Saya berjalan ke sekitar tempat itu sambil tetap menajamkan penglihatan dan pendengaran. Suara mesin excavator dari perusahaan penambang batu, helikopter, burung sriti, dan lain-lain yang tertangkap. Tidak ada suara siapa pun yang membicarakan perihal pekerjaan di lokasi.
Saya sudah melangkah ke setiap sudut yang memungkinkan untuk bisa menemukan Pak Demun dan siapa saja di dekatnya. Beberapa kali pun saya menengok arloji. Akan tetapi, hasilnya tetap nihil selama lebih satu jam mencari.
Kepenasaran saya akhirnya tertuju pada mobil itu. Dari datang hingga mengitari tempat itu, saya tidak mendengar adanya suara dalam mobil. Tadi, sekilas-dua kilas pandang pun, tidak lantas menyeret mata saya untuk melihat lebih rinci, apalagi patut dicurigai.
Kali ini tidak. Perhatian saya berakhir pada mobil yang seperti seonggok besi bercat hitam itu. Saya bergerak ke kiri-kanan untuk menemukan sekilas bayangan orang. Saya segera menyiapkan jawaban apabila saya dipergoki selah hendak berbuat jahat.
Ya, ada orang di dalamnya, pikir saya ketika menemukan sesosok bayangan di bagian tengah.
Dengan tenang dan agak tersenyum saya mendatangi mobil itu. Dalam jarak empat-lima meter pandangan saya semakin jelas terhadap sosok itu. Mau-tidak mau, senyuman semakin saya mekarkan.
Hanya dalam jarak satu meter dan dengan memainkan kepala, barulah saya bisa melihat sebagian ssok dengan agak jelas di situ. Meski berkaca gelap, tetap ada bagian yang masih bisa terlihat. Akan tetapi, sosok yang terlihat tidaklah bergerak, bahkan saya tidak menangkap adanya suara atau apalah.
Saya nekat mendekati jendela kacanya di bagian tengah. Saya tidak peduli pada batasan sopan-santun atau tata krama pergaulan, kecuali muncul debaran yang mendadak.
Lalu saya mengintip dengan membuat bayangan dari tangan kanan pada permukaan kaca itu. Dan, alangkah terkejutnya saya.
Pak Demun berada dalam mobilnya. Kepalanya dalam posisi mendongak di sandaran  jok. Mulutnya menganga.  Matanya melotot. Tidak ada gerakan sama sekali.
Saya berpindah posisi. Ke depan atau bagian sopir. Selanjutnya ke bagian belakang. Tidak ada siapa-siapa selain Pak Demun dengan posisinya semula.
Saya kembali ke kaca bagian tengah, di mana posisi Pak Demun yang tadi saya lihat. Saya agak menunduk untuk melihat situasi di dalamnya secara lebih rinci. Â
Posisi Pak Demun tidak berubah, bahkan kaku. Dada saya bergemuruh dengan kencang.
Jangan-jangan...
Kepenasaran saya mencapai puncak ketika di bagian bawah Pak Demun tampak telanjang bulat. Pak Demun tidak mengenakan celana!
Gawat, celaka ini, pikir saya.
Ya, Pak Demun meninggal dunia dalam mobilnya sendiri. Jangan-jangan nanti malah saya yang dituduh telah membunuhnya. Jangan-jangan nanti saya akan kerepotan berurusan dengan hukum, meski baru sebatas saksi. Apalagi, saya sedang "perang dingin" dengan Pak Semprul.
Seketika tergambar wajah istri saya, keluarga, dan keluarga besar. Seketika saya merasa diri saya menjelma serang pembunuh. Oh, sungguh mengerikan kenyataan hidup saya ini.
Saya segera menjauhi mobil Pak Demun, tetapi kemudian saya kebingungan. Saya tidak tahu, sebaiknya saya pergi ke mana agar benar-benar aman, dan tidak masuk dalam daftar orang yang wajib dicurigai. Jejak sepatu saya pun jelas, dan baru, pasti mudah ketahuan.
Saya pun berkali-kali menyalahkan diri saya, mengapa berubah menjadi kepo yang akhirnya berisiko fatal begini. Aduhai nian!
*******
Ruang Lebur, Cibubur, Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H