Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sebuah Upaya Membunuh Bapak Kandung

12 Desember 2019   23:40 Diperbarui: 12 Desember 2019   23:44 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pkl. 07.30-an saya sudah berada di Blok F untuk mendampingi tukang mengerjakan bouwplank saluran drainase. Kalau urusan memasang bouwplank segera beres, tukang bisa lebih cepat menunaikan tugas, dan saya bisa melakukan pekerjaan lainnya. Akan tetapi, saya tidak bisa berkonsentrasi, karena secara mendadak perut saya mulas.

Mungkin gara-gara perut belum siap dengan kepedasan bubur ayam tadi, pikir saya.  

Dengan berdebar-debar dan kebelet yang mendesak-desak, saya pun menghitung waktu antara jarak dan kebelet berak. Kalau berjalan kaki menuju kontrakan atau kantor pemasaran untuk menumpang "buang hajat besar", bisa telanjur berceceran di lokasi.  Tentu saja sangat memalukan, dan terkenang sepanjang sisa usia saya kelak.

"Oji, baru pertama kerja ikut aku, sudah menceret-menceret di lokasi!" Mungkin kabar semacam itu bakal dilontarkan Sarwan, lalu menjadi obrolan penuh olokan dalam lingkungan pergaulan atau reuni sekolah kami.

Saya melangkah agak cepat ke sebuah blok yang masih menampilkan gundukan tanah berbatu dari proses cut and fill yang belum masuk tahap pekerjaan pembersihan lokasi. Saya ingat bahwa di sekitar tempat itu terdapat genangan air hujan yang tidak kunjung mengering karena karakter tanahnya yang sulit meresapkan air.

Sebelum sampai ke sebuah tempat yang memungkin untuk buang hajat besar, saya melihat sebuah mobil hitam di antara gundukan tanah berbatu yang mendekati Blok H1 yang sepi. Saya melambatkan langkah lalu agak berjongkok untuk melihatnya.

Mobilnya Pak Demun! Saya pun berhenti, dan seketika mulas lenyap dari perut.

Semula saya anggap biasa, meski muncul keingintahuan saya. Ya, Pak Demun, 'kan, biasa memasuki lokasi dengan mobilnya sampai ke setiap blok? Toh, lokasi untuk perumahan ini adalah kepunyaannya?

Sambil berjongkok, pandangan saya beralih sebentar ke tanah. Saya mencari lalu mendapatkan sebutir batu seukuran telur puyuh. Saya segera mengantonginya di saku celana dengan menyugestikan diri bahwa sebutir kerikil bisa menangkal serbuan mulas yang sekonyong-konyong datang.  

Masih dengan berjongkok, saya menengok arloji di tangan kiri saya. Pkl. 07.45. Saya menaikkan diri dengan setengah berjongkok untuk menengok situasi di sekitar mobil itu.

Di sana tidak ada siapa-siapa. Biasanya, Pak Demun datang dengan satu-dua orang dalam satu mobil. Biasanya juga Pak Semprul berada di dekatnya, karena pensiunan aparat itu suka mencari muka (entah di mana mukanya hilang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun