Sarwan, Bu Lia, dan Pak Odang pasti tidak mengetahui gelagat atau motif saya beberapa hari terakhir ini. Handoko juga, apalagi saya tidak membawa apa pun yang layak dianggap sebagai inspirasi, semisal buku "Detektif Melayu"-nya SGA. Â
Setiap Pak Demun datang ke lokasi, saya selalu mencari tahu tentang siapa saja yang diajaknya. Kalau istrinya diajak, saya tidak perlu curiga. Saya percaya bahwa istrinya yang juga renta itu mustahil tega berbuat tidak benar terhadap suaminya alias Pak Demun.
"Akhir-akhir Bapak kok selalu mengamati kantor pemasaran?"
"Cuma kebetulan saja, Bang Kumis. Kebetulan nongkrong di warung dan bisa melihat kantor pemasaran."
"Naksir Zaenab, ya?" Mbak Yatmi ikut bicara.
"Bisa jadi masalah besar, Mbak."
Pada kesempatan lain, kalau seorang menanyakan perihal keingintahuan saya, alasan saya hanya satu dan logis, yaitu berjaga-jaga kalau ada apa-apa terjadi pada Pak Demun.
"Kakek delapan puluh tahun, ngomong saja sudah lamban dan gemetaran, bagaimana kalau tiba-tiba ambruk di lokasi?"
"Iya juga, ya? Siapa yang bisa langsung menolongnya kalau datang hanya dengan sopirnya, ya?"
"Nah itu! Masih ingat peristiwa robohnya di bawah pohon jati itu, 'kan?"
***