Selain itu adalah orang-orang yang dipakai oleh Pak Demun di lapangan. Pak Semprul adalah pensiunan aparat, dan sama sekali buta pada urusan teknis. Menghitung kubikasi saja tidak mampu. Lalu Pak Robert yang Sarjana Ekonomi Prodi Ekonomi Manajemen dari sebuah universitas negeri, tetapi sibuk mengurusi perihal surat izin penggunaan lahan yang tidak juga rampung selama lebih setengah tahun, dan tidak mampu menarik peminat pada usaha perumahan sederhana itu.
Jadi, semua urusan pekerjaan teknis justru dilakukan oleh Pak Demun sendiri. Saya sangat heran, baru kali ini saya berhubungan atau bergaul dengan pekerjan pengembang yang ditangani sendiri oleh bos-nya.
***
Pergaulan dalam pekerjaan selama dua bulanan ini ternyata berdampak secara langsung terhadap sikap saya. Saya yang biasa tidak peduli pada urusan internal pengembang manapun, di sini justru saya berubah drastis. 180 derajat, tidak seperti sebelum-sebelumnya.
Di sini saya bisa lebih mengenal siap bos pengembang ini. Pak Demun berusia lebih delapan puluh tahun. Rambut beruban tetapi jumlahnya kian menipis. Kerutan dan bercak hitam sangat jelas dipamerkan oleh kulitnya.
Pak Demun berbicara agak gemetar, meskipun sedang marah akibat kecewa atau jengkel. Jalannya agak lamban, bahkan sebaiknya dibantu oleh tongkat. Pokoknya, gerak-geriknya sudah menunjukkan ciri seorang kakek, meski Sarwan pernah membuka aibnya berupa skandal perselingkuhan Pak Demun dengan karyawannya yang bernama Dewi, dan setelah rumah selingkuhan senilai lebih dari Rp1 miliar terbangun lantas Pak Demun ditinggalkan oleh Dewi.
Dari pergaulan selama dua bulanan di lokasi, baik ketika sedang berada di sudut lahan maupun di kantor pemasaran, saya justru berubah sikap, dari yang tegas alias berani ngegas sampai benar-benar tidak tega menghadapi komplain Pak Demun. Saya malah kasihan sekali.
Ya, saya pernah tegas alias ngegas ketika menghadapi komplain Pak Demun di bordes teras kantor pemasaran. Diam-diam Sarah menghubungi Bu Lia, bahkan Segon, untuk menyudahi pertengkaran aksara antara saya dan Pak Demun. Itu pun cuma satu kali, lalu saya berjanji untuk tidak pernah mengulanginya lagi, mengingat kerentaan Pak Demun dan pernah roboh hingga nyaris meninggal dunia di bawah pohon jati. Â Â
Bayangkan saja tentang seorang kakek lebih delapan puluh tahun dengan kondisi fisik semacam Pak Demun. Sudah begitu, masih saja Pak Demun berangkat ke lokasi proyek pada saat matahari tengah membara, mendatangi beberapa bagian lahan dengan mobil tetapi kemudian keluar untuk mendatangi bagian yang telah atau sedang dikerjakan oleh para pekerja, dan menangani persoalan sekaligus berdiskusi dengan Sarwan, Bu Lia, Pak Odang, dan saya.
Dan, ya, saya memang tidak mengulangi perbuatan saya (ngegas) pada pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan Pak Demun. Saya menjadi seorang "anak" yang penurut atau rekan kerja yang sepaham. Hal ini saya lakukan agar Pak Demun bisa mengelola kondisi fisik dan psikisnya.
Mengenai janji saya untuk tidak ngegas lagi pun pernah saya sampaikan di rumah Sarwan yang juga menjadi tempat tinggal sementara saya. Saya jera sendiri sebelum terjadi hal-hal buruk yang mendadak menerpa kerentaan Pak Demun.