Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Cengeng Kalau Jadi Buddhis

15 Juli 2023   05:55 Diperbarui: 15 Juli 2023   05:56 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jangan Cengeng Kalau Jadi Buddhis (gambar: telegraph.co.uk. diolah pribadi)

Pacarku sedang galau. Sudah seminggu ini dia uring-uringan melulu. Aku sudah berusaha mencaritahu mengapa dia jadi mudah marah akhir-akhir ini, padahal aslinya gadis yang ceria dan mudah tertawa (dan itu yang bikin aku jatuh cinta kepadanya, selain tentu saja karena dia baik hati, rajin menabung dan mempesonaa...eh!). Mulai dari model pertanyaan basa-basi, bumbu humor, pertanyaan dan desakan serius ingin tahu, hingga pertanyaan tanpa kata-kata, semua mental saudara-saudara! Si cantik tetap tak mau bercerita apa yang menjadi gangguan di hatinya.

Habis akal, aku putuskan untuk membeli lagi persediaan akal di minimarket dekat rumah. Eh, salah... maksudku, aku mau beli kopi dan camilan secukupnya. Siapa tahu, setelah menyeruput kopi, ada akal yang tiba-tiba nyelonong di benakku. Tapi ternyata tetap buntu. Kopi habis, camilan tandas, akal pun tak datang. Yah, apa boleh buat. Apa yang harus dilakukan sudah kulakukan. Sekarang waktunya menikmati waktuku sendiri. Akan kulihat sampai kapan dia tahan tak curhat apa yang menjadi masalahnya.

Setelah seminggu lagi, akhirnya..... Dia kirim chat ke ponselku:

Si cantik: Yang...

Aku: (kirim sticker senyum lebaaar)

Si cantik: Kita pergi ke rumah Bibimu, yuk?

Aku: Bibi yang mana, cantik? Aku punya banyak bibi dan paman.

Si cantik: Itu, Bibimu yang bisa melihat makhluk halus...

Aku: Oo...Bibi Lin? Ayoo....

Aku: Masih galau, ya?

Si cantik: Hehe....besok gimana?

Aku: Siap, Nona. Kujemput pagi-pagi, ya. Kan jauh.

Bibi Lin tinggal di pinggiran kota, di daerah yang masih bersuasana pedesaan nan asri. Dia adik perempuan Ibuku, tak pernah menikah. Konon, kebanyakan orang-orang indigo memang begitu. Dia tinggal di sebuah rumah mungil yang indah, dengan taman depan yang rapi dan cantik serta kebun belakang penuh pohon buah. Ada seorang asisten rumah tangga ikut tinggal bersamanya, serta seekor anjing beagle super pecicilan bernama Pablo. Kemampuannya sebagai cenayang adalah bakat alami sejak lahir. Bibi Lin memanfaatkan kelebihan itu untuk misi sosial, membantu mengatasi masalah-masalah yang terutama berkenaan dengan jiwa dan kadang-kadang raga. Untuk penghidupan sehari-hari, Bibi Lin mendapatkan hasil investasi warisan dari ortunya. Maklum, kakek nenekku dari pihak ibu memang orang tajir melintir jaman dulu, sehingga anak-anaknya sebenarnya bisa hidup layak semata mengandalkan warisan yang mereka terima. 

Sepanjang perjalanan, si cantik diam saja. Dipancing-pancing ngobrol tak digubriskannya, paling mentok dijawab pendek-pendek. Tak apalah, kumaklumi. Yang penting helm terpasang dengan baik dan kedua lengannya terus melingkar erat di pinggangku. Bukan apa-apa, bukan soal mesra-mesraan. Ini soal safety first. Paham, ya? Awas kalau nuduh yang enggak-enggak...!

Kami tiba di rumah Bibi Lin saat hampir jam makan siang. Aku tahu itu tanpa perlu menegok jam di ponsel atau pergelangan tanganku, karena perutku yang mulai konser keroncongan telah lama memberitahu bahwa waktu makan siang sudah tiba.

Saat memasuki gerbang rumah dan selesai memarkir motorku, sambil menggandeng tangan si cantik, kulihat Bibi Lin sudah menunggu di teras ditemani Pablo yang mengibas-kibaskan ekor dengan heboh. "Halooo....keponakanku yang paling ganteng! Tumben dikau ingat sama Bibimu ini, ya?" seru Bibi Lin dengan nada ramah dan senyum paling lebar.

Aku tertawa riang. Kulepas tanganku dari tangan si cantik, lalu berjalan agak cepat sambil membentangkan kedua lengan seperti elang yang sedang mengangkasa, siap memeluk Bibiku.

"Apa kabar, Bibi? Bibi terlihat awet muda dan masih cantik," kataku sambil memeluknya. Tubuhnya ramping dan harum bunga melati.

Bibi Lin tertawa geli. "Kamu memang sudah pandai memuji orang sejak masih kecil. Tak berubah." Dia lalu menoleh ke si cantik.

"Halo Mallika!" sapanya.

"Halo Bibi Lin," balas si cantik sambil giliran memeluk Bibi dan mengecup pipinya.

"Kamu kelihatan agak kurang hepi, ya? Banyak pikiran?"

"He, eh....," Mallika malu-malu mengaku.

"Ahh..., tidak masalah. Itu bisa dibereskan nanti sambilan kita makan siang. Yuk..., itu si keponakanku dari tadi sudah keroncongan perutnya," kata Bibi Lin sambil menggandeng tangan Mallika, mengajaknya ke ruang makan. Pablo sudah duluan ke ruang makan, karena begitu dia dengar kata "makan", dia langsung paham bahwa itu artinya sesuatu yang luar biasa menyenangkan. Maklum, anjing gembul. Aku mengikuti dari belakang dengan semangat yang tiba-tiba berkobar. Memang begitulah aturan dunia, orang lapar pasti akan mendadak bersemangat ketika menerima tawaran makan siang gratis.

Ruang makan di rumah Bibi Lin berjendela besar. Cahaya matahari dan pemandangan kebun belakang masuk dengan leluasa ke dalamnya. Bersih, terang, dan sejuk karena udara dalam dan luar bertukaran dengan lancar. Kami menikmati hidangan sederhana yang didominasi sayuran. Ada jukut ares, jukut urap, tempe goreng dan sambal matah serta beberapa tusuk sate lilit.

"Bibi, sate lilitnya terbuat dari daging apa?" tanyaku dengan penuh minat.

"Ikan tenggiri."

"Ikan tenggiri? Berarti ada juga ikan tenggara, ya?" balasku, mencoba melucu.

"Nggak lucu," si cantik menyambar sambil cemberut. Bibi tertawa melihatnya.

"Cieee....yang lagi bad mood," ledekku sambil menjulurkan lidah ke arahnya.

Dia langsung menatap tajam dengan pandangan yang mengisyaratkan "awas, jangan berani-beraninya mulai". Aku cepat-cepat menciduk beberapa bongkah nasi, mengambil porsi jukut ares dan urap, dua tusuk sate lilit, tiga potong tempe goreng dan sambal matah secukupnya. Bibi Lin sibuk mengambilkan nasi dan lauk untuk Pablo. Setelah semuanya beres, kami mulai makan sambil membicarakan si Pablo. Tentang tingkah laku pecicilannya, tentang makanan yang dia gemari juga.

"Pablo lahap sekali makannya. Dia doyan makanan kita ya, Bi?"  tanya si cantik, heran meihat Pablo makan dengan lahap sekali di piringnya. Dia kira semua anjing seharusnya hanya doyan dogfood.

"Pablo malah tidak doyan dogfood, yang kering atau basah," kata Bibi. "Dia selalu ingin makan apa saja yang kita manusia suka. Dia bahkan suka duren juga."

Waw....si cantik tambah kagum.

"Bisa jadi di kehidupan sebelum ini si Pablo adalah manusia seperti kita?" tebakku, asal bunyi saja, biar tidak disangka patung orang sedang makan.

Bibi menoleh kepadaku, wajahnya terlihat agak serius.

"Bukan 'bisa jadi' lagi. Memang begitulah adanya. Persis satu kehidupan sebelum ini si Pablo adalah manusia seperti kita. Dia murah hati namun moralitasnya kurang beres, makanya jatuh ke alam hewan. Tapi karena dermawan, dia jadi anjing yang disayangi dan mendapatkan kehidupan yang sejahtera seperti sekarang, Dan karena masih baru selang satu kehidupan makanya kecenderungannya waktu sebagai mansuia masih terbawa segar dalam kehidupan yang sekarang, dan itulah kenapa dia doyan makanan manusia."

"Jangan-jangan Bibi tahu juga Pablo dulunya lahir sebagai manusia di negara mana?"

Bibi Lin tersenyum. "Bibi tahu, tapi agak samar-samar."

"Di negara mana, Bi?" Mallika jadi ikutan tertarik ingin tahu, padahal di meja ada tempe (eh, nggak nyambung ya?).

"Coba tebak, Nona," goda Bibi.

"Negara kita?"

"Salah."

"Spanyol?"

"Pintar. Dari mana kamu bisa menebak Spanyol?"

"Dari nama dia: Pablo. Orang seperti Bibi Lin pasti tidak akan sembarangan memberi nama."

Bibi Lin tertawa sambil bertepuk tangan. "Blo," dia menoleh kepadaku, "Pacarmu ini cerdas. Kalau kalian nanti akhirnya menikah dan punya anak, Bibi pastikan anak-anak kalian juga cerdas-cerdas."

Aku dan Mallika saling pandang sambil tertawa berderai. Akhirnya, setelah sekian hari, Mallika mulai pulih keceriaannya.

"Tapi setahu saya orang Spanyol mustahil suka sate lilit, jukut ares, jukut urap. Itu semua kan makanannya orang Bali," protesku kepada Bibi.

"Blo, walaupun dia orang Spanyol, bukan berarti seumur-umur hanya tinggal di Spanyol. Kebangsaan dan rasnya boleh bule, tapi ada kemungkinan dia sudah pindah dan lama menetap di sini. Bukankah Bali ini pulau yang digandrungi orang sejagat sebagai tempat tinggal?"

"O iya, ya, ya...Benar. Bisa jadi skenarionya begini: Pablo dulunya bule Spanyol pelancong yang travelling healing-healing ke Bali, lantas menetap di sini, mungkin karena jatuh cinta pada gadis Bali. Dan karena si istri selalu memasakkan kuliner Bali, lama-lama dia jadi doyan. Setelan lidahnya sudah berpindah ke citarasa kuliner Bali sebelum akhirnya meninggal dan kini terlahir sebagai anjing."

Bibi Lin mengangguk sambil memberi jempol ke arahku.

"Blo, Lika, kita semua ini sudah tak terhitung kali lahir-mati di lingkaran Samsara ini. Tak dapat diketahui awalnya, dan mungkin saja tidak ada akhirnya jika kita tidak sadar-sadar juga untuk mulai mencari jalan keluar sejati. Kita sudah pernah menjadi apa pun di 26 alam dalam Samsara ini. Pernah jadi brahma, dewa, yakkha, peta, asura, makhluk neraka, manusia, hewan....Pernah jadi raja, ratu, sultan tajir melintir, rakyat biasa, orang baik, orang jahat...."

"26 alam, Bi, bukan 31?" tanya Mallika.

"Bukan, sayang. Ada 5 alam mustahil pernah kita masuki."

"Kok?"

"Ya, 5 alam itu khusus untuk para anagami, yang sekali masuk ke sana tidak akan pernah keluar lagi kecuali telah meraih Nibbana akhir. Kenyataan kita masih ada di sini berarti kita tidak pernah ke sana, karena kalau pernah artinya kita sudah mencapai Nibbana dan tidak akan ada di sini."

"Tapi, Bibi Lin, sebenarnya apa manfaat dan tujuan dari pengajaran yang memberitahukan kita hal-hal beginian?"

"Beginian yang bagaimana, Blo?" Bibi Lin meminta aku memerinci maksud pertanyaanku.

"Yaa....tentang kita semua sudah pernah tak terhitung lahir-ulang di 31 alam"

"26," koreksi si cantik.

"Oh iya, maaf. Tentang kita sudah pernah lahir-ulang di 26 alam. Jadi ini itu, jadi brahma, dewa, yakkha, peta, asura, manusia, binatang makhluk neraka. Jadi raja, rakyat, penjahat, orang baik, dan seterusnya itu. Buat apa tahu hal-hal begituan? Lagipula, tidak ada bukti ilmiah yang bisa menyokong kebenaran keyakinan ini. Kita hanya sebatas meyakini saja tanpa ada suatu bukti ilmiah bahwa alam-alam itu ada, kecuali tentu saja alam binatang yang memang terlihat jelas bagi kita."

Bibi Lin tersenyum senang, piringnya sudah tandas dan dia mulai meneguk teh yang tersaji di depannya. Teh yang namanya bisa dibikin jadi teka-teki lucu-lucuan: teh apa yang bisa melolong?

"Bibi senang kamu kritis, Blo. Itu pertanyaan yang bagus sekali. Tidak rugi Ayah dan Ibumu mengorbankan banyak duit buat menyekolahkanmu."

Aku mesem-mesem mendengar pujian itu.

"Blo, Lika, sampai sejauh ini memang belum ada bukti-bukti ilmiah yang bisa menunjukkan dengan nyata bahwa alam brahma, dewa, yakkha dan semacamnya itu ada. Bahwa kelahiran ulang itu nyata. Belum...., bukti sahih belum, namun bukti-bukti yang menyokong ke arah itu sudah ada. Tapi baiklah, kita kesampingkan dulu hal tersebut. Kita fokus saja pada apa manfaaat yang kita peroleh dengan meyakini ajaran tentang lahir-ulang di siklus Samsara ini, bahwa kita sudah pernah mencicipi kejayaan paling top markotop dan kejatuhan paling tragis?"

Bibi Lin terdiam sejenak, seperti menimbang sesuatu. Wajahnya yang mengingatkan pada aktris Michelle Yeoh tampak tambah serius. Aku dan si cantik menunggu dengan penuh minat, tak terasa badan kami agak mencodong ke depan saking semangatnya.

"Ialah ini: ajaran ini memberi pesan kepada kita agar jangan mabuk akan kejayaan apa pun yang telah kita raih dalam hidup ini, juga jangan terobsesi buta pada pengejarannya. Untuk derita, pesannya adalah jangan larut dan terus berkumbang dalam derita yang kita alami, juga untuk tetap optimis bahwa apa pun keburukan yang telah kita lakukan bukanlah harga mati: kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki diri selama ada kesadaran dan kemauan, karena ini bukan hidup yang kali pertama dan bukan yang terakhir kecuali kita sudah meraih tataran Arahat."

Lalu Bibi Lin menatap Mallika, menjulurkan tangan untuk mengenggam tangannya sembari dengan lembut berkata, "Lika, yang sedang mengganggu pikiranmu itu tidak kekal dan harus kamu alami sebagai konsekuensi masih berada di Samsara ini, sebagai buah dari karma burukmu yang pas kondisinya untuk matang. Kita tidak bisa berharap semua orang akan selalu memperlakukan kita dengan baik, itu hil yang mustahal. Bosmu di kantor itu, perempuan ya? Dia bukan marah padamu, juga bukan benci. Dia hanya sedang jengkel berat atas suatu urusan lain, dan kebetulan kamulah yang paling pas untuk dijadikan pelampiasan rasa jengkelnya."

Mata Mallika terlihat mulai berkaca-kaca. Hatiku jadi trenyuh melihatnya. Makhluk cantik ini adalah pusat semesta di keluarga intinya, anak kesayangan Papa dan Mama, dan primadona yang cemerlang di antara para sepupu dalam acara keluarga besar. Seumur-umur setiap orang selalu bersikap baik kepadanya. Dia tak terbiasa menerima perlakuan yang tidak baik. Pasti menyakitkan sekali baginya kata-kata atau perlakuan kasar si Bu bos.

"Tidak perlu sedih, sayang," lanjut Bibi Lin. "Bibi melihat kesulitanmu ini sebentar lagi akan berakhir, sekitar 3 hari dari sekarang. Bu bos akan reda jengkelnya, urusan yang bikin dia pusing itu akhirnya selesai dengan baik. Dia akan kembali sebagai bos yang baik. Kamu sabar, ya."

Mallika mengangguk dengan hormat.

"Buddha mengajarkan kita untuk jadi tegar dan berani menghadapi hidup. Salah satu sikap tangan Buddha, mudra, yang bisa kita lihat di patung, yang telapak tangan-Nya menghadap ke depan setinggi dada seperti melambai itu, maknanya adalah jangan takut! Tidak akan terjadi sesuatu yang bukan merupakan bagian dari karmamu."

"Betul, betul, betul," kataku kepada si cantik sambil merengkuh bahunya. "Jangan cengeng kalau jadi Buddhis. Ya, kan, Bi?"

Kami semua tertawa riuh. Di pojok ruang makan tampak Pablo tidur dengan sangat lelap, sampai mendengkur. Bunyinya seperti suara tekukur....kuurr...kuurr....

**

Bali, 15 Juli 2023
Penulis: Chuang Bali, Kompasianer Mettasik

Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun