Si cantik: Hehe....besok gimana?
Aku: Siap, Nona. Kujemput pagi-pagi, ya. Kan jauh.
Bibi Lin tinggal di pinggiran kota, di daerah yang masih bersuasana pedesaan nan asri. Dia adik perempuan Ibuku, tak pernah menikah. Konon, kebanyakan orang-orang indigo memang begitu. Dia tinggal di sebuah rumah mungil yang indah, dengan taman depan yang rapi dan cantik serta kebun belakang penuh pohon buah. Ada seorang asisten rumah tangga ikut tinggal bersamanya, serta seekor anjing beagle super pecicilan bernama Pablo. Kemampuannya sebagai cenayang adalah bakat alami sejak lahir. Bibi Lin memanfaatkan kelebihan itu untuk misi sosial, membantu mengatasi masalah-masalah yang terutama berkenaan dengan jiwa dan kadang-kadang raga. Untuk penghidupan sehari-hari, Bibi Lin mendapatkan hasil investasi warisan dari ortunya. Maklum, kakek nenekku dari pihak ibu memang orang tajir melintir jaman dulu, sehingga anak-anaknya sebenarnya bisa hidup layak semata mengandalkan warisan yang mereka terima.Â
Sepanjang perjalanan, si cantik diam saja. Dipancing-pancing ngobrol tak digubriskannya, paling mentok dijawab pendek-pendek. Tak apalah, kumaklumi. Yang penting helm terpasang dengan baik dan kedua lengannya terus melingkar erat di pinggangku. Bukan apa-apa, bukan soal mesra-mesraan. Ini soal safety first. Paham, ya? Awas kalau nuduh yang enggak-enggak...!
Kami tiba di rumah Bibi Lin saat hampir jam makan siang. Aku tahu itu tanpa perlu menegok jam di ponsel atau pergelangan tanganku, karena perutku yang mulai konser keroncongan telah lama memberitahu bahwa waktu makan siang sudah tiba.
Saat memasuki gerbang rumah dan selesai memarkir motorku, sambil menggandeng tangan si cantik, kulihat Bibi Lin sudah menunggu di teras ditemani Pablo yang mengibas-kibaskan ekor dengan heboh. "Halooo....keponakanku yang paling ganteng! Tumben dikau ingat sama Bibimu ini, ya?" seru Bibi Lin dengan nada ramah dan senyum paling lebar.
Aku tertawa riang. Kulepas tanganku dari tangan si cantik, lalu berjalan agak cepat sambil membentangkan kedua lengan seperti elang yang sedang mengangkasa, siap memeluk Bibiku.
"Apa kabar, Bibi? Bibi terlihat awet muda dan masih cantik," kataku sambil memeluknya. Tubuhnya ramping dan harum bunga melati.
Bibi Lin tertawa geli. "Kamu memang sudah pandai memuji orang sejak masih kecil. Tak berubah." Dia lalu menoleh ke si cantik.
"Halo Mallika!" sapanya.
"Halo Bibi Lin," balas si cantik sambil giliran memeluk Bibi dan mengecup pipinya.