Mohon tunggu...
GINA SULISTIANA
GINA SULISTIANA Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223110041

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 1 - Integritas Sarjana dan Optimalisasi Pengembangan Moral Kohlberg

19 Oktober 2024   15:44 Diperbarui: 19 Oktober 2024   15:52 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
43223110041 - Gina Sulistiana

What : Kaitan Antara Integritas Seorang Sarjana Dan Optimalisasi Pengembangan Moral Kohlberg

43223110041 - Gina Sulistiana
43223110041 - Gina Sulistiana

Moral

Moral secara umum, merujuk pada prinsip, nilai, atau aturan mengenai apa yang dianggap baik atau buruk dalam manusia berperilaku. Pemahaman tentang moral tidak hanya penting dalam filsafat etika, tetapi juga penting dalam psikologi perkembangan, yang mampu mengkaji bagaimana proses individu untuk belajar dan menginternalisasi prinsip-prinsip moral sejak masa kanak-kanak hingga dewasa dalam kehidupan sehari-hari. Sikap yang mencerminkan sebuah moral yaitu kejujuran, keadilan, kesetiaan, dan rasa hormat terhadap orang lain. Oleh karena itu, moral sering kali menjadi dasar bagi etika sebagai sistem formal dalam mengatur perilaku sosial dalam berbagai konteks.

Seperti yang didefinisikan Dewey, J. (1932), moralitas adalah kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik berdasarkan pengalaman, refleksi, dan konteks sosial yang relevan. Ia memandang moralitas sebagai hasil dari pengalaman dan interaksi sosial. Yang berarti, bahwa moralitas bukan hanya seperangkat aturan yang harus diikuti, tetapi lebih dari sebagai proses pengambilan keputusan yang berakar pada konteks sosial. Begitupun menurut Rogers, ia berpendapat bahwa moral merupakan aspek kepribaadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan secara harmonis, seimbang dan adil.  

Moral memainkan peran penting dalam pembentukan perilaku sosial, terutama dalam pengambilan keputusan yang melibatkan orang lain. Dalam masyarakat, individu yang memiliki moral yang baik cenderung bertindak dengan integritas, kejujuran, dan rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain. Ini membantu menciptakan kepercayaan dan kerja sama, yang esensial dalam membangun hubungan sosial yang kuat. Dalam konteks yang lebih luas, moral juga memengaruhi dinamika kekuasaan, keadilan sosial, dan penyelesaian konflik. Ketika nilai-nilai moral diterapkan secara konsisten dalam suatu masyarakat, potensi terjadinya konflik dapat diminimalkan, karena orang-orang didorong untuk bertindak adil dan memperhatikan hak-hak individu lain.

Seseorang harus mampu mengembangkan moralnya dengan disertai integritas yang ada di dalam dirinya. Karena integritas menjadi bentuk salah satu kualitas fondasi moral yang paling penting dan harus dimiliki oleh setiap individu, terutama dalam kehidupan akademik dan profesional, terutama di era modern yang diwarnai oleh kompleksitas dan tantangan etika. Integritas merupakan fondasi moral yang harus terus di bimbing dan di pupuk, terutama bagi seseorang dalam melanjutkan pendidikan. Integritas dan perkembangan moral saling berkaitan. Sarjana yang memiliki integritas tinggi cenderung berada pada tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi, yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang lebih baik dan bertanggung jawab dalam konteks akademis dan sosial. Integritas mampu memberikan efek yang kompleks yang tidak hanya terkait dengan perilaku jujur dan transparan, tetapi juga dengan kemampuan untuk tetap teguh pada prinsip-prinsip moral bahkan ketika dihadapkan pada godaan atau tekanan. Integritas memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan moral. Meski keduanya memiliki perbedaan makna, integritas dan moral bekerja secara sinergis dalam membentuk karakter seseorang dan bagaimana mereka berperilaku dalam situasi yang kompleks secara etika. Singkatnya, integritas adalah cara seseorang konsistensi menunjukkan moralitasnya melalui tindakan nyata, dari nilai-nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Integritas 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integritas berarti "kualitas, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran". Menurut Peterson dan Seligman (2004), integritas berhubungan dengan moralitas kejujuran dan kesatuan diri dalam konteks karakter moral.

Seperti yang tersampaikan, Stephen L. Carter (1996) dalam bukunya "Integrity" menyatakan bahwa integritas mencakup beberapa komponen utama penggambaran seseorang yang berintegritas:

1) Kemampuan untuk membedakan benar dan salah, serta mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.

2) Komitmen untuk bertindak berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, 

3) Bertanggung jawab atas tindakan, keputusan, dan resiko yang menyertainya tersebut secara publik,

4) Jujur;

5) Konsisten antara ucapan dan tindakan;

7) Mematuhi peraturan dan etika berorganisasi;

8) Kualitas individu untuk mendapatkan rasa hormat dari orang lain;

9) Kepatuhan yang konsisten pada prinsip- prinsip moral yang berlaku di masyarakat;

Indikator perilaku tersebut  menggambarkan bahwa harapan terhadap seseorang yang berintegritas adalah seseorang yang dapat diandalkan dan dipercaya. Integritas secara aktif terinternalisasi sebagai rasa keutuhan dan keseimbangan dalam individu yang menyadari konteks diri dan memiliki keyakinan moral, serta konsisten untuk mewujudkannya kedalam perilaku, tanpa harus merasa malu dan berani untuk menyebarkan keyakinan. Warren Bennis, menekankan bahwa integritas merupakan salah satu kualitas utama dari kepemimpinan yang efektif. Pemimpin yang berintegritas mampu menciptakan kepercayaan di antara orang-orang yang dipimpinnya. Sehingga pada akhirnya integritas menurut C.S. Lewis mendefinisikannya dengan "melakukan hal yang benar, bahkan ketika tidak ada yang melihat". Integritas secara aktif terinternalisasi sebagai rasa keutuhan dan keseimbangan dalam individu yang menyadari konteks diri dan memiliki keyakinan moral, serta konsisten untuk mewujudkannya kedalam perilaku, tanpa harus merasa malu dan berani untuk menyebarkan keyakinannya.

Nilai moral dan prinsip etika merupakan komponen dasar dari pendidikan integritas, tetapi belum hal tersebut pun cukup untuk membuat perubahan yang instan. Dibutuhkan pembentukan kompetensi etis dengan keterampilan-keterampilan tertentu yang aplikatif. Diantaranya adalah kemampuan mendiagnosa kesenjangan integritas, mengidentifikasi masalah dengan pertimbangan etika, memiliki pengetahuan hukum, dan memiliki komitmen, keyakinan serta tanggung jawab moral.

Begitupun dengan integritas akademik, Integritas akademik adalah prinsip moral yang diterapkan dalam lingkungan pendidikan, terutama terkait dengan kebenaran, keadilan dan kejujuran. Integritas  akademik  adalah  bagian  utama  dari  budaya  akademik  (Ronokusumo,2012). Integritas  mengacu  pada  moral  kejujuran  dan self-unity;  dalam  hal  karakter  moral  (Peterson  & Seligman,  2004).  Integritas  akademik  tidak  hanya  berurusan  dengan  pelanggaran,  tetapi  juga tentang melakukan hal yang benar dan bangga dengan kenyataan bahwa seseorang memenuhi standar  moral  tertinggi  dalam  kegiatan  akademik  (Lofstrom,  2016).  Macfarlane  dkk.  (2012)  mendefinisikan  integritas sebagai penghormatan terhadap individu dan semua bentuk kehidupan lainnya. Sehingga jika individu memiliki integritas akademik, ia akan selalu percaya bahwa hasil yang diperoleh dari kemampuan intelektual mereka akan dihargai oleh komunitas akademik di sekitarnya. Menurut Supriyadi (2012), integritas harus didukung dengan nilai-nilai yang perlu dijunjung dalam integritas akademik, nilai-nilai tersebut mencakup enam aspek utama, yaitu meliputi kejujuran (honesty), kepercayaan (trust), keadilan (fairness), menghargai (respect), tanggung jawab (responsibility) dan rendah hati (humble).

Adapun hal lain dibalik integritas, yaitu Disintergitas Akademik yang merupakan kebalikan dari intergitas akademik. Beberapa istilah yang sering dikaitkan dengan disintergitas akademik meliputi:

  • Pelanggaran Akademik (Academic Misconduct), adalah tindakan yang melanggar norma dan kebijakan akademik, termasuk menyontek, plagiarisme, atau penyampaian informasi yang tidak benar dalam ujian atau tugas.
  • Ketidakjujuran Akademik (Academic Dishonesty), sebenarnya ketidakjujuran ini termasuk dalam bentuk dari pelanggaran akademik itu sendiri, yang berarti semua bentuk tindakan kecurangan yang dilakukan dalam konteks akademik, seperti menggunakan materi yang tidak sah selama ujian atau mengklaim karya orang lain sebagai karya sendiri.
  • Kejahatan Akademik (Academic Crime), yaitu tindakan yang lebih serius dalam konteks melanggar hukum dan peraturan akademik, yang bisa berakibat pada sanksi berat bagi pelaku, termasuk pengusiran dari institusi. Seperti adanya tawuran massal.
  • Pelanggaran Dalam Penelitian Atau Ilmiah (Research Atau Scientific Misconduct), yaitu sama dengan ketidakjujuran yang merupakan bentuk dari pelanggaran akademik. Tindakan tidak etis dalam penelitian ini merupakan salah satu juga tindakan ketidakjujuran yang berakibat fatal terhadap reputasi individu itu sendiri. seperti pemalsuan data, plagiarisme dalam publikasi, atau tidak menghormati hak cipta dan kontribusi peneliti lain.

Tindakan-tindakan tersebut tentu saja dilakukan atas dasar kesadaran diri sendiri yang mampu merusak integritas penelitian dan dapat membahayakan terhadap penurunan kualitas dan fondasi pendidikan serta kehancuran untuk individu itu sendiri. Disintergitas akademik memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar pelanggaran individu. Oleh karena itu, penting untuk mengambil langkah-langkah proaktif dalam meningkatkan integritas akademik dan mencegah tindakan tidak etis. Dalam lingkungan perguruan tinggi, seorang sarjana tentu saja diharapkan menyelesaikan pendidikan dengan memiliki bekal masa depan yang mampu menjadi seorang intelektual yang berbudaya dalam masyarakat ataupun profesional. Sarjana yang menjunjung tinggi integritas akademik tidak hanya berfokus pada penguasaan materi dan keterampilan, tetapi juga sebagai proses pembentukan karakter, pengembangan moral dan etika mahasiswa.

Orang dewasa khususnya seorang sarjana merupakan contoh bagi anak untuk dapat menerapkan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat. Anak/peserta didik perlu bimbingan dari orangtua dan orang dewasa yang memiliki pengetahuan lebih dari mereka di sekitarnya untuk dapat menginternalisasikan nilai-nilai moral yang ada di lingkungan sekitarnya untuk dapat menginternalisasikan nilai-nilai moral yang ada dilingkungan sekitarnya. Orangtua perlu memberikan masukan ataupun kritikan pada anak saat anak melakukan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat sehingga anak mengetahui tentang baik dan buruknya perbuatannya sehingga mampu membimbingnya untuk dapat memperbaiki kesalahannya. Perkembangan moral merupakan hasil dari interaksi yang kompleks dari nilai-nilai dan perilaku asuhan dan faktor lingkungan yang terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya. Menurut Lawrence Kohlberg pendekatan perkembangan moral melalui teori kognitif sebagaimana yang ia kembangkan dari hasil inspirasi karya Jean Piaget. Menurut Kohlberg, pendekatan kognitif ini lebih menekankan pada aspek kognisi, sehingga mengesampingkan peran emosi dan lingkungan dalam perkembangan moral suatu individu sebagai salah satu aspek penting bagi seseorang dalam proses pembentukan karakter itu sendiri. Kohlberg berpendapat bahwa aspek moral ialah segala sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, melainkan suatu yang bisa dikembangkan dan dipelajari.

Etika UMB_Dokpri Apollo, Prof
Etika UMB_Dokpri Apollo, Prof

Lawrence Kohelberg terinspirasi dari hasil kerja Jean Piaget, dan dari kekagumannya ia menghasilkan sebuah karya disertasi nya yang membahas mengenai reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral. Menurutnya, tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan pengmbangan penalaran moralnya.  Teori tersebut pun berpandangan bahwa penalaran moral merupakan dasar dari perilaku etis dan pendekatan kognitif yang sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana anak-anak dan remaja berkembang secara mental dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Tahapan tersebut terdiri dari 6 tahapan yang mengelompokkan tersebut ke dalam tiga tingkat:

Etika UMB_Dokpri Apollo, Prof
Etika UMB_Dokpri Apollo, Prof
  • Tingkat 1 (Pra-Konvensional)

Pada tingkat moralitas Pra-Konvensional, moralitas anak masih berorientasi kepada akibat fisik yang diterimanya daripada akibat-akibat psikologis dan berorientasi pada rasa patuh kepada pemberi otoritas. Sehingga pada tingkat ini, anak-anak belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral. Perilaku moral anak pada tingkat ini berdasarkan pada kendali eksternal terhadap apa yang diperintahkan dan dilarang oleh otoritas tersebut. Umumnya tahapan ini biasa terjadi pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran yang sama dalam tingkap ini. Contoh: Seorang anak kecil tidak mencuri permen di toko karena takut dihukum oleh orang tuanya, bukan karena dia menganggap mencuri itu salah. Tingkat Pra-Konvensional terdiri dari dau tahap, yaitu tahap satu dan tahap dua.

Tahap 1 : Orientasi kepatuhan dan hukuman. Dalam tahap pertama tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, serta moralitasnya dinilai berdasarkan konsekuensi fisik dari perbuatan tersebut. Kepatuhan anak ditujukan kepada otoritas, bukan kepada peraturan atau kepatuhan atas peniliaian untuk kepentingan dirinya sendiri. Anak-anak hanya berusaha menghindari hukuman dan patuh pada otoritas tanpa mempertanyakan hal itu. Pikiran tersebut bersifat egosentris, yaitu keadaan anak-anak tidak dapat memahami atau mempertimbangkan pendangan-pandangan orang lain yang berbeda dengan pandangannya.

Tahap 2 : Orientasi minat pribadi atau orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental "(Apa untungnya buat saya?)". Tahap yang menghubungkan apa yang baik dengan kepentingan, minat dan kebutuhan individu apabila kedua belah pihak mendapatkan perlakukan yang sama atau moralitas semacam "jual-beli" atau disebut "hedonisme instrumental" karena adanya unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan  pembagian, dan semuanya selalu ditafsirkan secara pragmatis, timbal balik, dan bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan. 

  • Tingkat 2 (Konvensional) 

Tingkat moralitas yang biasa disebut moralitas peraturan konvensional dan persesuaian (conformity). Individu yang sering kali lebih mengutamakan kebutuhan atau kepentingan kelompok dibandingkan dengan kebutuhan pribadi. Pada tingkat ini, sikap yang timbul bukan hanya ingin menyesuaikan dengan harapan-harapan orang tertentu atau dengan ketertiban sosial, akan tetapi sikap ingin loyal, sikap ingin menjaga, menunjang dan memberi justifikasi pada ketertiban itu dan sikap ingin mengidentifikasikan diri dengan orang-orang atau kelompok yang ada di dalamnya. Contoh: Seorang anak mungkin membantu temannya hanya jika dia tahu bahwa temannya nanti akan membantu dia kembali dalam situasi yang lain. Perilaku baik didasarkan pada prinsip timbal balik ("Aku akan baik padamu jika kamu baik padaku"). Tingkat konvensional ini umumnya ada pada remaja atau orang dewasa. Tingkat konvensional dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap tiga, dan tahap empat.

Tahap 3 : Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas / Orientasi anak baik (Anak manis). Tahap ini biasa disebut sebegai anak yang baik, pada tahap ini anak ingin menyesuaikan diri dengan peraturan untuk merefleksikan persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan baiknya dengan mereka, sehingga berusaha agar dapat dipercaya. Dalam tahap ini individu sudah mulai menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral, dalam hal lebih mementingkan kelompok daripada diri sendiri, menyertakan rasa hormat, rasa terima kasih dan golden rule.

Tahap 4 : Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan (moralitas hukum dan aturan). Dalam tahap ini, kebenaran diartikan dengan menjunjung tinggi hukum yang disetujui bersama. Pada tahap ini internalisasi nilai-nilai moral anak mulai menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya tujuan agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat sekitarnya. Tetapi mulai menyadari adanya rasa tanggung jawab untuk dapat ikut mempertahankan aturan norma/nilai sosial yang memiliki nilai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksakan aturan yang ada.

  • Tingkat 3 (Pasca-Konvensional) 

Pada tingkatan ini internalisasi nilai-nilai moral biasa disebut sebagai moralitas berdasarkan pada prinsip-prinsip yang akan diterimanya sendiri (principled morality). Umumnya dianggap sebagai kesadaran untuk mengadopsi perspektif sosial. Keterkaitannya bukan lagi dengan otoritas atau kelompok, melainkan individu lebih berusaha memperoleh nilai-nilai moral yang di junjung dan diakui oleh masyarakat yang sifatnya universal sebagai hak milik pribadinya dan menjadi bagian dari identitas mereka. Tahapan perkembangan moralitas Pasca-Konvensional merupakan tingkatan tertinggi menurut teori Kohlberg, individu sudah mulai menyadari bahwa moralitas sepenuhnya diinternalisasikan dengan tidak bergantung pada standar eksternal. Umumnya tahap ini dimulai dari remaja awal hingga dewasa. Dan moralitas mereka terinternalisasi seperti mampu mengeksplorasi dengan mempertimbangkan berbagai pilihan atas dasar kecocokan dirinya sendiri. Tidak hanya sebatas pilihan, mereka juga mulai mengevaluasi dan memutuskan prinsip moral yang mereka anggap paling penting dan benar untuk hidupnya. Menurut Kohlberg, tingkat ini merupakan proses yang sudah terintegrasi secara hierarkis yang dibangun dari setiap tingkat dan tahap yang sudah dibangun sebelumnya. Oleh karena itu, tindakan melompati secara teoritis tidak mungkin. Tingkat Pasca-Konvensional in terbagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap lima dan tahap enam:

Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial dan hak-hak individu. Pada tahap ini individu menyadari bahwa hukum dan kewajiban harus berdasarkan perhitungan atau pertimbangan yang rasional secara keseluruhan. Sehingga pada tahap ini individu mulai mencari kebenaran dengan mempertimbangkan hak-hak individu dilakukan dengan tindakan yang paling baik agar menguntungkan dan mendapatkan yang terbaik, sesuai yang telah dianalisis secara kritis oleh masyarakat. Dalam tahap ini, peraturan dapat diubah demi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu pada tahap ini kesepakatan dalam masyarakat menjadi penting atau yang sering disebut sebagai keputusan mayoritas yang terbentuk atas hasil kompromi. Dalam hal ini individu tidak secara terang-terangan memihak, akan tetapi lebih berorientasi pada kontak sosial nya.

Tahap 6 : Prinsip etika universal. Pada tahap ini, penalaran moral berdasar pada hukum yang valid pada keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap semua orang. Keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Dan ketika hukum bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut, individu akan lebih memilih untuk bertindak sesuai dengan prinsip yang mereka anut. Pada tahap ini, individu memiliki perspektif bahwa setiap manusia yang rasional pasti menyadari sifat moralitas atau fakta bahwa orang adalah pribadi tersendiri dan harus diperlakukan sedemikian rupa. Pada tahap ini pun individu menyesuaikan standae sosial dan memiliki cita-cita internal tersendiri untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan untuk menghindari kecaman sosial. Sehingga moralitas pada tahap ini berlandaskan pada penghargaan terhadap oranglain daripada keingan diri sendiri. Pada tahap ke enam ini dapat tercermin dalam berbagai sifat yang menurut kalimat "How rational and impartial people would organize cooperation is moral" (Rest ,1979:35).

Keenam tingkat penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg (1995) tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya bukan berdasarkan keputusan yang dibuat, tetapi berdasarkan alasan yang dipakai untuk mengambil Keputusan. Menurut Kohlberg ( Shaffer, 1985; Durkin, 1995; Hook, 1999), tingkat "Pra Konvensional" ialah tingkat kebanyakan anak di bawah usia 10 tahun. Tingkat "Konvensional" ialah tingkat kebanyakan remaja dan orang dewasa. Sedangkan, Tingkat "Pasca konvensional" ialah tingkat yang dicapai oleh sejumlah minoritas orang dewasa dan biasanya dicapai setelah usia 24 tahun. Kohlberg juga menganggap tahap keenam merupakan tahap yang jarang sekali dapat dicapai, sehingga menurutnya tahapan tersebut sebuah tingkatan paling tinggi dari sebuah tahapan perkembangan moral. Mahasiswa sarjana sering dihadapkan pada situasi yang menantang norma-norma sosial dan memungkinkan mereka untuk mempertanyakan aturan yang sudah ditetapkan, sehingga memfasilitasi perkembangan ke level moral yang lebih matang. Contoh situasi ini dapat mencakup diskusi tentang isu-isu etis seperti keadilan sosial, hak-hak asasi, atau masalah lingkungan. Pada level tersebut seorang sarjana mulai memasuki pasca-konvensional, sarjana mulai membuat keputusan moral berdasarkan prinsip-prinsip etika yang lebih universal, seperti keadilan dan hak asasi manusia.

Penalaran moral menurut Kohlberg memang menjadi kunci untuk memahami perilaku moral. Kohlberg berpendapat bahwa perilaku moral yang terlihat secara langsung belum tentu mencerminkan moralitas individu yang sebenarnya. Oleh karena itu, untuk mengukur moralitas seseorang, dengan melakukan penelusuran terhadap penalaran moral yang mendasari keputusan moral tersebut. Salah satu metode yang digunakan oleh Kohlberg untuk memahami penalaran moral adalah melalui dilema moral, seperti yang terlihat dalam kasus terkenal, yaitu "Masalah Heinz". Dalam dilema ini, seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan keputusan sulit, misalnya apakah Heinz harus mencuri obat mahal untuk menyelamatkan nyawa istrinya yang sekarat karena ia tidak mampu membelinya. Melalui dilema ini, Kohlberg tidak hanya fokus pada tindakan Heinz (mencuri atau tidak mencuri), tetapi lebih pada alasan atau justifikasi moral di balik tindakan tersebut. Apakah anak-anak atau remaja yang ditanyai beralasan bahwa Heinz sebaiknya mencuri obat karena kehidupan lebih penting daripada hukum, atau apakah mereka beralasan bahwa Heinz tidak boleh mencuri karena melanggar hukum adalah salah dalam keadaan apapun?

Penelusuran tersebut relevan dengan tahap-tahap perkembangan moral yang dirumuskan oleh Kohlberg (Pra-Konvensional, Konvensional, dan Pasca-Konvensional) yang mencerminkan bagaimana individu memproses dilema moral dan menunjukkan tingkat kedewasaan moral mereka. Dalam penelitian aslinya pada tahun 1950-an, Kohlberg menggunakan dilema ini untuk menilai perkembangan moral dari 75 anak laki-laki yang berusia 10, 13, dan 16 tahun. Dengan metode ini, Kohlberg berhasil menunjukkan bahwa penalaran moral berkembang seiring dengan usia dan pengalaman, namun tidak semua individu mencapai tahap tertinggi (Pasca-Konvensional). Pengukuran moralitas menurut Kohlberg dengan demikian lebih mendalam daripada sekadar melihat tindakan, karena melibatkan pengamatan terhadap proses berpikir yang mendasari keputusan moral seseorang. Kohlberg juga menekankan bahwa pengalaman, menjadi salah satu pemicu refleksi moral dan dialog etis, untuk kunci mencapai tahapan moral yang lebih tinggi. Sehingga dalam konteks ini, perkembangan moral mencakup aspek penalaran (reasoning) yang memungkinkan anak-anak untuk memikirkan dan mengevaluasi keputusan mereka berdasarkan nilai-nilai moral yang diajarkan oleh lingkungan sosial, keluarga dan budaya mereka.

Why : Pendekatan Kohlberg Terhadap Pengembangan Moral Relevan Bagi Seorang Sarjana, Baik Dalam Lingkup Akademik dan Profesional

43223110041 - Gina Sulistiana
43223110041 - Gina Sulistiana

Pendekatan Kohlberg terhadap pengembangan moral memiliki relevansi yang sangat penting bagi seorang sarjana, baik dalam konteks akademik maupun profesional. Dengan menginternalisasi prinsip-prinsip moral yang diajarkan oleh Kohlberg, sarjana dapat menjadi individu yang tidak hanya terampil dan berpengetahuan, tetapi juga memiliki integritas yang kuat dan dapat berkontribusi positif kepada masyarakat. Selain itu Integrasi pendidikan moral dan etika dalam proses pembelajaran akan membantu mempersiapkan sarjana untuk menghadapi tantangan di dunia yang kompleks dan berubah cepat saat ini. Proses pengembangan moral membantu sarjana mengenali nilai-nilai pribadi mereka dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip tersebut dalam semua aspek kehidupan. Hal ini tidak hanya meningkatkan integritas tetapi juga mendukung pertumbuhan pribadi yang berkelanjutan.

Teori Kohlberg juga memberikan gambaran kerangka kerja untuk memahami bahwa sarjana mungkin berperilaku tidak etis, oleh karena itu, teori ini memberikan pandangan mengenai tahapan bagi seorang sarjana tersebut agar tidak terjebak pada tahapan perkembangan moral yang rendah (pra-konvensional atau konvensional) yang rentan terhadap perilaku tidak jujur sehingga menimbulkan efek buruk dari tindakan tersebut seperti hukuman, imbalan, atau persetujuan sosial. Dengan mengoptimalisasikan perkembangan moral menurut Kohlberg, mampu menjadi jembatan bagi sarjana itu sendiri menuju tahapan Pasca-konvensional menjadi krusial untuk mencegah perilaku tidak etis dan membangun integritas yang kokoh bagi kemajuan bangsa.

Selain itu, penerapan seorang sarjana yang berintegrasi untuk mengoptimalkan pengembangan moral akan membentuk sarjana dengan penuh kepercayaan diri dan respect diri, karena percaya bahwa tindakan dan keputusan yang mereka ambil didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang kuat. Dengan begitu, akan menimbulkan dampak membangun hubungan yang lebih baik kepada orang lain. Karena sarjana yang berintegrasi pada optimasisasi pengembangan moral tentunya akan bertindak jujur dan adil, yang memudahkan dirinya mendapatkan kepercayaan dan penerimaan dari teman, kolega, dan mentor.

Di dunia profesional, pengembangan moral yang penting dalam mempersiapkan mahasiswa sarjana untuk kehidupan profesional. Di berbagai bidang, profesionalisme dan etika memainkan peran kunci dalam kesuksesan karier. Hal tersebut krusial bagi sarjana untuk bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etis yang kuat, yang penting bagi keberhasilan jangka panjang dan reputasi profesional mereka. Dalam konteks profesional, sarjana sering dihadapkan pada dilema etika seperti konflik kepentingan, tekanan untuk memanipulasi hasil, atau keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan banyak orang. Dengan berada di tahap pasca-konvensional, seorang sarjana akan lebih mampu menilai situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral universal, seperti keadilan, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Mereka akan lebih mampu menghindari tindakan tidak etis yang mungkin memberikan keuntungan jangka pendek, tetapi merugikan dalam jangka panjang.

Teori pengembangan moral Lawrence Kohlberg menawarkan perspektif yang komprehensif tentang bagaimana individu berkembang dalam pemikiran moralnya yang tidak hanya berkontribusi pada kesuksesan pribadi, tetapi juga berperan dalam kemajuan bangsa. Mereka menjadi agen perubahan yang mampu mendorong masyarakat untuk bergerak menuju nilai-nilai yang lebih etis dan adil. Dengan sarjana yang berintegritas, bangsa dapat mengandalkan generasi pemimpin dan profesional yang memiliki moral yang kokoh. Dengan demikian, pendekatan moral Kohlberg memberikan sarjana alat yang kuat untuk mengatasi tantangan moral yang kompleks di dunia modern. Pengembangan moral yang optimal menjadikan sarjana bukan hanya individu yang kompeten secara akademis dan profesional, tetapi juga agen perubahan positif yang berkontribusi terhadap masyarakat. Dengan demikian, integrasi antara teori perkembangan moral Kohlberg's memberikan landasan yang kuat bagi pembentukan karakter dan moralitas dalam dunia akademik dan profesional

Optimalisasi Perkembangan Moral Kohlberg pada Sarjana

Optimalisasi perkembangan moral berdasarkan teori Lawrence Kohlberg memerlukan pendekatan yang terstruktur dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan karena perkembangan moral tidak terjadi secara instan untuk sebuah perubahan, melainkan memerlukan berbagai tahapan yang lebih kompleks seiring bertambahnya usia dan pengalaman seseorang. Teori perkembangan moral Kohlberg membagi proses perkembangan moral individu ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Tingkat pasca-konvensional, yang mencakup orientasi pada kontrak sosial dan prinsip etis universal, adalah tahapan ideal yang diharapkan dapat dicapai oleh sarjana.

  • Tahap Konvensional : Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan (moralitas hukum dan aturan).

Sebagian besar dari sarjana berada pada tahap konvensional, mereka diharpakan untuk mengikuti aturan dan norma sosial yang berlaku dalam lingkungan akademik. Dalam tahap ini, perilaku mereka dipandu oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain dan menjaga reputasi mereka di mata publik. Sarjana yang berada dalam tahap ini cenderung merasa bahwa mematuhi aturan bukan hanya hal yang benar, tetapi juga suatu kewajiban sosial yang penting untuk menjaga tatanan dan stabilitas dalam komunitas akademik. Tujuan dari perilaku ini adalah agar seorang sarjana mampu mempertahankan reputasi akademik, mematuhi norma sosial yang diterima secara umum. Dengan demikian, sarjana pada tahap konvensional menekankan kepatuhan terhadap aturan, hukum, dan norma-norma sosial sebagai bentuk tanggung jawab moral. Hal tersebut menimbulkan respect terhadap pelanggaran aturan yang bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap aturan itu sendiri, tetapi juga pelanggaran terhadap ekspektasi dan kepercayaan yang diberikan oleh orang lain.

  • Tahap Pasca-Konvensional: Penerapan Prinsip Etis Universal

Tujuan akhir dari pendidikan moral adalah untuk mendorong individu melampaui sekedar kepatuhan terhadap aturan, menuju penerapan prinsip-prinsip moral universal. Dalam tahap pasca-konvensional, sarjana memahami bahwa aturan sosial dan hukum tidak selalu mencerminkan keadilan atau kebenaran moral yang lebih tinggi. Mereka mulai mengembangkan komitmen untuk bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etika yang lebih luas, seperti hak asasi manusia, keadilan, dan kesetaraan. Sarjana yang telah mencapai tahap ini tidak hanya patuh terhadap hukum, tetapi juga bersedia menentang kebijakan yang tidak adil dan mengambil sikap moral yang berani, meskipun mungkin bertentangan dengan opini mayoritas.

How : Pengembangan Moral Dapat Dioptimalkan Pada Integritas Sarjana Untuk Memastikan Tetap Menjaga Standar Etika Dalam Akademik Menuju Karier Profesional Mereka

43223110041 - Gina Sulistiana
43223110041 - Gina Sulistiana

Perkembangan moral yang diusulkan oleh Lawrence Kohlberg memberikan gambaran yang komprehensif tentang bagaimana seseorang dapat berkembang dari penalaran moral yang sederhana menuju tingkat pemikiran moral yang lebih matang. Bagi seorang sarjana, optimalisasi perkembangan moral ini sangat penting karena bukan hanya menyangkut bagaimana mereka berperilaku di lingkungan akademik, tetapi juga bagaimana mereka mempersiapkan diri untuk menjadi profesional yang berintegritas di dunia kerja. Berikut adalah cara mengoptimalkan perkembangan moral Kohlberg pada sarjana:

  • Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis

Pengembangan keterampilan berpikir kritis adalah aspek penting dalam upaya optimalisasi pengembangan moral dan integritas sarjana. Keterampilan ini memungkinkan mahasiswa untuk menganalisis, mengevaluasi, dan merespons situasi moral dan etis secara efektif, sehingga dapat memahami kompleksitas isu-isu etis dan membuat keputusan yang lebih baik. Kemampuan berpikir kritis juga dapat mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan informasi sebelum mengambil Keputusan yang sangat penting dijunjung bagi sarjana dalam menjaga integritas dan mengikuti standar etika.

Dengan keterampilan berpikir kritis seorang sarjana memfasilitasi dialog terbuka dan kolaborasi antara mahasiswa lainnya, yang memungkinkan mereka untuk belajar dari satu sama lain dan mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang nilai-nilai moral. Dengan begitu, sarjana yang terlatih dalam berpikir dan lebih siap untuk menghadapi tantangan dan mempertahankan integritas mereka pada tahapan dunia profesional.

  • Pembentukan Budaya Etika

Pembentukan budaya etika merupakan langkah penting dalam mengoptimalkan pengembangan moral dan integritas sarjana. Lingkungan yang menjunjung tinggi etika menciptakan kepercayaan di antara mahasiswa, dosen, dan pihak lain dalam komunitas akademik. Kepercayaan ini penting untuk kolaborasi yang efektif. Budaya etika yang kuat di lingkungan akademik dapat memfasilitasi pembelajaran yang lebih baik, meningkatkan kepatuhan terhadap norma-norma etis, dan membentuk karakter individu yang berintegritas untuk terjun langsung pada dunia profesional. Budaya etika yang kuat tentunya mampu  membantu menciptakan kesadaran akan pentingnya perilaku etis di kalangan sarjana. Kesadaran ini menjadi landasan bagi pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Dalam lingkungan yang mengedepankan etika, individu dapat memberikan contoh nyata dari perilaku yang diharapkan untuk membantu memahami norma-norma yang berlaku dan konsekuensi dari tindakan yang dipertanggungjawabkan. Pembentukan budaya etika pun membantu sarjana untuk bisa terus meningkatkan berpikir kritis mereka melalui pembelajaran dari pengalaman satu sama lain. Dengan menerapkan langkah-langkah yang tepat, institusi pendidikan dapat menciptakan atmosfer yang mendukung pembelajaran etika, memfasilitasi pertumbuhan karakter yang baik, dan mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi individu yang berintegritas dalam karier profesional mereka.

  • Menjalin Relasi Terbuka untuk Mentoring dan Pembimbingan

Proses ini membantu mahasiswa untuk mendapatkan bimbingan yang diperlukan dalam menghadapi berbagai tantangan etis dan moral di lingkungan akademik dan profesional. Optimalisasi dari proses ini yaitu sarjana mampu merefleksikan dirinya untuk mengevaluasi argumen dan membuat keputusan yang lebih baik melalui pertukaran pengalaman dan solusi terkait nilai-nilai yang mereka anut, dan bagaimana menerapkan keterampilan berpikir kritis dalam situasi nyata untuk memahami pendekatan yang tepat dalam situasi serupa. Dengan begitu, seorang sarjana dapat belajar nilai-nilai moral dan etika dari mentor mereka, yang berfungsi sebagai panutan. Ini membantu dalam pembentukan karakter yang kuat dan integritas. Menjalin relasi akan menghasilkan jaringan dan koneksi antara mentor dan mahasiswa untuk membangun jaringan profesional yang penting, yang dapat mendukung karier mereka di masa depan. Koneksi ini sering kali membuka peluang untuk pengalaman belajar lebih lanjut. Selain itu, mentor juga berperan penting yang tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi, tetapi juga memberikan dukungan emosional kepada mahasiswa. Keberadaan mentor dapat membantu mahasiswa merasa lebih percaya diri dalam membuat keputusan yang sulit. Melalui mentoring dan pembimbingan, sarjana memperoleh bimbingan yang diperlukan untuk menavigasi kompleksitas tantangan etis dan moral yang mereka hadapi. Proses ini tidak hanya memperkuat integritas mereka, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menjadi profesional yang bertanggung jawab dan etis di masa depan.

  • Dialog Terbuka dan Kolaborasi

Tahap ini merupakan aktualisasi yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan mempertahankan pandangan mereka tentang isu-isu moral, serta belajar dari perspektif orang lain. Dialog terbuka dan kolaborasi merupakan elemen kunci dalam upaya mengoptimalkan pengembangan moral dan integritas sarjana. Dengan menciptakan suasana yang terbuka dan inklusif seperti ini, mahasiswa dan sarjana merasa lebih nyaman untuk berbagi pandangan dan pengalaman mereka terkait isu-isu moral, untuk berbicara tanpa rasa takut dihakimi. Hal tersebut memungkinkan pertukaran ide yang beragam, memperkaya pemahaman dan wawasan mahasiswa tentang berbagai perspektif moral melalui interaksi dalam konteks yang kompleks. Adannya Dialog terbuka meningkatkan keterampilan komunikasi mahasiswa, yang menjadi sarana pembelajaran mereka untuk menyampaikan pendapat, mendengarkan dengan empati, dan memberikan umpan balik konstruktif. Keterampilan ini sangat penting dalam berinteraksi secara profesional di masa depan.

  • Penerapan Integrasi Nilai-nilai Etika dalam Kurikulum Mata Kuliah 

Kurikulum berbasis etika di perguruan tinggi memainkan peran krusial dalam pengembangan moral mahasiswa. Dengan memasukkan pendidikan etika ke dalam kurikulum, institusi pendidikan dapat membekali mahasiswa dengan keterampilan dan nilai-nilai moral yang penting untuk menghadapi tantangan di dunia akademik dan profesional. Pendidikan etika harus diintegrasikan ke dalam berbagai mata kuliah, tidak hanya di jurusan tertentu dan harus mencakup elemen pengembangan karakter, yang berfokus pada nilai-nilai seperti kejujuran, rasa hormat, dan tanggung jawab. Ini akan membentuk landasan yang kuat untuk integritas akademik dan moral mahasiswa. Sehingga mahasiswa dapat menganalisis dan mengevaluasi argumen moral dengan baik. Keterampilan ini penting untuk membantu mereka membuat keputusan yang etis dan bertanggung jawab di masa depan.


Daftar Pustaka

Dr. Dra. Erni Murniarti, M. (2020). TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF JEAN PIAGET, PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL DAN TEORI MORAL KOHLBERG. Bahan Ajar, 11.

Dwi Prawani Sri Redjeki, d. J. (2013). MEMAHAMI SEBUAH KONSEP INTEGRITAS. JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 3, Edisi Oktober 2013 (ISSN : 2252-7826), 2-12.

Ensiklopedia Dunia. (2007, Maret 30). Tahap pengembangan moral Kohlberg. Retrieved from Universitas Sains Dan Teknologi Komputer: https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg

Hafizha, R. (2021). PENTINGNYA INTEGRITAS AKADEMIK. Journal of Education and Counseling,Vol. 1, No. 2, 2021, hlm.115-124, 115-117.

Ibda, F. (2023). PERKEMBANGAN MORAL DALAM PANDANGAN LAWRENCE KOHLBERG. Journal of Education Sciences adn Teacher Training Vol. 12. No. 1 (2023), 42-78, 63-71.

Ikrommullah, A. (2015). TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL SANTRI MAHASISWA. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 79-82.

Nurhayati, S. R. (2006). TELAAH KRITIS TERHADAP TEORI PERKEMBANGAN. Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006 ISSN 1907-297X , 94-98.

Rismayanti, L. (2023). TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG DALAM PERSPEKTIF ILMU AKHLAK IBNU MISKAWAH. Retrieved from Repository UIN Syarif Hidayatullah: https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/74727/1/SKRIPSI%20LITA%20RISMAYANTI%2011190110000111.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun