Adapun hal lain dibalik integritas, yaitu Disintergitas Akademik yang merupakan kebalikan dari intergitas akademik. Beberapa istilah yang sering dikaitkan dengan disintergitas akademik meliputi:
- Pelanggaran Akademik (Academic Misconduct), adalah tindakan yang melanggar norma dan kebijakan akademik, termasuk menyontek, plagiarisme, atau penyampaian informasi yang tidak benar dalam ujian atau tugas.
- Ketidakjujuran Akademik (Academic Dishonesty), sebenarnya ketidakjujuran ini termasuk dalam bentuk dari pelanggaran akademik itu sendiri, yang berarti semua bentuk tindakan kecurangan yang dilakukan dalam konteks akademik, seperti menggunakan materi yang tidak sah selama ujian atau mengklaim karya orang lain sebagai karya sendiri.
- Kejahatan Akademik (Academic Crime), yaitu tindakan yang lebih serius dalam konteks melanggar hukum dan peraturan akademik, yang bisa berakibat pada sanksi berat bagi pelaku, termasuk pengusiran dari institusi. Seperti adanya tawuran massal.
- Pelanggaran Dalam Penelitian Atau Ilmiah (Research Atau Scientific Misconduct), yaitu sama dengan ketidakjujuran yang merupakan bentuk dari pelanggaran akademik. Tindakan tidak etis dalam penelitian ini merupakan salah satu juga tindakan ketidakjujuran yang berakibat fatal terhadap reputasi individu itu sendiri. seperti pemalsuan data, plagiarisme dalam publikasi, atau tidak menghormati hak cipta dan kontribusi peneliti lain.
Tindakan-tindakan tersebut tentu saja dilakukan atas dasar kesadaran diri sendiri yang mampu merusak integritas penelitian dan dapat membahayakan terhadap penurunan kualitas dan fondasi pendidikan serta kehancuran untuk individu itu sendiri. Disintergitas akademik memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar pelanggaran individu. Oleh karena itu, penting untuk mengambil langkah-langkah proaktif dalam meningkatkan integritas akademik dan mencegah tindakan tidak etis. Dalam lingkungan perguruan tinggi, seorang sarjana tentu saja diharapkan menyelesaikan pendidikan dengan memiliki bekal masa depan yang mampu menjadi seorang intelektual yang berbudaya dalam masyarakat ataupun profesional. Sarjana yang menjunjung tinggi integritas akademik tidak hanya berfokus pada penguasaan materi dan keterampilan, tetapi juga sebagai proses pembentukan karakter, pengembangan moral dan etika mahasiswa.
Orang dewasa khususnya seorang sarjana merupakan contoh bagi anak untuk dapat menerapkan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat. Anak/peserta didik perlu bimbingan dari orangtua dan orang dewasa yang memiliki pengetahuan lebih dari mereka di sekitarnya untuk dapat menginternalisasikan nilai-nilai moral yang ada di lingkungan sekitarnya untuk dapat menginternalisasikan nilai-nilai moral yang ada dilingkungan sekitarnya. Orangtua perlu memberikan masukan ataupun kritikan pada anak saat anak melakukan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat sehingga anak mengetahui tentang baik dan buruknya perbuatannya sehingga mampu membimbingnya untuk dapat memperbaiki kesalahannya. Perkembangan moral merupakan hasil dari interaksi yang kompleks dari nilai-nilai dan perilaku asuhan dan faktor lingkungan yang terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya. Menurut Lawrence Kohlberg pendekatan perkembangan moral melalui teori kognitif sebagaimana yang ia kembangkan dari hasil inspirasi karya Jean Piaget. Menurut Kohlberg, pendekatan kognitif ini lebih menekankan pada aspek kognisi, sehingga mengesampingkan peran emosi dan lingkungan dalam perkembangan moral suatu individu sebagai salah satu aspek penting bagi seseorang dalam proses pembentukan karakter itu sendiri. Kohlberg berpendapat bahwa aspek moral ialah segala sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, melainkan suatu yang bisa dikembangkan dan dipelajari.
Lawrence Kohelberg terinspirasi dari hasil kerja Jean Piaget, dan dari kekagumannya ia menghasilkan sebuah karya disertasi nya yang membahas mengenai reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral. Menurutnya, tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan pengmbangan penalaran moralnya. Â Teori tersebut pun berpandangan bahwa penalaran moral merupakan dasar dari perilaku etis dan pendekatan kognitif yang sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana anak-anak dan remaja berkembang secara mental dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Tahapan tersebut terdiri dari 6 tahapan yang mengelompokkan tersebut ke dalam tiga tingkat:
- Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
Pada tingkat moralitas Pra-Konvensional, moralitas anak masih berorientasi kepada akibat fisik yang diterimanya daripada akibat-akibat psikologis dan berorientasi pada rasa patuh kepada pemberi otoritas. Sehingga pada tingkat ini, anak-anak belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral. Perilaku moral anak pada tingkat ini berdasarkan pada kendali eksternal terhadap apa yang diperintahkan dan dilarang oleh otoritas tersebut. Umumnya tahapan ini biasa terjadi pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran yang sama dalam tingkap ini. Contoh: Seorang anak kecil tidak mencuri permen di toko karena takut dihukum oleh orang tuanya, bukan karena dia menganggap mencuri itu salah. Tingkat Pra-Konvensional terdiri dari dau tahap, yaitu tahap satu dan tahap dua.
Tahap 1 : Orientasi kepatuhan dan hukuman. Dalam tahap pertama tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, serta moralitasnya dinilai berdasarkan konsekuensi fisik dari perbuatan tersebut. Kepatuhan anak ditujukan kepada otoritas, bukan kepada peraturan atau kepatuhan atas peniliaian untuk kepentingan dirinya sendiri. Anak-anak hanya berusaha menghindari hukuman dan patuh pada otoritas tanpa mempertanyakan hal itu. Pikiran tersebut bersifat egosentris, yaitu keadaan anak-anak tidak dapat memahami atau mempertimbangkan pendangan-pandangan orang lain yang berbeda dengan pandangannya.
Tahap 2 : Orientasi minat pribadi atau orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental "(Apa untungnya buat saya?)". Tahap yang menghubungkan apa yang baik dengan kepentingan, minat dan kebutuhan individu apabila kedua belah pihak mendapatkan perlakukan yang sama atau moralitas semacam "jual-beli" atau disebut "hedonisme instrumental" karena adanya unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan  pembagian, dan semuanya selalu ditafsirkan secara pragmatis, timbal balik, dan bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.Â
- Tingkat 2 (Konvensional)Â
Tingkat moralitas yang biasa disebut moralitas peraturan konvensional dan persesuaian (conformity). Individu yang sering kali lebih mengutamakan kebutuhan atau kepentingan kelompok dibandingkan dengan kebutuhan pribadi. Pada tingkat ini, sikap yang timbul bukan hanya ingin menyesuaikan dengan harapan-harapan orang tertentu atau dengan ketertiban sosial, akan tetapi sikap ingin loyal, sikap ingin menjaga, menunjang dan memberi justifikasi pada ketertiban itu dan sikap ingin mengidentifikasikan diri dengan orang-orang atau kelompok yang ada di dalamnya. Contoh: Seorang anak mungkin membantu temannya hanya jika dia tahu bahwa temannya nanti akan membantu dia kembali dalam situasi yang lain. Perilaku baik didasarkan pada prinsip timbal balik ("Aku akan baik padamu jika kamu baik padaku"). Tingkat konvensional ini umumnya ada pada remaja atau orang dewasa. Tingkat konvensional dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap tiga, dan tahap empat.
Tahap 3 : Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas / Orientasi anak baik (Anak manis). Tahap ini biasa disebut sebegai anak yang baik, pada tahap ini anak ingin menyesuaikan diri dengan peraturan untuk merefleksikan persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan baiknya dengan mereka, sehingga berusaha agar dapat dipercaya. Dalam tahap ini individu sudah mulai menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral, dalam hal lebih mementingkan kelompok daripada diri sendiri, menyertakan rasa hormat, rasa terima kasih dan golden rule.