"Kamu adalah perempuan hebat yang sudah membesarkan Adi, anak yang sebenarnya nggak pernah kamu inginkan. Kamu juga selalu membantu pasien kamu untuk kembali bangkit dari keterpurukannya, terutama mereka korban pelecehan seksual. Ingat ya, nggak perlu ada yang dikhawatirkan."
Begitu selesai dengan ucapannya, aku memeluk Keyla erat sambil menahan air mata. Bukan soal Adiyaksa, tapi soal diriku yang ternyata sudah bertahan sampai sejauh ini. Aku manusia kuat dan akan terus berjuang.
"Thanks ya, Key," kataku melepaskan pelukan. "Oh iya, gimana persiapan pernikahanmu?"
"Sudah hampir 100% pastinya. Jangan lupa untuk ambil jahitan baju bridesmaid di butik biasa, ya." Keyla mengingatkan.
Tak lama setelah itu Keyla pamit. Aku masuk ke rumah dan dengan ragu menuju kamar Adiyaksa yang letaknya dekat dapur. Dia duduk di kasur belum melepas seragamnya. Kami sempat saling tatap beberapa detik.
Laki-laki remaja yang tingginya hampir menyusulku itu bangkit, lalu berjalan cepat memelukku yang masih mematung. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya memberi pelukan seolah memang cukup ini saja yang dibutuhkannya.
"Kak..." katanya pelan. "Aku... belum siap untuk panggil Kakak jadi Ibu, Mama, Bunda, atau apapun itu. Semua masih canggung untuk aku."
Aku sempat menahan tawa sesaat.
"Hei, kamu itu tetap adik kecil Kakak. Hal kayak gitu bisa berjalan seiring waktu. Oke?"
Adiyaksa mengangguk sambil memberikan senyum terbaik.
"Kakak tadi beli brownis kukus. Kamu suka, kan?"