A D I Y A K S A
Tempat praktik psikolog Kak Larisa tak berjarak jauh dari sekolahku. Hanya perlu menggunakan jasa transportasi ojek daring yang tarifnya lima belas ribu, aku bisa langsung sampai tanpa terjebak macet. Suasana di sini sepi, hanya ada seorang pria muda yang sepertinya baru keluar ruangan.
Tanpa sengaja kami bertabrakan. Tentu saja aku meminta maaf terlebih dahulu pada orang asing itu. Lalu dengan langkah cepat masih mengenakan seragam putih biru dan tas ransel di punggung, aku masuk ruangan, menutup pintu kencang.Â
Di sana ada aku, dan seorang perempuan berusia 33 tahun.
"Berapa kali Kakak bilang untuk jangan datang tiba-tiba? Di mana sopan santun kamu yang masuk tanpa permisi?"
Aku sudah menduga bahwa Kak Larisa akan sedikit marah.
Sebuah amplop coklat tertutup menjadi barang bukti yang harus kutunjukkan saat ini juga di hadapannya. Maka aku menyimpan amplop itu di meja, yang langsung dibuka, kemudian memancing reaksinya jadi sedikit terkejut.
"Aku mau penjelasan untuk semua ini!" kataku dengan nada tinggi tanpa mempedulikan bahwa ia berusia 18 tahun lebih tua.
"Adiyaksa, kamu harus tenang. Sekarang duduk dulu, ya," jawab Kakak mulai menenangkan.
Aku mengikuti apa yang dikatakannya meski diri ini masih memiliki gejolak emosi yang sulit tertahan.
Kak Larisa mencoba untuk menjelaskan sesuatu tapi semua terasa berbelit. Malah membahas soal Ibu dan Ayah yang sudah meninggal sejak aku berusia 3 tahun, lalu merembet ke permasalahannya yang dulu pernah nyaris tak akan melanjutkan pendidikan.
"Aku cuma mau satu jawaban," kataku memotong. "Kakak adalah ibu kandung aku, kan? Orang yang telah melahirkan aku!"
"Iya," jawabnya pelan setelah jeda beberapa detik.
"Tega ya Kakak membohongi aku selama ini."
Saat itu juga aku memilih keluar untuk mencari ketenangan. Setidaknya untuk sekarang, aku masih belum bisa menerima semua kenyataan ini.
***
Aku sengaja mematikan ponsel agar Kak Larisa tidak bisa melacak keberadaanku. Mungkin hal ini akan membuatnya khawatir, tapi setidaknya aku masih bisa jaga diri meski masih mengenakan seragam sekolah yang ditutup jaket.
Sebelumnya aku telah menghubungi Mba Key, salah satu teman terdekat Kakak. Kami sepakat bertemu di foodcourt salah satu mal yang jaraknya cukup jauh dari tempat praktik psikolog tadi. Sesuai janjinya, Mba Key datang seorang diri. Ia tampak sedikit khawatir melihatku yang terlihat masih kebingungan.
"Larisa tadi nelepon. Tapi sesuai perintah kamu, Mba bilang nggak tahu kamu ada di mana. Sebenarnya ini ada apa?"
Melihat remaja tanggung usia 15 yang tiba-tiba datang seorang diri di sini bahkan tanpa memberi tahu siapapun mungkin terlihat mengkhawatirkan untuknya. Jadi tanpa berbasa-basi, aku menceritakan kejadian hari ini.
Tentang aku yang mulai curiga dengan banyaknya kemiripan dengan Kak Larisa. Mulai dari wajah, sifat keras, sampai golongan darah. Mungkin semua kebetulan belaka karena status kami adalah kakak-adik, sampai suatu ketika aku menemukan beberapa foto lawasnya di kamar.
Ada Kak Larisa di sana dengan dengan perut yang besar, sampai menggendong bayi. Di foto itu tertulis tanggal pengambilan gambar yang mana tak jauh dari tanggal lahirku.
"Selama ini Kak Larisa mendidik aku keras terutama dalam hal pubertas remaja. Ternyata memang ini alasannya, biar aku nggak menghamili perempuan di luar pernikahan seperti apa yang dialaminya dulu. Iya kan, Mba?"
Mba Key menarik napas panjang sambil menatapku miris. Ia menggenggam tanganku erat.
"Siapa ayah aku, Mba? Siapa laki-laki yang membuat Kakak menanggung beban seberat ini?"
"Mba juga nggak tahu, Di," jawab Mba Key lirih. "Karena... Larisa bukan hanya sekadar hamil di luar nikah."
"Maksudnya?" tanyaku penasaran.
"Dia korban pemerkosaan tragis oleh tiga teman sekolahnya yang nggak bertanggungjawab. Sampai sekarang, dia bahkan nggak tahu siapa ayah biologis kamu dari ketiga laki-laki itu."
Badanku seketika lemas sampai tak bisa berkata apa-apa lagi. Ternyata apa yang terjadi 14 tahun lalu lebih mengerikan dibanding apa yang aku pikir sebelumnya.
***
L A R I S A
Ini sudah hampir jam tujuh malam dan Adiyaksa sama sekali belum bisa dihubungi. Aku benar-benar khawatir dengan kondisinya saat ini. Apa dia ada di tempat yang aman? Atau, apa dia sudah makan? Bagaimana jika penyakit maag-nya kambuh? Semua pikiran itu terus menghantui seakan tak membiarkan diri ini tenang.
Aku sama sekali tak bermaksud menyembunyikan fakta ini terlalu lama. Aku hanya berpikir dia belum cukup siap menerima semuanya, setidaknya sampai usianya menginjak 17. Tapi ternyata Adiyaksa membongkar rahasia ini lebih dulu sebelum waktunya tiba. Sampai aku sadar bahwa yang sebenarnya tidak siap menerima kenyataan bukanlah dia, melainkan aku.
Di tengah kekalutan itu, sebuah mobil berhenti depan rumah. Aku tahu betul itu mobil milik Keyla, teman tedekatku sejak di bangku kuliah.
"Key! Untung kamu datang," kataku keluar rumah menyambut Keyla. "Aku nggak tahu harus cari Adi ke mana lagi. Aku udah coba hubungi teman dan guru, tapi sama sekali nggak ada yang tahu."
"Larisa, tenang!" kata Keyla mengguncang pelan bahuku.
Sebelum bicara lagi, seorang laki-laki remaja berbadan tinggi dengan seragam putih birunya keluar dari mobil. Itu Adiyaksa!
Aku segera berlari ke arahnya, mendekap tubuhnya erat melepas semua rasa khawatir ini. Adiyaksa masih membeku dengan sorot mata kosong. Ia sempat membalas pelukanku, tapi langsung berlalu masuk ke rumah tanpa mengatakan apapun.
"Apa yang terjadi, Key?" tanyaku tanpa mempersilakan Keyla masuk.
"Aku ceritakan semuanya tentang kamu. Mungkin Adi masih shock, tapi cepat atau lambat dia pasti bisa menerima ini semua."
Sempat ada rasa sesal kenapa harus orang lain yang menceritakan ini semua, bahkan aku nyaris marah pada Keyla yang seakan melangkahiku.
"Dengar, cukup aku yang membuka luka lama itu. Aku nggak mau kamu harus mengulang nostalgia itu dalam pikiran kamu."
Aku mengerti maksudnya.
"Kamu adalah perempuan hebat yang sudah membesarkan Adi, anak yang sebenarnya nggak pernah kamu inginkan. Kamu juga selalu membantu pasien kamu untuk kembali bangkit dari keterpurukannya, terutama mereka korban pelecehan seksual. Ingat ya, nggak perlu ada yang dikhawatirkan."
Begitu selesai dengan ucapannya, aku memeluk Keyla erat sambil menahan air mata. Bukan soal Adiyaksa, tapi soal diriku yang ternyata sudah bertahan sampai sejauh ini. Aku manusia kuat dan akan terus berjuang.
"Thanks ya, Key," kataku melepaskan pelukan. "Oh iya, gimana persiapan pernikahanmu?"
"Sudah hampir 100% pastinya. Jangan lupa untuk ambil jahitan baju bridesmaid di butik biasa, ya." Keyla mengingatkan.
Tak lama setelah itu Keyla pamit. Aku masuk ke rumah dan dengan ragu menuju kamar Adiyaksa yang letaknya dekat dapur. Dia duduk di kasur belum melepas seragamnya. Kami sempat saling tatap beberapa detik.
Laki-laki remaja yang tingginya hampir menyusulku itu bangkit, lalu berjalan cepat memelukku yang masih mematung. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya memberi pelukan seolah memang cukup ini saja yang dibutuhkannya.
"Kak..." katanya pelan. "Aku... belum siap untuk panggil Kakak jadi Ibu, Mama, Bunda, atau apapun itu. Semua masih canggung untuk aku."
Aku sempat menahan tawa sesaat.
"Hei, kamu itu tetap adik kecil Kakak. Hal kayak gitu bisa berjalan seiring waktu. Oke?"
Adiyaksa mengangguk sambil memberikan senyum terbaik.
"Kakak tadi beli brownis kukus. Kamu suka, kan?"
Kami menuju dapur untuk menikmati kue manis sambil berbincang hangat. Seperti soal pasienku yang seorang laki-laki namun mengalami pelecehan seksual, juga tentangnya yang ternyata diam-diam telah menyukai teman sekelasnya.
Bagiku, siapapun aku atau siapapun Adiyaksa, itu bukan masalah besar asalkan kami bisa tetap bersama selamanya.
***
Who Am I? - Selesai
Baca cerita Keyla di sini, juga cerita pasien Larisa di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H