Aku sama sekali tak bermaksud menyembunyikan fakta ini terlalu lama. Aku hanya berpikir dia belum cukup siap menerima semuanya, setidaknya sampai usianya menginjak 17. Tapi ternyata Adiyaksa membongkar rahasia ini lebih dulu sebelum waktunya tiba. Sampai aku sadar bahwa yang sebenarnya tidak siap menerima kenyataan bukanlah dia, melainkan aku.
Di tengah kekalutan itu, sebuah mobil berhenti depan rumah. Aku tahu betul itu mobil milik Keyla, teman tedekatku sejak di bangku kuliah.
"Key! Untung kamu datang," kataku keluar rumah menyambut Keyla. "Aku nggak tahu harus cari Adi ke mana lagi. Aku udah coba hubungi teman dan guru, tapi sama sekali nggak ada yang tahu."
"Larisa, tenang!" kata Keyla mengguncang pelan bahuku.
Sebelum bicara lagi, seorang laki-laki remaja berbadan tinggi dengan seragam putih birunya keluar dari mobil. Itu Adiyaksa!
Aku segera berlari ke arahnya, mendekap tubuhnya erat melepas semua rasa khawatir ini. Adiyaksa masih membeku dengan sorot mata kosong. Ia sempat membalas pelukanku, tapi langsung berlalu masuk ke rumah tanpa mengatakan apapun.
"Apa yang terjadi, Key?" tanyaku tanpa mempersilakan Keyla masuk.
"Aku ceritakan semuanya tentang kamu. Mungkin Adi masih shock, tapi cepat atau lambat dia pasti bisa menerima ini semua."
Sempat ada rasa sesal kenapa harus orang lain yang menceritakan ini semua, bahkan aku nyaris marah pada Keyla yang seakan melangkahiku.
"Dengar, cukup aku yang membuka luka lama itu. Aku nggak mau kamu harus mengulang nostalgia itu dalam pikiran kamu."
Aku mengerti maksudnya.