Kami menangis bersama-sama di wahana itu yang semakin ke bawah. Mungkin sekitar 5 menit lagi putaran bianglala ini akan sampai pada dasarnya.
Setelah tangisan sedikit mereda, aku tidak sadar bahwa wajah Andy ternyata sudah begitu dekat denganku. Tatapan matanya yang basah bertemu dengan mataku yang sendu. Irama jantung sudah bekerja di luar batas normal. Ada perasaan takut, bahagia, serta sedih bercampur jadi satu.
Beberapa detik setelahnya bibir kami lah yang bertemu. Ini ciuman pertamaku bersamanya setelah sekian tahun bersama dalam ikatan persahabatan. Aku tahu ini salah, namun biarkan aku menikmatinya sebentar saja.
Hanya untuk hari ini.
***
Ada satu cerita yang tidak kalah menariknya antara aku dan Andy. Saat itu kami di taman rumah sakit tempat Kania dirawat. Kepalaku bersandar pada bahunya sembari melihat matahari sore yang terbenam di ufuk Barat. Kemilau jingga tua itu memanjakan mata, namun juga justru mengalirkan air yang membasahi pipi.
"Seminggu yang cukup berkesan," kataku padanya.
Andy hanya terdiam. Ia pasti masih kaget ketika pagi tadi diberi kabar bahwa Kania berhasil melewati masa-masa kritisnya, meski keadaannya saat ini belum pulih sempurna. Aku pun tidak yakin apakah itu merupakan kabar baik atau justru jadi kabar buruk.
Padahal, setelah kejadian manis di Bianglala Dufan, hubungan kami begitu dekat seperti orang yang sedang memadu kasih. Aku tidak pernah ragu untuk bersandar di bahunya, saling menggenggam tangan saat nonton di bioskop, atau justru memadukan bibir kami di dalam mobil ketika ia mengantarku pulang.
"Kamu nggak boleh tinggalin Kania."
Aku melepas kepalaku dari pundaknya. Kini mata kami saling tatap.