"Kamu suka kan sama aku?" Andy bertanya langsung pada poin penting. "Aku bisa lihat dari tatapan kamu selama ini."
"Iya, Ndy! Aku suka sama kamu sejak bertahun-tahun lalu."
"Terus masalah kita apa sekarang? Toh kita punya perasaan yang sama."
"Kamu nggak mikirin perasaan Kania, hah?"
Suaraku perlahan memudar. Disusul oleh air mata yang tidak kuasa lagi kutahan. Andy menyekanya, menyentuh lembut bagian pipiku yang basah.
"Gimana kalau aku kehilangan dia? Siapa lagi yang aku punya?" Ia malah balik bertanya.
Memang, dokter pernah bilang bahwa harapan hidup Kania sangatlah kecil. Saat ini ia hanya bisa bertahan dengan alat-alat kedokteran yang tidak aku mengerti.
"Orang tua aku cerai sejak aku masih SD. Ibuku, satu-satunya tulang punggung keluarga untuk anak semata wayangnya, kini nggak ada lagi di sini. Dan sekarang Kania pun nyaris menyusul Ibu. Aku nggak tahu harus ke siapa lagi selain kamu."
Lagi-lagi aku harus melihat Andy menangis. Air mata yang keluar dari kedua matanya itu benar-benar membasahi pipinya. Kali ini giliranku lah yang menghapus air matanya.
"Aku tahu ini bukan cara dan waktu yang tepat. Tapi aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku stres, Ris. Aku stres.
Sekarang, tangisannya semakin menjadi.