Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mencintai Jingga pada Senja yang Salah

4 Juli 2019   16:22 Diperbarui: 4 Juli 2019   16:41 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by wallpapercraft.com

Panas matahari yang membakar kulit tidak menyurutkan semangatku untuk menelusuri tempat hiburan ini. Berlokasi di Ancol dengan wahana seru sebagai daya tariknya, membuatku datang di hari kerja dengan merelakan jatah cutiku yang tinggal sedikit. Karena aku tahu, jika mengambil waktu di hari libur atau weekend, suasana akan jauh lebih ramai dibandingkan sekarang ini.

Sama denganku, Andy juga sengaja mengambil cuti di sela kesibukannya sebagai jurnalis salah satu media cetak terbesar di ibu kota. Kita hanya berdua di tempat ini. Ya, hanya berdua. Tidak ada Kania, kekasihnya.

Oh, ayolah, aku tidak ingin membahas soal Kania sekarang. Aku hanya memerlukan waktu berdua dengan sahabatku hari ini saja. Sejak menjalin hubungan bersama gadis itu dua tahun lalu, pertemuan kita jadi terbatas. Seharusnya aku pun sadar bahwa sejak saat itu posisiku otomatis akan terganti.

Di tengah lamunan itu ditemani oleh orang yang memadati Dufan, Andy mengajakku ke wahana Bianglala. Kebetulan saat itu antreannya tidak begitu panjang. Bahkan aku dan dia bisa menempati salah satu tempat kincir hanya berdua saja tanpa orang lain di dalamnya.

Wahana itu bergerak perlahan hingga posisiku mulai naik ke tempat yang lebih tinggi. Andy duduk di sampingku sambil sesekali melihat pemandangan ke bawah.

"Udah lama ya kita nggak main berdua gini," katanya menatapku.

"Kamu kan sibuk pacaran," jawabku bercanda.

"Dan kamu sibuk menjomblo."

"Oh, ayolah. Tiga laki-laki aku tolak dalam jangka waktu satu tahun. Seenggaknya aku ini menarik, kan?"

Kita tertawa kemudian seolah sedang tidak memiliki masalah saat itu.

"Riska, kita sahabatan udah berapa tahun, ya?" tanyanya tiba-tiba ketika kita sama-sama hening.

Tentu aku bisa menjawabnya dengan mudah. Enam tahun. Pertemuan pertama saat orientasi kampus menjadikan kami dekat di hari-hari selanjutnya. Banyak kesamaan yang menyatukan kami. Rasanya begitu nyaman memiliki sahabat laki-laki seperti dia. Aku ingat, Andy bahkan pernah bertengkar dengan salah satu mantan pacarku karena tahu saat itu aku diselingkuhi.

Begitu pula dengan aku yang selalu ada di saat-saat terburuknya. Ketika Ibunya meninggal, aku rela sendirian datang tengah malam ke rumah sakit. Di sana, aku melihat Andy menangis untuk kali pertama. Dekapan yang kuberikan saat itu membuatku sadar ada kehangat lain dari hubungan ini.

Aku mulai menyukainya lebih dari sekadar sahabat.

"Six years, maybe," jawabku ketika Bianglala mulai naik lagi satu tingkat meski belum sampai puncak.

"Oke, pertanyaan kedua. Masing-masing dari kita punya berapa mantan?" tanyanya lagi. Kali ini lebih serius.

"Ndy, kamu punya 2 mantan waktu SMA, 1 mantan waktu kuliah, dan sekarang sedang menjalin hubungan sama seseorang. Aku? Punya 1 mantan di SMA dan 1 mantan di kampus yang pernah kamu labrak. Bedanya aku menolak laki-laki yang punya perasaan ke aku. Buat apa sih kamu nanya yang nggak penting gini?"

"Pernah nggak sih kamu merasa bahwa ketika kita bareng-bareng berdua dan ketika kita punya hubungan sama orang lain, rasanya itu beda?"

Aku terdiam dalam jeda yang kubuat sendiri. Tentu jawabannya berbeda, karena aku merasakannya jauh sebelum Andy menanyakan ini.

***

Aku ingat saat itu Andy baru selesai KKN di salah satu wilayah terpencil di Jawa Barat. Dua bulan lamanya ia menghabiskan waktu di tempat itu. Komunikasi kami terbatas karena ia kesulitan menemukan sinyal di sana. Maka ketika pertemuan pertama setelah waktu yang lama tersebut, kami melepas kangen dengan bermain ke salah satu kolam renang di wilayah Bogor.

Ketika menelusuri kolam renang yang mengalir seperti sungai, Andy mengatakan sesuatu yang sedikit membuatku terkejut. Ia menyukai salah satu teman perempuannya yang juga satu kelompok KKN dengannya.

"Namanya Kania, Ris. Dia cantik sih, tapi bukan itu aja yang buat aku suka sama dia."

Aku tidak bisa melupakan tatapan matanya yang begitu hangat ketika menceritakan perempuan itu. Hingga dua bulan kemudian setelah melakukan pendekatan, mereka resmi menjalin hubungan hingga saat ini.

Kemudian, cerita persahabatan kami perlahan pudar. Sikap Kania yang cemburuan terkadang membuatku harus bisa menjaga jarak dengan Andy. Bahkan dalam sekali waktu aku merasa bahwa laki-laki itu seakan menjadi orang asing bagiku.

"Ada rasa nyaman tersendiri kan waktu kita berdua?" jawabku dengan membalas pertanyaan.

"Ya, itu maksud aku," kata Andy mantap. "Bahkan ada sesuatu yang hilang ketika aku punya hubungan dengan Kania. Itu karena kita jauh."

Jantungku mulai berdebar lebih kencang. Ini benar-benar bukan waktu yang tepat.

"Aku bisa ngerti maksud kamu. But please, not today."

Posisi Bianglala kini berada di puncak. Sinar matahari menyempurnakan mata coklat Andy yang kini bertatap denganku. Kedua telapak tangannya menyentuh bahuku.

"Tell me if you love me, more than best friend."

***

Andy tidak pernah menyukai rumah sakit sejak kejadian Ibunya yang meninggal karena kanker. Tapi saat itu ia terpaksa datang ke sana bersamaku. Aku tidak bisa melupakan desah napasnya ketika ia menelepon. Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar karena menahan tangis.

Satu lagi dekapan yang aku berikan padanya. Sama hangatnya ketika aku memeluknya beberapa tahun lalu.

"Semua akan baik-baik aja. Kita doakan yang terbaik," kataku.

Andy sama sekali tidak melakukan gerakan. Ia masih mendekapku di koridor rumah sakit meski beberapa orang yang lalu-lalang melihatnya.

"Jangan tinggalan aku, Ris. Aku mohon"

Setelah kondisinya sedikit membaik, Andy mulai menceritakan kejadian apa yang dialami oleh Kania hingga ia terpaksa harus dilarikan ke sini. Ternyata perempuan itu kecelakaan ketika menaiki taksi online menuju tempat kerjanya. Sang supir kehilangan nyawanya di tempat kejadian, sementara Kania masih bisa diselamatkan meski kondisinya sangat kritis.

***

"Kita nggak bisa bicarain ini, Ndy. Pacar kamu sedang koma dalam beberapa minggu terakhir. Dan sekarang kamu bilang bahwa kamu punya perasaan lebih ke aku?"

Posisi bianglala mulai turun. Suaraku yang meninggi sepertinya tak akan terdengar oleh siapapun dari sini.

"Kamu udah mau melamarnya, bukan?" tanyaku memastikan.

"Ini bukan masalah soal lamaran, Ris. Ini soal rasa nyaman aku sama kamu. Jika pun saat ini keadaan dia baik-baik aja, aku akan tetap terkekang karena kondisi kita yang semakin jauh."

Aku benar-benar kehilangan akal menghadapi sikap Andy sekarang ini. Aku memang menyukainya jauh sebelum saat ini. Tapi bukan ini juga momen yang aku harapkan. Sejak awal hubungannya dengan Kania, aku sudah tahu bahwa perasaanku ini tidak akan terbalas. Aku sudah membiasakan diri untuk bisa hidup tanpa sosoknya.

"Kamu suka kan sama aku?" Andy bertanya langsung pada poin penting. "Aku bisa lihat dari tatapan kamu selama ini."

"Iya, Ndy! Aku suka sama kamu sejak bertahun-tahun lalu."

"Terus masalah kita apa sekarang? Toh kita punya perasaan yang sama."

"Kamu nggak mikirin perasaan Kania, hah?"

Suaraku perlahan memudar. Disusul oleh air mata yang tidak kuasa lagi kutahan. Andy menyekanya, menyentuh lembut bagian pipiku yang basah.

"Gimana kalau aku kehilangan dia? Siapa lagi yang aku punya?" Ia malah balik bertanya.

Memang, dokter pernah bilang bahwa harapan hidup Kania sangatlah kecil. Saat ini ia hanya bisa bertahan dengan alat-alat kedokteran yang tidak aku mengerti.

"Orang tua aku cerai sejak aku masih SD. Ibuku, satu-satunya tulang punggung keluarga untuk anak semata wayangnya, kini nggak ada lagi di sini. Dan sekarang Kania pun nyaris menyusul Ibu. Aku nggak tahu harus ke siapa lagi selain kamu."

Lagi-lagi aku harus melihat Andy menangis. Air mata yang keluar dari kedua matanya itu benar-benar membasahi pipinya. Kali ini giliranku lah yang menghapus air matanya.

"Aku tahu ini bukan cara dan waktu yang tepat. Tapi aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku stres, Ris. Aku stres.

Sekarang, tangisannya semakin menjadi.

Kami menangis bersama-sama di wahana itu yang semakin ke bawah. Mungkin sekitar 5 menit lagi putaran bianglala ini akan sampai pada dasarnya.

Setelah tangisan sedikit mereda, aku tidak sadar bahwa wajah Andy ternyata sudah begitu dekat denganku. Tatapan matanya yang basah bertemu dengan mataku yang sendu. Irama jantung sudah bekerja di luar batas normal. Ada perasaan takut, bahagia, serta sedih bercampur jadi satu.

Beberapa detik setelahnya bibir kami lah yang bertemu. Ini ciuman pertamaku bersamanya setelah sekian tahun bersama dalam ikatan persahabatan. Aku tahu ini salah, namun biarkan aku menikmatinya sebentar saja.

Hanya untuk hari ini.

***

Ada satu cerita yang tidak kalah menariknya antara aku dan Andy. Saat itu kami di taman rumah sakit tempat Kania dirawat. Kepalaku bersandar pada bahunya sembari melihat matahari sore yang terbenam di ufuk Barat. Kemilau jingga tua itu memanjakan mata, namun juga justru mengalirkan air yang membasahi pipi.

"Seminggu yang cukup berkesan," kataku padanya.

Andy hanya terdiam. Ia pasti masih kaget ketika pagi tadi diberi kabar bahwa Kania berhasil melewati masa-masa kritisnya, meski keadaannya saat ini belum pulih sempurna. Aku pun tidak yakin apakah itu merupakan kabar baik atau justru jadi kabar buruk.

Padahal, setelah kejadian manis di Bianglala Dufan, hubungan kami begitu dekat seperti orang yang sedang memadu kasih. Aku tidak pernah ragu untuk bersandar di bahunya, saling menggenggam tangan saat nonton di bioskop, atau justru memadukan bibir kami di dalam mobil ketika ia mengantarku pulang.

"Kamu nggak boleh tinggalin Kania."

Aku melepas kepalaku dari pundaknya. Kini mata kami saling tatap.

"Tapi gimana dengan hubungan kita?"

"Kenapa kamu nggak ganti pertanyaan menjadi bagimana dengan Kania? Nggak mungkin kamu meninggalkan dia di kondisinya yang sekarang. Aku pun nggak mau jadi orang ketiga di antara kalian."

"Ris..." kata Andy yang kehabisan kata-kata. Tatapan matanya pun begitu menyedihkan.

"Aku akan baik-baik aja. Begitu pula dengan kamu. Jalani hidup bersama dia, bukan aku."

Sebelum meninggalkannya ketika senja sempurna menghilang, aku menicum pipi kanannya dan mengatakan bahwa aku tetap mencintai dia. Aku pun berkata suatu saat nanti akan ada laki-laki lain yang bisa menggantikan posisinya. Semua hanyalah masalah waktu.

Sekalipun aku dan dia ditakdirkan bersama dalam ikatan yang lebih dari sekadar pertemanan, aku yakin Tuhan akan kembali mempertemukan kami pada cerita baru yang lebih indah.

***

Mencintai Jingga Pada Senja yang Salah -SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun