sebagaimana pemahaman yang keliru tentang Islam Nusantara Atau dengan diksi yang sedikit berbeda bahwa Islam Nusantara adalah dialektika antara normativitas Islam dan historisitas keindonesiaan yang meliputi sejak masuknya Islam ke Nusantara, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, kemudian melahirkan ekspresi dan manifestasi umat Islam Nusantara, yang direspon dalam suatu metodologi dan strategi dakwah para alim ulama, Walisongo, dan para pendakwah Islam untuk memahamkan dan menerapkan universalitas (syumul- ryah) ajaran Islam, sesuai prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jama'ah.
Dengan definisi ini, menjadi jelas apa itu Fikih Nusantara Pertanyaannya, lalu metodologi apa yang digunakan oleh para ulama Nusantara dalam melakukan penggalian hukum fikih Nusantara. Catatan berikut hendak mensimpliplifikasi bagaimana metodologi fikih Nusantara itu dibangun.
Para ulama menggunakan metodologi yang berbeda beda ketika melakukan istinbat hukum Islam. Di kalangan Ushul Fiqh, ulama terpolar pada dua kelompok besar Ulama Hanafiyah dan Jumhur Ulama. Keduanya memiliki alur dan paradigma yang berbeda satu dengan lainnya.
Demikian halnya, para ulama Nusantara menggunakan metodologi tertentu ketika membangun fikih Nusantara Hanya secara umum, ulama Nusantara menggunakan dalil-dalil yang mu'tabar sama dengan ulama dunia misalnya al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas Dengan kata lain, metode yang umum dalam istinbat al-ahkam fikih Nusantara adalah fokus pada al Qur'an, hadits, ijma dan Qiyas. Hanya saja, ulama Nusantara memberikan "penekanan" akan pentingnya beberapa metode sebagaimana di bawah ini yang seringkali digunakan dalam melakukan istinbat hukum Islam (figh) Nusantara. Lebih dari itu, para ulama Nusantara juga melakukan aktualisasi terhadap beberapa metode yang disebut tadi.
Adapun metode Fikih Nusantara adalah sebagaimana catatan saya berikut di bawah ini Pertama, Metode Maslahah (Mu'tabarah dan Mursalah) Metode yang pertama dalam fikih Nusantara adalah
maslahah. Acuan maslahah tetap menjadi utama dan pertama ketika menentukan hukum-hukum dalam fikih Nusantara. Meski ada yang langsung maupun tidak langsung, penulis menjumpai maslahah adalah acuan kala membangun diktum-diktum fiqhnya. Tentang maslahah ini, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah" mengatakan:
, .
"Sesungguhnya syari'at itu bangunan dan fondasinya didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) dan kemaslahatan para hambanya di dunia dan akhirat. Syariat secara keseluruhannya adalah keadilan, rahmat, kebijaksanaan dan kemaslahatan. Maka dari itu, segala perkara yang mengabaikan keadilan demi tirani, kasih sayang pada sebaliknya, kemaslahatan pada kemafsadatan, kebijaksanaan pada kesia-siaan, maka itu bukan syari'at, meskipun semua itu dimasukkan ke dalamnya melalui interpretasi".
Secara lebih rinci, al-Ghazali menyebut maslahah dengan :
"Maslahah, pada asalnya, adalah ungkapan tentang penarikan manfaat atau menolak madharat. Namun, yang kami maksud bukanlah hal itu, karena menarik manfaat dan menolak madharat adalah tujuan makhluk (manusia) dan kelayakan yang dirasainya dalam mencapai tujuan. Akan tetapi, yang kita maksud dengan maslahah adalah maqshud as-syar'i Sementara tujuan syar'i dari makhluk adalah memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan Setiap sesuatu yang mengandung lima hal ini adalah maslahah Sementara, yang tidak mengandung lima ini adalah mafsadah dan menolaknya termasuk maslahah"
Hanya saja, tema maslahah adalah tema yang 'rawan digunakan untuk melegalkan semua praktik transaksi atau apapun dimensi maslahah yang terkandung dalam sebuah perbuatan. Kalangan Islam tradisional oleh karena itu sangat hati-hati dengan terma maslahah karena pada praktiknya, masih menurut mereka, terma ini banyak dibajak oleh kalangan Islam Liberal. Misalnya Abdul Moqsith Ghazali yang condong pada Jaringan Islam Liberal menyembulkan kaidah Ushul fikih "jawaz naskh an-nushus al-juz'ryat bi al-maslahat". It is possible to abrogate the particular verses by mashlahat.