Definisi ini menjadi penting di tengah sebagian kalangan yang mengkritik keras Islam Nusantara. Sebut misalnya Islam Nusantara memudarkan dimensi Islam Rahmatan lil alamin, padahal justru  dalam Islam Nusantara terkandung Islam Rahmatan lil alamin. Tegasnya model akulturasi Islam dengan keindonesiaan justru menunjukkan secara gamblang pada kita bahwa  tentang dimensi rahmatan lil alaminnya tersebut.
Menguatkan definisi ini, KH Musthafa Bisri jauh sebelumnya menegaskan bahwa susunan kalimat Islam dan Nusantara adalah penyandaran idhafi yang menyimpan makna fi.  Gus Mus, nama akrab KH. Mustafa Bisri-lalu mengilustrasikan dengan istilah "air gelas" yang berarti air di dalam gelas, bukan airnya gelas. Demikian halnya dengan Islam Nusantara, ini tak berarti Islamnya yang  Nusantara tetapi harus dipahami dengan Islam di Nusantara.
Dalam konteks ini juga Gus Mus berkata: "Bila di batok kepala sebelumnya belum ada sesuatu yang bercokol, dalam istilah santri khaliyah adz-dzihni, istilah Islam Nusantara itu sebenarnya sederhana saja, apalagi bagi mereka yang sudah pernah ngaji Nahwu dan tidak melewatkan bab Idlofah. Idlofah tidak hanya punya makna lam, tapi juga bermakna fi atau min"
Penjelasan Mustofa Bisri tentang Islam Nusantara sejatinya merujuk pada gramatika Arab. Ibnu Malik dalam "Kitab Alfiyah" menjelaskan tiga arti dalam tarkib idlafah sebagaimana bait berikut:
"Watsaniyajrur wanwi min au fi idza # Lam yashluh illa dzaka wallama khudza"
Yang mempunyai Arti: Dan jerkanlah yang kedua (mudlaf ilaih). Dan berniatlah menyimpan arti min (dari) atau fi (di dalam) # Ketika tidak patut kecuali dua arti tersebut, dan ambillah arti li (untuk).
Jika ditarik benang merah pada apa yang tadi dikatakan oleh Gus Mus, maka yang tepat adalah arti fi (di dalam). Maksudnya, Islam yang berada di bumi Nusantara. Jika mengambil dua arti lain (min dan li), maka hal inilah nantinya yang akan menyesatkan pemahaman banyak kalangan, sebagaimana terjadi ketika wacana Islam Nusantara dimunculkan di publik.
Arti "min" dan "li", tidak tepat digunakan dalam Islam Nusantara, karena justru malah akan menimbulkan kerancauan ke berbagai pihak. Dengan demikian, secara definisi, Islam Nusantara adalah Islam yang hidup dan berkembang di bumi Indonesia, bukan Islam yang hidup dan berkembang dari Indonesia atau juga bukan Islam yang tumbuh dan berkembang untuk Indonesia Islam yang hidup di bumi Indonesia dalam beberapa abad lamanya ini membentuk karakter sendiri yang menjadikannya dalam beberapa hal -berbeda dengan Islam Arab yang selama ini dijadikan episentrum peradaban dunia.
Oleh karena itu, istilah fikih Nusantara yang menjadi bagian dari Islam Nusantara sebagaimana dimaksud adalah fikih Indonesia  Dalam bahasa Arab, ini disebut itlaqul kulli wa iradutul juz. Menyebutkan yang umum, tapi yang dimaksud adalah sesuatu yang khusus.
Setidaknya, ada dua alasan mengapa istilah Nusantara direduksi hanya Indonesia. Pertama, ketika istilah ini digulirkan baik Islam maupun fikih Nusantara di Muktamar NU Jombang, maka yang dimaksud adalah Islam dan fikih Indonesia. Kedua, secara historis, istilah fikih Indonesia sudah pernah dikumandangkan pada tahun 1940-an oleh Prof. Hasbi as Shidiqi.
 Jika pada tahun 2015, Fikih Nusantara digemakan maka ini adalah kelanjutan fikih Indonesia yang dulu digemakan Hasbi as-Shidiqi, meskipun Hasbi dikritik banyak pihak karena bagian dari kelompok modernis yang anti-kearifan lokal. Oleh karena itu, jika dilacak lebih jauh, maka fikih Indonesia sejatinya bersambung dengan para ulama Nusantara tempo dulu dan Walisongo yang telah lebih dulu menemukan dasar-dasar fikih Indonesia,