Dalam definisi lain, fiqh sebagaimana dinyatakan oleh Wahab Khalaf, ialah ilmu tentang hukum syar'i yang bersifat amaly yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan , ulama lain mendefinisikan fikih dengan "ilmu tentang hukum syar'i yang menggunakan metode ijtihad". Yang intinya Jika definisi yang pertama, menekankan tentang hukum syar'i yang praktis, maka yang definisi yang kedua adalah selain sama dengan pertama, juga  menekankan metode penggalian fikih melalui ijtihad ulama.
Setidaknya, ada dua catatan dalam definisi ini, yaitu pertama fikih sebagai hukum syar'i dan yang  kedua fikih sebagai produk ijtihad. Dengan dua catatan ini, sesungguhnya menunjukkan karakter fikih yang dinamis dan tidak statis atau bisa kitang juga dengan fleksibel.
Posisi fikih berbeda dengan hukum i'tiqadiyah (akidah) yang bersifat dogmatis dan tidak akan berubah selamanya. Dalam ranah fiqh, hukum yang ada bisa saja  berubah-ubah (mutaghayirat) dan ada yang tetap (tsawabit) tergatung bagaimana kondisinya.
Wilayah fikih yang tetap adalah yang konstan dan bersifat selama-lamanya seperti ibadah mahdlah, Sholat, puasa, dan haji. Hal itu semua  adalah tema-tema yang tidak berubah dimakan waktu dan tempat. Kalaupun berubah, itu adalah pada level rukkhsah yang bersifat minimalis sesuai dengan kemampuan mukallaf.
Rukhsah ini semakin mendapat tempat dalam kasus fikih al-Aqalliyat pada mana penduduk muslim minoritas sementara mayoritas adalah non-muslim. Dalam keadaan seperti ini, para ulama-ulama Islam memberikan kelonggaran agar umat Islam dapat melaksanakan Syari'ah di tempat dimana mereka menjadi minoritas Islam.
Di negara-negara  yang kebnayakan non muslim seperti Amerika, Inggris, Australia, China dan Taiwan misalnya berlaku fikih al-Aqalliyat dimana para umat muslim yang ada disana bisa menjalankan syariat di satu pihak, dan bisa diterima oleh komunitas non-muslim dipihak lain. Meski oleh sebagian kalangan dianggap memudahkan, namun demikian inilah memang watak  dari islam rahmatan lil alamin. Pada kondisi umumul balwa, darurat, kesulitan yang sangat dan beberapa hal yang menyulitkan, fikih memberi kelonggaran sebagai rukhsah bagi seorang muslim.
Disisi lain, hukum-hukum yang dapat berubah adalah hukum muamalah dalam pengertian luas, yakni fleksibel bukan hanya jual beli, gadai, qiradi dan sebagainya. Hukum-hukum pada soal ini bersifat menyesuaikan dengan pesatnya perkembangan dan perubahan sosial yang demikian cepat sekali. Termasuk dalam hal ini muamalah yang berkaitan dengan adat istiadat, makanan, pakaian, dan sebagainya yang menjadi produk peradaban. Yang mana hal ini  tidak mungkin menolak keniscayaan updatenya berbagai produk peradaban yang mesti dan harus  terus dituntun oleh Syari'ah.
Maka dari itu, jika kita tidak responsif terhadap perubahan tersebut, maka fikih akan tertinggal dengan kemaslahatan yang mengitarinya. Dalam konteks ini, maka fikih menjadi suatu hal mandul karena memproduksi hukum yang tidak sesuai dengan tujuan dan maqasidus syari'ah itu sendiri. Diktum fikih yang demikian ini harus dibaca ulang (re-reading) agar kembali mendapatkan ruh syariat Islam.
Dalam konteks ini, Ibnu al-Qayim al-Jauziyah mengingatkan dalam kitab I'lam al-Mutaqi in sebagaimana berikut
"Sikap jumud dengan terus bertahan dengan nukilan-nukilan adalah kesesatan dalam agama dan ketidakfahaman terhadap maksud dan tujuan ulama kaum muslimin dan ulama salaf di masa yang lalu".
Senada dengan Ibnu al-Qayim, Ibn Abidin juga mengatakan: