Dengan demikian, setiap mu'amalah tidak hanya bersifat duniawi, namun juga ada dimensi ta'abbudnya, meskipun itu sangat kecil dan lebih dominan adalah aspek duniawinya. Nilai ta'abbud mu'amalah meskipun hanya sedikit tetap dipatuhi manusia, sebagaimana manusia mematuhi nilai ta abbud dalam ibadah yang bersifat dominan.
Mua'malah terkadang mengandung nilai ta'abbud yang sulit dipahami oleh beerbagai manusia. Misalnya kasus pembunuhan yang didalamnya terhadap hak hamba (keluarga korban) untuk memaafkan pembunuh dan hukum qisas tidak dapat diberlakukan. Ini berbeda dengan pembunuhan sadis dan kejam yang tidak berlaku permaafan, sehingga meski keluarga korban memaafkan, hukum qishas tersebut akan tetap berjalan apa adanya dan tidak ada toleransi untuknya.
Contoh lain adalah 'iddah seorang perempuan. Meski iddah mengandung dimensi mu'amalah, namun ia tetap memiliki dimensi ta'abbud yang mengandung maslahah yang belum dan jarang diketahui akal.
Dimensi ta'abbud inilah yang diberikan Syari'at Islam sebagai mutammim, agar seseorang mendapatkan pahala atas perbuatan yang dilakukannya. Bertolak dari unsur taabbud ini, dalam kasus iddah perempuan yang dicerai oleh suaminya, meskipun teknologi modern kedokteran dapat mendeteksi janin yang terkandung dalam rahim perempuan, maka tetap seorang perempuan harus melakukan 'iddah dan ha; ini juga tidak bisa kita hindari sebagai umat muslim
Sebelum kita lebih spesifik lagi pada tema fikih Nusantara, kita akan kembali pada tema umum pembahasan , yaitu Islam Nusantara. Istilah Islam Nusantara sebagaimana dimaksud diatas  bukan Islam dengan teritorial yang demikian luas sebagaimana pandangan Azyumardi Azra, namun Islam Nusantara adalah Islam Indonesia. Dadi Darmadi menyebutnya dengan Islam of the archipelago", may connote different things for different people. It may mean Islam that is rooted in local values, or the kind of Islam that has been promoted by scholars, traders and missionaries wit peace, not war"
Islam Indonesia seperti dalam pengertian inilah yang dikumandangkan dalam Muktamar NU di Jombang 2015 pada waktu yang silam. Aksin Wijaya juga menyebut bahwa "Nusantara" mewakili masa-masa keberadaan wilayah yang kini bernama Indonesia. Dengan kata lain, Islam Nusantara adalah nama lain dari Islam Indonesia seperti dikemukakan oleh Mujamil Qomar, bukan Islam Asia Tenggara."
Istilah Islam Nusantara ini merujuk pada pengertian Islam yang ada di Nusantara, bukan Islam untuk Nusantara, atau Islam dari Nusantara. Kesalahpahaman yang terjadi pada orang yang ingin  memahami Islam Nusantara berawal dari makna penggabungan kata yang keliru ini. Dalam jejaring sosial pada saat Muktamar NU tahun 2015 yang silam, muncul definisi Islam Nusantara yang dilantunkan dalam syair syair berikut:
Siapa yang membawa Islam Nusantara? # merekalah wali songo di Jawa
Barang siapa yang menolak Islam Nusantara # dia belum mengerti idhafah, maka ketahuilahÂ
Islam Nusantara itu Islam di Nusantara # menyimpan makna fi bukan min atau li
Tiga bait syair di atas ini menjelaskan Islam Nusantara dari sisi bahasa di mana dalam bait kedua dan ketiga. Bait ini menegaskan bahwa Islam Nusantara yang dimaksud  adalah tarkib idhafi yang menyimpan makna fi (di dalam), bukan makna min (dari) atau li (untuk).