Mohon tunggu...
gemintang
gemintang Mohon Tunggu... Arsitek - beri aku kertas dan pena, kan kulukis wajah dan kuceritakan kisahnya

mulai saja, sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sirene Hari Tua

21 Oktober 2020   13:27 Diperbarui: 21 Oktober 2020   13:34 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: review.topmaxtech.net

sebuah sendiriku

setangkai lagu

kawani bunga

kulanjutkan suratmu

yang nyatakan suara hati

ya, aku sendiri

tapi tak apa, toh itu tak tabu

("apakabarmu setelah salju kemarin?

 kopi yang kujerang ternyata sia-sia sebab tak akan panas

 sekarang saja kacamataku ikut berembun

 jika kulepas pasti aku tak bisa menulis

rumah tua ini menjadi belahan hatiku

 sebab di dalamnya banyak bekas bekasmu

 jaket hujan yang kau gantung di balik pintu masih tetap di situ,

 dan sepertinya aku akan mengabadikannnya biar terasa kau seperti ada

oya, surat kepindahanmu sudah kuurus

 ingat pak cipto yang dulu pernah jadi loper koran di kompleks rumahku?

 nah, beliaulah yang tandatangani berkas berkasmu

 yah, terbukti sudah dunia memang berputar

lagu romantis kita masih menjadi sisipan indah dalam rutinitas hidupku 

 walau piringan hitamku sudah renyah, namun nada yang dibunyikan 

 dari goresan-goresannya masih se-azimat keanggunan yang tiada duanya 

 harmoninya mengalun sepoi keseluruh lembah

oya sayang, burung kakak tua berjambul biru keunguan sudah mati

 aku sampai menangis di depan kuburnya yang sudah kuberi nisan

 sedihnya tak dapat kutahan hingga tidur malamku, bantal bantal basah 

 selama tiga hari, tak ada lagi celotehnya yang selalu panggil namamu 

 setiap bel pintu berbunyi bergemerincing

apakah sweater yang kurajut masih selalu kau pakai?

 apakah syal lucu yang kubeli di pasar obral masih sering menggelantung 

 di lehermu saat musim dingin?

 yah, mungkin setelah dua puluh tahun ini benda benda itu tak lagi layak pakai

 tapi jangan kau buang, kembalikan saja padaku, aku ingin menghirup

 baumu yang pasti sudah menempel di serat serat benangnya

dan apakah kau masih ingat dengan pohon anggur yang kau tanam di

 taman kecilku? aku ingat kau selalu mengutip biji biji yang keluar dari

 mulutku dan memasukkannya ke dalam tanah dekat kaki kita

 sayangku, mereka telah tumbuh besar!

 sehingga aku tak lagi perlu mengayuh sepeda dalam cuaca dingin untuk

 beli anggur ke kota, sebab telah ada anggur cinta ditaman kecil yang

 selalu segar di balik jendela, tempat kita pernah beradu cium yang

 berakhir pada perseteruan keringat di kulit tengkuk

dan bagaimana kabarmu pendekar?

 sesungguhnya aku tak mau jawaban lain selain kabar kau baik baik saja

 aku tak mau kau jatuh sakit

 jangan, jangan biarkan itu terjadi

cermin di ujung ranjangku belakangan ini semakin jujur 

 ia menunjukkan rambut rambut putihku!

 ya..ya..aku sedang menua sayang

 dan kau tau, aku semakin cantik dengan keabu-abuan ini

 ditambah lagi gestur wajahku sudah mulai bergaris garis

 dan seandainya saja tiap garis di kening dan di ujung bibir itu mengeluarkan

 huruf huruf, aku yakin huruf huruf itu berbacakan, 'betapa bahagianya

 perempuan dengan satu sayap ini menghabiskan sisa hidupnya

 dengan cinta yang deras seperti air terjun pada laki laki sang pencuri hati'

sayang, dari kursi tempatku duduk matahari sudah terlihat ingin pulang

 momen ini mengingatkan aku pada kebiasaan kita ditiap senja

 berjalan bergandengan susuri jalan setapak yang basah yang diguguri

 bunga melati kecil putih

 di tanganku sudah ada bekal berisi susu coklat hangat dengan roti lapis

 buat panganan sembari duduk di atas batu untuk tatapi mentari sore

 yang selalu bisikkan selamat datang bulan, dan saat bintang telah ramai,

 kita pulang sambil berpelukan

 susu coklat hangat sudah habis, roti lapispun begitu

 tapi setiba dirumah, kau masih saja minta dibuatkan teh sambil duduk

 didepan perapian, hm..saat itu aku selalu melihatmu semakin tampan

yah, itu dua puluh tahun yang lalu

 entahlah hidupku tinggal berapa waktu lagi

 andainya hidup tak hanya sekali

 bolehkah aku meminta dikenalkan pada penggembala yang sama dalam

 kehidupan berikutnya? hingga tak perlu aku membuang waktu berlabuh di tempat lain

sudah malam sayang

 selimut yang balut tubuhkupun tak lagi mampu menahan dingin

 surat ini kukirim besok dengan menerbangkannya ke langit

 pastinya dengan seluruh rasa yang mengiringi

 -yang merindukanmu")

sebuah lagu

setangkai bunga

temani sendiriku

kuhirup bau tanah di bawah hujan pertama

Yogyakarta, November 19, 2005

catatan kecil di ujung meja yang terabadikan

-terinspirasi pada rumah kura kura

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun