“Jawablah sedikit saja, sayang,” pintanya.
“Biar saja aku jadi gila, aku hanya ingin mendengar suaramu.”
“Kau tahu aku kan? Aku tidak mungkin sanggup menjalankan perintah itu.”
“Dasar orang-orang konyol, arogan, tolol!” Jack bersungut.
Dia lalu menatap wajah wanita itu, menanti kerutan dahi yang selalu muncul bila istrinya mulai menghawatirkan keadaannya. Tapi, kerutan itu bukan saja tidak muncul. Bayangan wanita itupun akhirnya mulai memudar. Juga senyumnya, samar-samar.
“Huh, jadi kau hilang juga.”
“Pergi sana! Tinggalkan saja aku sendiri!” gumamnya.
Jack tenggelam dalam keputusasaannya. Matanya kini terpaku pada peluncur misil SA-18 yang tergeletak didekatnya.
“Jadi, kau si pengadil?” tanyanya pada senjata itu seakan benda itu punya akal, atau mulut, untuk menjawabnya.
“Kau tahu berapa orang yang akan kau bunuh besok, hah? 200? 300? Itu cuman bualan mereka agar kau tenang.”
“Mereka bilang semua akan terkendali. Sedikit korban diperlukan untuk kepentingan yang lebih besar. Bohong itu semua, bohong!”