Dia melompat.
Tapi, ketika tangannya akhirnya dapat mencapai sang bocah, yang inderanya rasakan hanya kehampaan. Bocah itu tak hadir lagi. Namun bayang-bayangnya tetap melekat kuat pada otak Jack.
“Aaah! Jangan, jangan!”
Jack berteriak sepenuh tenaga. Urat-urat lehernya menyembul. Dia menghantam-hantamkan kedua tangannya ke lantai kayu dibawahnya sembari meringkuk.
“Oh, Tuhan. Kenapa kau permainkan aku? Apa aku sudah gila?” tanyanya.
Seperti yang Jack duga tidak ada jawaban. Tidak ada penanda. Tidak ada petanda. Jack hampir mencapai batasnya.
Namun, belaian lembut itu menyadarkannya. Kepalanya mendongak perlahan. Dilihatnya wanita yang selama ini memenuhi hatinya. Dengan senyum hangat yang mengingatkannya pada bayangan anaknya tadi. Dia tahu, wanita yang berada didepannya ini hanya rekayasa otaknya. Sebagian karena tekanan fisik dan mental yang sangat berat melanda dirinya, dan sebagian lagi karena pengaruh sebotol wiski yang dia habiskan dalam sekali tenggak. Tapi Jack sudah tak peduli lagi. Baginya, ilusi ini jauh lebih baik dari realita yang harus ia hadapi.
“Kenapa kau tersenyum, Mary? Ingin meledekku?” gumamnya.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan.”
“Tuh kan, aku bilang apa. Pasti begitu, ya kan?”
Jack teringat kata yang selalu diucapkan istrinya ketika ada hal yang tidak beres terjadi karena pilihan hidup Jack. Biasanya Jack tidak pernah mau ambil pusing dengan sindiran istrinya itu. Ia selalu mengganggap bahwa semua ada di dalam kendalinya. Tapi malam ini memang bukan malam biasa. Sindiran itu menjadi hal yang paling ingin Jack dengar saat ini. Bukan Prelude karya Bethoven. Bukan Pink Floyd. Bukan.