Perlahan-lahan cahaya lembut lampu bohlam 10 watt asli produk Rusia itu menyinari wajah sang bocah. Seperti sebuah cerita misteri, sinar lampu itu enggan membawa wajah yang penuh tanda tanya itu ke terang yang segera. Diungkapnya bagian demi bagian, sedikit demi sedikit. Namun, dari senyuman yang pertama kali muncul, wajah Jack langsung berubah pucat. Senyum itu tidak akan bisa ia lupakan.
“Oh tidak.”
“Tidak mungkin, Antoine.”
“Kau Antoine, kenapa kau ada disini?”
“Bagaimana caranya? Oh, Tuhan.”
Seketika itu juga, pipinya telah basah oleh air mata. Dia tidak berusaha untuk mengusapnya. Dia takut ketika air mata itu terusap, kehadiran bocah lelaki dihadapannya ini juga akan turut menghilang.
“Kesini nak, ayah rindu,” bujuk Jack.
“Ayo sini, jangan takut, kau aman sekarang di sini.”
Jack mengulurkan kedua tangannya lemah. Jemari tangannya tak henti-hentinya membuka dan mengatup, memanggil-manggil. Si bocah hanya tersenyum. Rambutnya yang pirang sebentar-sebentar menutupi mata birunya yang indah, menatap kosong ke arah Jack.
Jack memelas.
Ingin sekali rasanya ia melompat ke arah bocah itu, merengkuh badannya, merasakan jemari-jemari kecilnya. Tapi, kakinya kaku. Seperti ada akar besar yang menahan kakinya untuk melangkah. Namun, matanya yang penuh rindu itu seakan masih memanjatkan doa, yang dengan perlahan merasuk lewat pori-pori kulitnya, mengalir lewat pembuluh darahnya. Memberinya kekuatan.